Apakah Kita Kehilangan Sipadan dan Ligitan?


Tahun 2002, Indonesia kalah atas Malaysia dalam kasus penentuan kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Ligitan. Apakah Indonesia kehilangan kedua pulau itu? Indonesia tidak pernah kehilangan Pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia hanya gagal menjadikan kedua pulau itu sebagai miliknya. Secara hukum, Sipadan dan Ligitan memang belum pernah secara sah menjadi milik Indonesia. Bagaimana mungkin kita kehilangan sesuatu yang tidak pernah dimiliki? Memangnya kamu yang merasa kehilangan padahal belum pernah memiliki 🙂

Wilayah Indonesia saat ini adalah wilayah yang sama dengan yang menjadi jajahan Belanda. Kita mungkin tidak suka hal ini karena kesannya kita benar-benar ‘terjajah’, sampai-sampai saat sudah merdeka pun masih mengikuti ‘kaidah’ penjajahan. Demikianlah hukum yang berlaku saat ini dan itu tentu adalah hasil kompromi politik yang alot di masa lalu.

Status soal Sipadan dan Ligitan harus diawali dengan pertanyaan “apakah kedua pulau itu dulu ada dalam wilayah jajahan Belanda?” Jika ya, otomatis itu jadi milik Indonesia. Sebaliknya, jika dulu Sipadan dan Ligitan resmi diakui sebagai teritori jajahan Inggris, keduanya otomatis jadi milik Malaysia.

Prinsip tentang kewilayahan yang demikian itu disebut dengan “uti posidetis juris“. Bahwa wilayah dan batas wilayah suatu negara, mengikuti wilayah dan batas wilayah penjajahnya.

Saat ‘ditemukan’ dan mulai dipersoalkan tahun 1969, ternyata Sipadan dan Ligitan tidak pernah secara resmi masuk dalam teritori jajahan Belanda maupun Inggris. Artinya, secara hukum, keduanya tak bertuan alias ‘terra nullius’. Maka, karena tak bertuan, Indonesia dan Malaysia mencoba untuk memilikinya. Keduanya bekerja keras untuk membuktikan.

Berbagai cara dicoba. Tentu saja perundingan dan negosiasi yang utama. Tak kunjung berhasil. Argumen masing-masing dipatahkan oleh lawan. Akhirnya keduanya sepakat untuk menghentikan kasus itu tahun 1969. Keduanya setuju bahwa 1969 adalah ‘critcal date’. Artinya, kedua pihak hanya akan mempertimbangkan apa yang terjadi hingga tahun 1969 jika nanti kasusnya dibuka lagi. Apa yang terjadi setelah itu tidak akan memengaruhi kepemilikan atas dua pulau itu.

Waktu berjalan, tahun 1988 kasus dibuka lagi. Pak Harto ketika itu yang berkuasa di Indonesia dan Dr. Mahathir di Malaysia. Pada tahun 1994, keduanya menetapkan utusan khusus untuk membahas ini. Pak Harto memilih Moerdiono, Mahathir mengutus Anwar Ibrahim. Tak berhasil juga.

Tahun 1997, kedua negara bersepakat untuk membawa kasus ini ke Mahkamah Internasional (MI). Era baru dimulai. Kini penyelesaian kasus tidak lagi dengan omong-omongan tapi murni dengan perangkat hukum. Keduanya bersiap-siap maksimal. Pengacara terkemuka dunia dikerahkan untuk kemenangan.

Kedua negara memohon agar MI memutuskan kepemilikan atas Sipadan dan Ligitan berdasarkan apa yang terjadi hingga tahun 1969. MI memutuskan bahwa Malaysia yang berhak atas keduanya karena Inggris (penjajah Malaysia) terbukti telah melakukan penguasaan efektif terhadap kedua pulau tersebut. Penguasaan efektif ini berupa pemberlakuan aturan pajak atas pengumpulan telur penyu, perlindungan satwa burung, dan pendirian mercusuar.

Benar rupanya, perilaku dan watak penjajah itu bisa menentukan nasib sebuah bangsa di masa depan. Inggris memang tertib sedangkan Belanda punya gaya agak ’ngawur’. Terbayang, ketika Inggris jalan-jalan ke Sipadan dan Ligitan, mereka mikir hal-hal serius seperti penangkaran burung, dan aturan pemanfaatan telur penyu. Sementara Belanda? Ah sudahlah 😦

Secara sederhana, benar bahwa Malaysia lebih berhak atas Sipadan dan Ligitan karena mereka (Inggris dan Malaysia) mereka merawat pulau itu dengan lebih baik. Meski begitu, penting untuk diingat, yang membuat Malaysia memenangkan kasus adalah tindakan Inggris sebagai penjajah.

Yang lebih penting, prinsip bahwa penguasaan efektif ini akan berpengaruh pada kepemilikan pulau ini hanya berlaku untuk pulau tak bertuan. Jika pulau sudah jelas ada pemiliknya yang sah secara hukum maka prinsip ini tidak berlaku. Contohnya, jika hari ini ada pihak dari negara lain menempati sebuah pulau terpencil milik Indonesia dan merawatnya, pihak tersebut tidak akan tiba-tiba dapat hak untuk memiliki pulau tesebut karena kedaulatan atasnya sudah jelas dari awal dan bukan merupakan pulau tak bertuan.

Jadi, apakah pulau-pulau terluar nggak perlu diperhatikan dan dirawat, toh nggak akan direbut negara lain? Ya nggak gitu juga kali mikirnya. Pulau tetap dirawat dan dibangun tapi bukan karena kita ketakutan akan diambil negara lain. Kita lakukan itu untuk kesejahteraan dan kebaikan bangsa.

Jadi, apakah Indonesia kehilangan pulau? Tidak! Indonesia hanya gagal menambah dua pulau. Penasaran dengan kisah selengkapnya dan proses hukumnya? Jangan percaya pada saya. Silakan baca dokumen resmi Mahkamah Internasional di https://www.icj-cij.org/en/case/102.

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

2 thoughts on “Apakah Kita Kehilangan Sipadan dan Ligitan?”

Bagaimana menurut Anda? What do you think?