Tafsir Surah Ali Imran Ayat 128: Teguran Allah pada Rasulullah

BincangSyariah.Com– Artikel ini tentang tafsir surah Ali Imran ayat 128, yang berisi teguran Allah  pada Rasulullah. Hal ini bermula dari kejadian yang menimpa umat Islam dalam perang Uhud. Kejadian itu begitu luar biasa. Mereka harus mengakui kekalahannya dari pasukan orang kafir Quraisy.

Rasulullah sangat terpukul karena saat itu Hamzah bin Abdul Muthalib, paman nabi, gugur, dibelah perutnya kemudian dikeluarkan hatinya, lalu dikunyah oleh Hindun bint Uthbah bint Rabi’ah.

Rasulullah sangat terluka, gigi taringnya patah dan wajahnya berlumuran darah. Ia kemudian hendak berdoa kepada Allah agar memberikan hukuman kepada orang-orang kafir Quraisy, namun Allah menegaskan bahwa hal itu tidaklah menjadi bagian dari urusan Nabi Muhammad.

Kemudian Allah berfirman kepadanya;

لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمر شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ

Artinya, “Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah menerima tobat mereka, atau mengazabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang zalim.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 128).

Ada beberapa poin yang tidak kalah penting untuk diketahui, yaitu memahami maksud dan tafsir surah Ali Imran yang terkandung dalam ayat 128 di atas, perihal alasan Allah swt menegur Nabi Muhammad saat itu. Untuk memahami kandungan ini, ada dua poin yang disebutkan oleh ulama ahli tasir, yaitu; (1) yatuba alaihim; dan (2) yuazzibahum.

Pertama, yatuba (apakah Allah menerima tobat mereka?)

Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi dalam tafsirnya mengatakan, pada potongan ayat ini mengandung pelajaran yang sangat penting, yaitu perihal hilangnya semua kesalahan yang dilakukan oleh manusia di masa kafir, ketika ia bertobat dan diterima oleh Allah swt.

Seperti apapun keburukan yang pernah dilakukan, sebanyak apapun dosa yang ada dalam diri seseorang, ketika ia sudah bertobat kepada Allah dan diterima oleh-Nya, maka semua kesalahan dan dosa-dosa tersebut akan hilang dari dirinya. Dengan adanya potongan ayat ini, akhirnya Rasulullah tidak jadi mendoakan keburukan bagi mereka.

Selain itu, jika ia ternyata benar-benar bertobat, menebus segala kesalahan dan dosanya, justru akan menjadi kebanggan tersendiri bagi Rasulullah saw dan Islam itu sendiri. Sebab, dengan masuk Islam, maka jumlah umat Islam akan semakin bertambah, dan bahkan bisa memberikan sumbangsih kepada risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad. (Syekh Mutawalli, Tafsir al-Khawathir lisy-Sya’rawi, juz I, h. 1212).

Kedua, yuazzibhum (atau mengazabnya)

Pada poin kedua ini, menurut Syekh Mutawalli merupakan opsi selanjutnya ketika orang-orang yang menyakiti Rasulullah tidak memeluk ajaran Islam dan tidak bertobat, maka Allah akan mengazabnya. Jika pada poin pertama akan memberikan kebanggan bagi Rasulullah dan Islam, maka opsi kedua ini justru tidak merugikan Rasulullah ketika Allah menyiksa mereka.

Kenapa demikian? Sebab, semua siksaan yang Allah berikan kepada mereka merupakan balasan dan timbal balik atas kezaliman yang dilakukan selama ada di dunia. (Baca juga: Tafsir Surat Ali Imran Ayat 159; Kasih Sayang Nabi Muhammad saw.)

Oleh karenanya, pada ayat di atas, Allah menegaskan kepada Nabi Muhammad dengan kata, “laisa laka minal amri syaiun (itu bukan menjadi urusanmu)”. Dengan kata lain, Allah hendak memberi peringatan kepadanya, bahwa tugas Rasulullah hanyalah berdakwah dan menyampaikan risalah yang diterima kepada kaumnya.

Selebihnya, jika ada beberapa orang yang menolak, atau bahkan menghina dan menyerangnya, maka tugas untuk memberikan siksa dan ancaman kepada mereka hanyalah Allah semata, manusia tidak. (Syekh Mutawalli, Tafsir al-Khawathir, juz I, h. 1212).

Dari poin kedua ini seharusnya memberikan kesadaran bagi umat Islam, bahwa dalam berdakwah tidak ada istilah mendoakan keburukan, ‘kekerasan’ atau bahkan hendak memukul dan menyerang orang-orang yang tidak menerima ajaran Islam. Sebab, jika Rasulullah saja tidak memiliki hak untuk mendoakan mereka dengan keburukan, apalagi umatnya.

Harapan penulis, dakwah dan mengajak pada ajaran Islam memang wajib untuk diupayakan dan tidak boleh ditinggalkan. Hanya saja, potret paling ideal untuk dijadikan panutan adalah Rasulullah. Perang Uhud menjadi saksi paling buruk bagi umat Islam.

Mereka sangat terpukul saat itu, bahkan orang paling sabar sampai hilang kesabarannya dan hendak mendoakan kehancuran bagi kaumnya, akan tetapi keinginan itu tidak terlaksana karena adanya teguran dari Allah.

Ini cukup sebagai bukti bahwa ajaran Islam memang harus disampaikan dengan penuh kelembutan dan menghindari paksaan, kekerasan dan sumpah serapah yang justru menghilangkan dan mencederai dakwah Islam itu sendiri. 

Demikian penjelasan terkait tafsir surah Ali Imran ayat 128, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam. (Baca juga: Demokrasi Pancasila dan Implementasi Pesan Surah Ali Imran 159)

Sunnatulloh
Sunnatulloh
Pegiat Bahtsul Masail se-Jawa dan Madura sekaligus Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop

ARTIKEL LAINNYA

ARTIKEL TERBARU