Perempuan: Boneka atau Ratu?

Rega Almuhtadda
Saya adalah mahasiswa jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara yang lulus SMA di Australia, Adelaide.
Konten dari Pengguna
29 November 2021 16:49 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Rega Almuhtadda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto seorang wanita. (Sumber: https://www.shutterstock.com/id/image-photo/beauty-woman-face-close-healthy-skin-1936039546)
zoom-in-whitePerbesar
Foto seorang wanita. (Sumber: https://www.shutterstock.com/id/image-photo/beauty-woman-face-close-healthy-skin-1936039546)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Darah merah lipstik yang bercampur dengan keringat dingin menghiasi wajah cantiknya sang ratu. Wajah bersinar yang merona dicipratkan dengan warna ungu yang menonjol, memar, dan bermekaran karena tangan gergaji sang raja yang menyayat. Rintik hujan pun menetes tanpa henti sehingga menciptakan genangan berlian di lantai yang memperlihatkan sang ratu akan mahkotanya yang kilau, licau, dan silau! Lantas, mengapa kamu masih terpaku dan kaku?
ADVERTISEMENT
Marilah semua ratu di Indonesia, marilah kita semua rayakan Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan pada 25 November hingga 10 Desember! Angkatlah mahkotamu, angkatlah badanmu, dan angkatlah derajatmu! Selamat Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan!
Pandangan Lelaki terhadap Perempuan
Menurut biologi, cinta adalah hubungan seksual belaka dan proses reproduksi demi keberlangsungan peradaban manusia. Menurut kimia, cinta memproduksi dopamin yang membuat kita bahagia. Menurut William Shakespeare, cinta adalah tragedi dan benih rasa melankolis di hati. Menurut beberapa lelaki, cinta itu hanya merupakan dominasi. Mengapa pandangan kacau seperti ini tercipta? Padahal, cinta itu semestinya lembut. Padahal, cinta itu merupakan rasa kasih sayang. Padahal, cinta itu sakral. Katalis akan kekerasan terhadap perempuan adalah lengketnya patriarki di dunia yang mengutamakan dominasinya lelaki.
ADVERTISEMENT
Patriarki adalah sistem dan masyarakat yang didominasi oleh lelaki. Ini memengaruhi banyak aspek kehidupan seperti kepemimpinan politik, manajemen bisnis, lembaga keagamaan, sistem ekonomi dan kepemilikan properti. Bahkan, laki-laki yang selalu dijadikan sebagai kepala rumah tangga dalam sebuah keluarga, sedangkan istrinya terkadang hanya disepelekan sebagai individu yang hanya mampu membersihkan rumah.
Ditilik dari sejarah manusia primitif, peran perempuan atau wanita itu memang tidak kalah bernilainya dengan peran lelaki, tetapi masyarakat lebih menjunjung tinggi kontribusinya lelaki dalam berbagai macam bidang yang dianggap esensial. Bahkan, bagi beberapa orang, kehidupan perempuan itu tak bermakna tanpa anak. Walaupun perempuan untuk sekian lamanya tidak harus khawatir dengan perihal seperti peperangan dunia, peran ibu kerap sekali diludahi sebagai pekerja rumah tangga yang sederhana. Namun, belum tentu para suami sanggup melakukan pekerjaan ‘sederhana’ ini.
ADVERTISEMENT
Adapun fenomena seperti male gaze yaitu ketika lelaki memandang wanita sebagai tubuh tanpa hati. Yang paling menjengkelkan adalah signifikannya peran media dalam mengamplifikasikan seksualitas wanita demi emasnya kesuksesan.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa benih yang paling signifikan akan seksisme dan kekerasan terhadap perempuan adalah sikap apatis perempuan terhadap tubuh masing-masing. Terutama, perempuan muda pada zaman modern kerap sekali mendandani kecantikan wajah agar terlihat seperti boneka barbie plastik yang seksi. Ini tentunya tidak salah secara moral, tetapi banyak perempuan yang akhirnya lupa bahwa kecantikan sesungguhnya itu di dalam diri mereka masing-masing.
Apakah kalian hanya ingin diperlakukan sebagai boneka atau ratu? Jika kalian menjawab ‘ratu’, buktikanlah karena ratu seharusnya berani. Seharusnya, ratu itu terkuat di catur. Seharusnya, ratu itu merdeka.
ADVERTISEMENT
Jumlah Kasus di Indonesia
Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 di Indonesia itu sebesar 299.911 kasus. Tiap-tiap ratu dari 299.911 kasus telah dikudeta oleh raja yang berbahaya, bengis, dan bringas. Dari 299.911 kasus tersebut, terdapat 3.221 kasus mengenai kekerasan terhadap istri (KTI). Ini merupakan kasus yang paling frekuen ketimbang kekerasan dalam pacaran yang hanya terdapat 1.309 kasus, sedangkan kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus. Yang biasanya memanifestasikan tindakan amoral ini adalah suami, mantan suami, pacar, dan saudara lelaki.
Dengan demikian, banyak ratu-ratu cantik justru dimainkan seperti mereka hanya sekadar boneka tanpa hati. Dilempar ke dinding sebagai simbol dominasinya sang raja. Dipeluk erat-erat lehernya hingga dada pun sesak napas. Ditampar pipi lunaknya sampai semua panca indra sang ratu itu lenyap. Bahkan, beberapa tubuh pun bukan hanya jatuh ke sekadar lantai, melainkan masuk ke dalam tanah kubur.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, hidupnya ratu pun terkadang dibelenggu demi kepuasan pribadi, baik untuk sisi emosional maupun seksual. Selain raja, pangeran terkadang juga menginjak kaki sang ratu, meskipun surga itu berada di telapak kaki Ibu. Kekerasan verbal itu lebih umum dilakukan oleh para pria remaja yang sering menindas sang ratu. Walaupun aksi ini setidaknya terlihat halus ketimbang pelecehan seksual, dampaknya itu tidak kalah signifikan dalam menanamkan bibit kekerasan terhadap perempuan.
Setidaknya, angka kekerasan terhadap perempuan pada 2020 mengalami penurunan yang substansial sekitar 31,5 persen dari tahun sebelumnya. Namun, ini berarti 68,5 persen perempuan masih terancam. Apa kalian sebagai ratu akan memproklamasikan kemenangan kecil ini?
Bagi sejumlah lelaki, perempuan masih hanya boneka yang babak belur dan tak mampu menjadi kepribadian yang berbudi pekerti luhur.
ADVERTISEMENT
Organisasi yang Melindungi Perempuan di Indonesia
Kerap sekali, para ratu itu takut untuk mengetuk pintu bantuan seseorang demi penjagaan status-quo hubungan masing-masing. Yang paling memilukan itu saat wanita memilih untuk bisu karena mereka didoktrin bahwa melapor kepada otoritas itu merupakan tindakan pengecut. Namun, tindakan yang pengecut sebenarnya adalah tindakan pasif. Tindakan pengecut yang sesungguhnya itu merupakan kekerasan terhadap perempuan. Pengecut yang sebenarnya bukan ratunya, melainkan rajanya. Korban bisa melaporkan goresan dari pelaku ke layanan SAPA 129 atau melalui layanan pesan WhatsApp di 08111-129-129.
Jadi, jangan hanya duduk terpaku dan kaku di depan kekerasan. Memangnya kalian sebagai perempuan hanyalah boneka belaka yang pantas untuk dicelakai? Jadi, marilah kita melawan eksistensinya kekerasan terhadap perempuan dan jangan biarkan pertumpahan darah para ratu di Indonesia terbuang sia-sia.
ADVERTISEMENT
Jadi, Angkatlah mahkotamu! Selamat Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan!