Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas
Kontinen Indonesia Malaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara.
Kedua pulau Sipadan dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah
negara RI, padahal kedua pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi
lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi pedoman kerja Tim Teknis Indonesia.
Dengan temuan tersebut Indonesia merasa berkepentingan untuk mengukuhkan P.
Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti
lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Disaat yang sama
Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan
mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk
sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam Status Quo.Dua puluh
tahun kemudian (1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali
oleh Presiden Soeharto dan PM. Mahathir Muhamad.
Tiga tahun kemudian (1992) kedua negara sepakat menyelesaikan masalah ini secara
bilateral yang diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil
pertemuan pejabat tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan
kelompok Kerja Bersama (Joint Commission/JC & Joint Working
Groups/JWG).Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan
tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang (comitted) pada prinsipnya masingmasing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pemerintah RI menunjuk
Mensesneg Moerdiono dan dari Malaysia ditunjuk Wakil PM Datok Anwar Ibrahim
sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum
JC/JWG.Namun dari empat kali pertemuan di Jakarta dan di Kualalumpur tidak
pernah mencapai hasil kesepakatan.
Pada pertemuan tgl. 6-7 Oktober 1996 di Kualalumpur Presiden Soeharto dan PM.
Mahathir menyetujui rekomendasi wakil khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997
disepakati Spesial Agreement for the Submission to the International Court of
Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the Sovereignty over
P. Sipadan and P. Ligitan. Special Agreement itu kemudian disampaikan secara resmi
ke Mahkamah International pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses ligitasi P.
Sipadan dan P. Ligitan di MI/ICJ mulai berlangsung. Selanjutnya penjelasan dua
pulau tersebut sepenuhnya berada di tangan RI.
Namun demikian kedua negara masih memiliki kewajiban menyampaikan posisi
masing-masing melalui Written pleading kepada Mahkamah Memorial pada 2
Nopember 1999 diikuti, Counter Memorial pada 2 Agustus 2000 dan reply pada 2
Maret 2001. Selanjutnya proses Oral hearing dari kedua negara bersengketa pada
3 12 Juni 2002 . Dalam menghadapi dan menyiapkan materi tersebut diatas
Indonesia membentuk satuan tugas khusus (SATGASSUS) yang terdiri dari
berbagai institusi terkait yaitu : Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi
dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut
International.
Indonesia mengangkat co agent RI di MI/ICJ yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI
untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl
(International Counsels). Hal yang sama juga dilakukan pihak Malaysia. Proses hukum
di MI/ICJ ini memakan waktu kurang lebih 3 tahun. Selain itu, cukup banyak energi
dan dana telah dikeluarkan. Menlu Hassas Wirayuda mengatakan kurang lebih Rp.
16.000.000.000 dana telah dikeluarkan yang sebagian besar untuk membayar
pengacara. Dengan demikian tidak tepat bila dikatakan pihak Indonesia tidak serius
memperjuangkan P. Sipadan dan P. Ligitan.
Sejak terbentuk negara kesatuan Republik Indonesia pada 1945, Indonesia tidak
pemah melakukan aktivitas ekonomi di pulau Sipadan dan Ligitan, jadi Indonesia
tidak ada upaya dalam pengelolaan sumberdaya yang terdapat pada pulau Sipadan
dan Ligitan. Sebaliknya Malaysia sejah tahun 1980-an telah menjadikan pulau
Sipadan dan Ligitan sebagai pulau wisata bahari.
Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan Indonesia terdapat Kealpaan para penyusun Undang-Undang tersebut yaitu dengan tidak mencantumkan
pulau Sipadan dan Ligitan dalam wilayah kedaulatan negara kepulauan Indonesia.
Demikian juga dengan penetapan PP No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
yang sekaligus menggantikan UU No.4 / Prp /1960 tidak mencantumkan daftar
koordinat titik dasar wilayah kepulauan Indonesia, PP hanya dilampiri peta Ikhtisar
wilayah yuridiksi kepulauan Indonesia.
Sistem pengarsipan Indonesia terhadap dokumen-dokumen sejarah, khususnya
menyangkut dokumen wilayah perbatasan yang ada sejak tahun 1900-an sangat
lemah, sehingga saat dokumen dokumen dibutuhkan kita harus ke negara tertentu
misalnya Belanda dan Inggris untuk menelusurinya. Hal ini membutuhkan waktu
dan biaya yang besar dan belum tentu negara bersangkutan mau memberikan
secara ikhlas data dan peta-peta dimaksud.
Pengelolaan pulau-pulau kecil yang terletak di wilayah perbatasan belum
mendapatkan perhatian yang memadai dari pemerintah pusat, khususnya aspek
ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan sehingga beberapa pulau kecil
diperbatasan secara bebas didatangi orang asing bahkan mereka berinteraksi dan
menetap di pulau-pulau tersebut.
Mengoptimalkan upaya penyelesaian masalah perbatasan dengan 9 negara
tetangga, melalui sinergis instansi terkait, sehingga pembangunan dan
pengembangan wilayah perbatasan dapat dilaksanakan secara komprehensif.
Share this: