TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Kajian tentang semut api merah Solenopsis invicta
a. Morfologi dan Klasifikasi
Semut api termasuk makhluk hidup dalam kingdom Animalia, dan
tergolong hewan avertebrata yang termasuk pada kelas insekta. Hewan ini
mudah ditemukan karena dapat hidup di daratan bahkan di dalam rumah
pun mereka dapat ditemukan. Tubuh semut api terdiri atas tiga bagian,
yaitu kepala, mesosoma (dada), dan metasoma (perut). Semut api memiliki
eksoskeleton atau kerangka luar yang memberikan perlindungan dan juga
sebagai tempat menempelnya otot. Menurut Tarumingkeng (2001) dalam
Taib (2012) bahwa, semut api memiliki lubang-lubang pernapasan di
bagian dada bernama spirakel untuk sirkulasi udara dalam sistem respirasi
mereka. Pada kepala semut api terdapat banyak organ sensor. Semut api
memiliki mata majemuk yang terdiri dari kumpulan lensa mata yang lebih
kecil dan tergabung untuk mendeteksi gerakan dengan sangat baik. Mereka
juga punya tiga oselus di bagian puncak kepalanya untuk mendeteksi
perubahan cahaya dan polarisasi.
Gambar 2.1 Struktur tubuh semut api merah Solenopsis invicta (Minarti, 2012)
6
Klasifikasi semut api merah menurut Taib (2012) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Insekta
Ordo : Hymnenoptera
Family : Formicidae
Genus : Solenospis
b. Siklus Hidup
7
1) Telur
Ratu semut meletakkan telur di dalam sarangnya. Telur itu sangat
kecil dan berbentuk elips, berukuran kira-kira 0.5 mm x 1 mm. Telur
menetas menjadi larva yang berukuran 5-10 kali lebih besar. Bentuk
larva dan telur sangat mirip, yaitu menyerupai ulat (Taib, 2012).
2) Larva
Larva menetas dalam 8 hingga 16 hari, dan tahapan kepompong
akan berakhir dalam 9 sampai 16 hari. Bentuk larva dan telur sangat
mirip, yaitu menyerupai ulat. Larva pertama kali ini diberi makan oleh
semut dewasa, larva generasi berikutnya diberi makan oleh pekerja.
Pada larva sudah terbentuk mata dan mulut sedangkan pada telur kedua
organ itu belum ada. Selama masa pertumbuhannya, larva mengalami
beberapa kali ganti kulit (molting), seperti ular. Setelah beberapa kali
ganti kulit, maka larva berkembang menjadi pupa (Taib, 2012).
8
Gambar 2.4 Larva Semut Solenopsis invicta (Minarti, 2012)
3) Pupa
Larva yang diberi makan cukup dan mengalami beberapa kali
molting akan menjadi pupa. Pupa bentuknya seperti semut dewasa
dengan tekstur tubuh lebih lunak, berwarna putih krem, dan tidak aktif.
9
Gambar 2.6 Semut Solenopsis invicta (Minarti, 2012)
c. Habitat
Semut api merupakan hama utama pertanian dan rumah tangga,
menghancurkan hasil panen dan menyerang area pemukiman, baik di luar
maupun di dalam ruangan. Bukan hanya itu, semut api mampu mengigit
manusia. Gigitannya amat menyakitkan seperti dibakar api, karena racun
atau asam format yang diproduksi oleh kantung racun. Gigitannya mampu
menyebabkan tempat yang digigit berair, dan bagi mereka yang
mempunyai alahan, mampu menyebabkan mata dan telinga bengkak.
Semut api biasa hidup di tanah baik dataran rendah maupun dataran
tinggi atau daerah pegunungan yang memiliki suhu sedang. Semut api
dikatakan sebagai pekerja keras. Mereka dapat membangun bukit setinggi
30 cm dan selebar 60 cm, atau menggali terowongan labirin hingga
sedalam 1,5 m di bawah tanah. Di wilayah-wilayah tertentu, semut api
membangun bukit-bukit kecil hingga lebih dari 350 buah (Taib, 2012).
Faktor suhu dan kelembaban udara mikro dalam ekosistem turut
mempengaruhi variasi kehidupan semut. Menurut Riyanto (2007) dalam
Yuniar dan Haneda (2015) menyatakan bahwa kisaran suhu 25-32°C
merupakan suhu optimal dan toleran bagi aktifitas semut di daerah tropis.
Selain itu suhu tanah merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
kehadiran dan kepadatan organisme tanah. Suhu tanah akan menentukan
10
tingkat dekomposisi material organik tanah. Secara tidak langsung terdapat
hubungan kepadatan organisme tanah dan suhu, bila dekomposisi material
tanah lebih cepat maka vegetasi lebih subur dan mengundang serangga
untuk datang. Suhu tanah yang tidak terlalu dingin disukai oleh arthropoda
Salah satunya adalah semut api.
11
1) Pengendali Serangga Sintetik
Pengendalian serangga dengan cara kimia adalah dengan
memberikan berbagai jenis insektisida sintetis atau yang memiliki
kandungan bahan kimia. Insektisida sintetis sendiri adalah bahan-
bahan kimia bersifat racun yang dipakai untuk membunuh serangga.
Semua insektisida bersifat toksik, yang berbeda hanya derajat
toksisitasnya pada setiap insektisida. Salah satu insektisida sintetis
yang sering digunakan adalah yang memiliki bahan aktif deltametrin.
Menurut Dietz et al (2009) dalam Bhanu et al (2011) dalam Meilin dan
Praptana (2014) deltametrin merupakan insektisida spectrum luas
sebagai racun kontak dan racun perut serangga. Deltametrin banyak
digunakan sebagai bahan aktif pengendali hama pada tanaman
pertanian dan juga sebagai pengendali serangga rumah tangga.
Penggunaan insektisida oleh masyarakat yang semakin luas akan
menimbulkan dampak negatif baik pada manusia maupun pada
lingkungan. Toksisitas kronik insektisida tergantung dari formula
insektisida itu sendiri dan akan terlihat dampaknya dengan penggunaan
yang berlangsung lama, sehingga berbahaya bagi anggota rumah
tangga. Keracunan kronis insektisida rumah tangga diduga dapat
memicu timbulnya kanker. Timbulnya kanker ini karena pemakaian
insektisida rumah tangga terus menerus, dalam ruangan tertutup dan
berlangsung selama seumur hidup (Raini, 2012).
Berbagai macam formulasi anti serangga sintetis dan
kandungannya menurut Joharina dan Alfiah (2011) yang beredar di
supermarket yaitu:
a. Formulasi Liquid
Formulasi liquid merupakan anti serangga yang mengandung
sipermetrin 0,4 g/l ; imiprotin 0,32 g/l ; transflutrin 0,2 g/l ; praletrin
0,2886 g/l ; sifenotrin 0,5778 g/l dengan kelebihan daya simpan
12
yang baik, daya penetrasi ke celah – celah permukaa, memiliki daya
adhesi yang baik terhadap permukaan berlemak dan tidak bersifat
sebagai konduktor listrik. Kekurangannya adalah pelarut yang
digunakan dapat merusak aspal, plastic, karet, berbau, bersifat
fitotoksik, kebakaran, licin pada lantai dan mudah terserap pada
permukaan porus sehingga tidak memiliki efek residu (Sigit dan
Hadi, 2006 dalam Joharina dan Alfiah, 2011).
13
mengendalikan serangga (Becker et al, 2010 dalam Joharina dan
Alfiah, 2011).
e. Lotion
Lotion di aplikasikan ke kulit yang bekerja untuk menghindari
serangga (repellent). Formulasi ini menggunakan bahan aktif detil
toluamida (DEET). Mampu bertahan hingga 12 jam, tetapi
seringkali lengket pada kulit dan senyawa nya dapat merusak
plastic.
f. Kapur anti serangga
Kapur anti serangga termasuk kedalam formulasi dust. Formulasi
ini biasanya diaplikasikan pada tempat yang bercelah-celah dan
pada titik tertentu untuk mengendalikan kecoa (Fishel, 2009 dalam
Joharina dan Alfiah, 2011). Kelebihan kapur anti serangga adalah
formulasi siap pakai dan kerja insektisidanya yang memiliki bahan
aktif deltamterin 0.6% sebagai racun kontak dan racun perut mampu
bertahan dalam waktu lama. Kekurangan dari kapur anti serangga,
tidak dapat terserap baik dalam tubuh serangga dan residunya
mudah terkikis oleh air atau angin sehingga mengakibatkan
gangguan pada sistem pernapasan makhluk hidup lainnya (Becker
et al, 2010 dalam Joharina dan Alfiah, 2011).
2) Pengendali Serangga Nabati
14
Tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan anti serangga
adalah tumbuhan yang memiliki senyawa kimia atau metabolit
sekunder yang dapat mempertahankan dirinya terhadap gangguan
serangga dan organisme berpotensi penyakit. Metabolit sekunder yang
dapat dijadikan penangkal serangga diantaranya golongan alkaloid dan
terpenoid (Hasanah, dkk, 2012). Menurut Diantoro dkk (2003) dalam
Alkhadi dan Mufihati (2017) senyawa yang aktif sebagai insektisida
adalah dari golongan senyawa Flavonoid dan terpenoid. Senyawa
Flavonoid merupakan suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar
yang ditemukan di alam. Flavonoid mempunyai efek toksik, anti
mikroba atau sebagai pelindung tanaman dari pathogen dan antifeedant
atau racun penghambat nafsu makan serangga (Utami, dkk, 2010).
15
4. Kajian tentang umbi gadung (Dioscorea hispida D.)
Umbi gadung merupakan salah satu jenis tanaman umbi–umbian atau
uwi (dalam bahasa jawa) yang cukup popular walaupun kurang mendapat
perhatian dari masyarakat luas. Gadung menghasilkan umbi yang dapat
dikonsumsi manusia, namun memiliki kandungan racun yang dapat
menyebabkan pusing dan muntah apabila kurang benar dalam
pengolahannya. Salah satu produk dari Umbi Gadung adalah keripik. Di
Indonesia, umbi ini memiliki nama sendiri pada setiap daerah. Misalnya di
Gorontalo disebut bitule, Bima disebut gadu, Daerah Sumba disebut Iwi,
suku Sasak disebut kapak, suku Bugis disebut salapa dan sebutan gadung
sendiri kebanyakan pada suku Jawa, Bali, Madura dan Sunda (Anonim,
2014).
16
Gadung merupakan perdu pemanjat yang tingginya dapat mencapai
5–10m. Memiliki batang bulat, berbentuk galah, berbulu, berduri yang
tersebar sepanjang batang dan tangkai daun. Umbinya bulat diliputi
rambut akar yang besar dan kaku. Kulit umbi berwarna gading atau
coklat muda, daging umbinya berwarna putih atau kekuningan.
Umbinya muncul dekat dengan permukaan tanah. Dapat dibedakan
dari jenis-jenis dioscorea lainnya karena dauunya merupakan daun
majemuk terdiri dari 3 helai daun, warna hujau, panjang 20-25 cm,
lebar 1-12 cm, helaian daun tipis lemas, bentuk lonjong, ujung
meruncing, pangkal tumpul, permukaan kasar (Ndaru, 2012).
b. Kandungan Kimia
Kandungan kimia pada Umbi gadung (Dioscorea hispida D.) yang
bersifat toksik, adalah dari Golongan Alkaloid. Alkaloid merupakan
suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam.
Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar
luas dalam berbagai jenis tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar
alkaloid terdapat pada tumbuhan dikotil sedangkan untuk tumbuhan
monokotil mengandung alkaloid dengan kadar yang sedikit. Alkaloid
memiliki fungsi sebagai upaya melindungi tanaman dari berbagai
serangan parasit, hama, dan atau pemangsa tumbuhan lainnya.
17
mengkonsumsinya (Djaafar dkk, 2009) yang terdapat pada umbi
gadung di antaranya:
18
karena merupakan racun bagi semua makhluk hidup yang dapat
menghambat pernapasan dan menghambat perkembangan sel
menjadi tidak sempurna (Hasri Ndaru, 2012)
19
Ixora Paludosa (asoka) memiliki tinggi tanaman hingga 4m.
Lingkar pangkal batang bisa mencapai 40cm. Batang tumbuhan dikotil
ini berwarna gelap yang disertai bercak-bercak oleh lumut kerak yang
banyak menempel pada batang, cabang, dan ranting-rantingnya dengan
akar tunggang dengan kayunya relative keras. Bentuk daun lonjong
dengan ukuran panjang maksimum 24,2cm dan lebar daun bagian
tengah 9,6cm. Warna bunga merah dengan susunan menggerombol
(Anonim, 2011).
20
menghambat enzim asetilkolinesterase, sehingga asetilkolin akan
tertimbun pada sinapsis. Efek yang ditimbulkan akan menghambat
proses transmisi saraf. Efek lain yang ditimbulkan adalah proses
inhibitor sintesis kitin dan kerja hormon yang terhambat (Soemirat,
2003 dalam Aseptianova dkk, 2017). Zat toksik relatif lebih mudah
untuk menembus kutikula dan selanjutnya masuk ke dalam tubuh
serangga, karena umumnya tubuh serangga berukuran kecil
sehingga luas permukaan luar tubuh yang terpapar relatif lebih
besar terhadap volume (Widyantoro, 2011 dalam Aseptianova dkk,
2017).
2) Flavonoid
Flavonoid adalah salah satu golongan fenol alam yang terbesar.
Golongan flavonoid mencakup banyak pigmen yang paling umum.
21
ekstraseluler. Ketika flavonoid diabsorbsi, akan mengalami
peningkatan fungsi biologis, diantaranya sintesis protein,
diferensiasi dan proliferasi sel, serta angiogenesis. Apabila
flavonoid dikomsumsi secara berlebihan, akan menyebabkan
mutagen dan menghambat enzim-enzim tertentu dalam kerja
metabolisme hormon serta metabolisme energi (Sabir, 2003;
Cushnie, 2005 dalam Aseptianova dkk, 2017). Tentunya hal ini
juga berpengaruh pada serangga, dimana flavonoid akan merusak
permeabilitas membran sel dan menghambat kerja enzim sehingga
mempengaruhi proses metabolisme pada serangga. Menurut
Hollingworth dalam Utami, Syaufina, & Haneda (2010) dalam
Aseptianova dkk (2017) menjelaskan dalam golongan flavonoid
terdapat senyawa rotenon yang berfungsi sebagai toksik pada
respirasi sel, dengan menghambat transfer elektron dalam NADH-
koenzim ubiquinon reduktase (komplek I) dari sistem transpor
elektron di dalam mitokondria.
3) Tanin
Tanin adalah senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada
beberapa tanaman. Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong
dalam senyawa polifenol (Deaville et al., 2010).
22
Aseptianova dkk, 2017). Yunita, Suprapti, dan Hidayat (2009)
dalam Aseptianova dkk (2017) menambahkan jika tanin memiliki
rasa pahit sehingga menghambat serangga untuk memakannya. Ini
terjadi karena tanin bereaksi dengan protein membentuk kopolimer
mantap yang tidak larut dalam air sehingga protein lebih sukar
dicapai oleh cairan pencernaan hewan (Harborne, 1987 dalam
Aseptianova dkk, 2017). Tanin dapat menurunkan aktivitas enzim
pencernaan (protease dan amilase) dan mengganggu aktivitas
protein usus, sehingga akan mengalami gangguan nutrisi
(Aseptianova dkk, 2017).
4) Saponin
Saponin merupakan senyawa dalam bentuk glikosida yang
tersebar luas pada tumbuhan tingkat tinggi. Saponin membentuk
larutan koloidal dalam air dan membentuk busa yang mantap jika
dikocok dan tidak hilang dengan penambahan asam.
23
tubuh serangga akan hilang akibat saponin dan menyebabkan
kematian karena kehilangan banyak cairan tubuh. Saponin juga
menyebabkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan menurun
serta mengganggu proses metabolisme tubuh (Novizan, 2002 dalam
Aseptianova dkk, 2017).
24
4. Pamflet Politik, berisi tentang kampanye atau ajakan untuk memilih
calon pemimpin unggulan
(wikipedia)
25
C. Kerangka Berpikir
Alami Sintetis
Alternativ
deltamethrin
Ekstrak Umbi gadung
Ekstrak Bunga soka
(Dioscorea hispida D.)
(Ixora paludosa)
dengan toksik
dengan kandungan
dioscorine,dioscin, HCN
Alkaloid,Saponin,
golongan Alkaloid
Flavonoid, tanin
26
D. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah ada pengaruh pemberian anti serangga
kapur ekstrak umbi gadung (Dioscorea hipida D.) dan ekstrak bunga soka (Ixora
paludosa L.) terhadap aktivitas semut api merah (Solenopsis invicta).
27