Oleh: Hermansyah
Salah satu perilaku yang dibenci dan dapat mendatangkan hukuman Allah adalah curang. Dalam hal ini Allah SWT berfirman, “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS.al-Muthaffifin: 1-3)
Ada satu kaum yang diceritakan dalam Alquran dihancurkan oleh Allah karena perilaku tersebut. Kaum itu adalah penduduk Madyan. Terhadap kaum ini Allah mengutus Nabi Syuaib untuk memperingatkan perilaku mereka. “Dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu'aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.” (QS. al-A’raf: 85).
Penduduk Madyan menolak seruan Nabi Syuaib. “Pemuka-pemuka dan kaum Syu'aib yang menyombongkan dan berkata, "Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami." Berkata Syu'aib,"Dan Apakah (kamu akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya?" (QS. al-A’raf: 88).
Karena penolakan itu Allah menghukum mereka dengan gempa yang dahsyat, “Kemudian mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di dalam rumah-rumah mereka.” (QS. al-A’raf: 91).
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Economic Behavior & Organization melaporkan bahwa kecenderungan seseorang untuk menipu atau berlaku curang tidak terkait dengan tingkat kesejahteraan ekonomi mereka. Manusia dari lapisan ekonomi manapun bisa berlaku culas. Temuan penelitian ini mendapatkan juga kenyataan bahwa penipuan dapat terjadi dalam masa makmur maupun di masa kelaparan. Kecurangan lebih umum terjadi jika pelakunya yakin bahwa apa yang mereka tidak akan ketahuan, baik pelakunya mapan maupun yang papa. Boleh jadi suatu ketika ada orang miskin yang menipu orang lain untuk keperluan pribadi, sebagian orang akan menyalahkan kemiskinan dan kemudian memaklumi perilaku mereka. Namun, dalam kenyataannya orang-orang terpelajar, kaya, dan berpengaruh juga melakukan penipuan, seperti membeli, menjual, dan menggunakan karya intelektual orang lain tapi diklaim sebagai milik sendiri, memalsukan aplikasi pinjaman, memalsukan dokumen, menghindari zakat dan pajak, dan menjalankan perusahaan ilegal, yang mengakibatkan kerugian yang sangat besar. Secara khusus Alquran juga mengingatkan ada kecenderungan manusia untuk berlaku curang demi menguasai sesuatu yang mereka tahu bukan miliknya. Tetapi, dengan kelicikan dan memanfaatkan lembaga resmi seperti pengadilan, “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah: 188).
Dari sini dapat dimengerti bahwa kecurangan itu berakar dalam jiwa. Semua itu tidak lain berasal dari cenderung manusia mencintai dunia secara berlebihan. “Sekali-kali janganlah demikian. Sebenarnya kamu (hai manusia) mencintai kehidupan dunia.” (QS. Al-Qiyamah [75]: 20).
Karena cinta dunia maka manusia melakukan apapun untuk memeroleh kesenangan itu, termasuk dengan berlaku curang. Dalam hal ini kemampuan untuk mengendalikan diri menjadi penting, sebab sangat mungkin kecurangan itu tidak ketahuan bahkan mendapatkan legitimasi dari lembaga resmi karena memanfaatkan kemampuan memenangkan perkara dengan menghadirkan saksi dan bukti termasuk yang palsu. Pengendalian diri terbaik adalah adanya keyakinan merasa diawasi oleh Allah dan meyakini bahwa segala sesuatu akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. “Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun.". (QS. Al-Kahfi: 49).**
Penulis adalah dosen IAIN Pontianak.