(Opini KR) Kejahatan Visual Jalanan

Sumbo Tinarbuko

Membahas vandalisme tidak pernah memasuki episode tancep kayon. Kejahatan visual jalanan (KVJ) ini menjadi wahana aktivasi teroris visual menjalankan aksi coret moret di ruang publik. Teroris visual ini senantiasa memperbarui modus operandinya. Mereka tidak hanya menguasai fasilitas umum dan penanda visual lainnya di ruang publik. Belakangan ini, mereka berani menjarah bangunan bersejarah, arsitektur heritage serta cagar budaya.

Atas maraknya KVJ di ruang publik, Redaksi KR (26/1/22) menulis Tajuk Rencana berjudul: Vandalisme Cagar Budaya. ‘’Fasilitas umum dan benda cagar budaya sering jadi incaran pelaku vandal. Karenanya harus dilakukan gerakan misalnya bersih-bersih yang melibatkan siswa, agar menghapus corat coret vandalisme,’’ tulis Tajuk Rencana KR.

Realitas media yang dikumandangkan Tajuk Rencana KR wajib menjadi perhatian siapa pun yang merasa memiliki ‘’Yogyakarta’’. Sebuah kota bersejarah warisan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang diposisikan dan diberi jenama Jogja Istimewa dan Berbudaya.

Kegaduhan Visual

Mengapa harus menjadi perhatian bersama? Karena pelaku KVJ senantiasa membuat kegaduhan visual secara brutal. Untuk itu, layak dijuluki penjahat visual. Aksinya menyebabkan terganggunya ekologi visual dan estetika kota di ruang publik. Keberadaannya sama sebangun dengan teroris visual. Mereka bergerak dalam senyap menebarkan sampah visual iklan komersial dan iklan politik di ruang publik.

Pertanyaannya kemudian, siapa yang dirugikan atas aksi penjahat visual ini? Tentu saja ruang publik yang menjadi tempat dipamerkannya bangunan bersejarah, arsitektur heritage, cagar budaya serta fasilitas umum yang dikelola Pemda atau Pemkab.

Apakah pelaku vandal menyadari hal ini? Realitas visual di ruang publik memaparkan bukti otentik. KVJ senantiasa memburu lokasi strategis yang eyecatching. Meski sulit dijangkau lokasinya, asal terlihat nyolok mata, hal itu menjadi makanan gurih nan lezat yang langsung dieksekusi pelaku vandal. Begitu objek vandal ditemukan, para penjahat visual menembakkan pesan tekstual lewat semburan cat semprot yang harganya berkisar 22.000 hingga 60.000 Rupiah.

Bagi mereka, cat semprot adalah senjata tajam yang senantiasa terhunus guna menggoreskan jejak visual vandalisme. Wujud tekstualnya berupa inisial tiga hingga lima huruf plus dua angka. Inisial itu singkatan nama sekolah, komunitas, atau geng pelaku vandal. Sedangkan torehan visual dua angka menjadi penanda tahun masuk atau tahun kelulusan sang penjahat visual.

Susunan huruf alias inisial itu menjadi kebanggaan atas eksistensi diri beserta kelompoknya. Belakangan ini, selain inisial, mereka juga menambahkan ikon. Hal itu diyakini menjadi representasi simbol sekaligus pakaian seragam dari kelompok pelaku vandal.

Mereka dengan riang gembira menjalankan aksinya pada malam atau dini hari. Titik kumpulnya di warung burjo atau angkringan. Setelah menentukan lokasi yang akan divandal, mereka menyemprotkan ciri inisial kelompoknya. Hasil vandalisme diunggah ke medsos. Respon positif nan heroik dari follower pun berhamburan. Wujud apreasiasinya, memperoleh jempol like, share dan komentar atas aksinya.

Saat beraksi, acapkali terjadi perang cat semprot. Jejak visual yang ada ditimpa penanda visual baru dari kelompok seterunya. Demikian seterusnya. Penampakan visual vandalisme ini, secara langsung meneror siapa pun yang ada di ruang publik.

Remaja Hebat

Fenomena KVJ meresahkan warga. Sementara pelaku vandal sangat apatis. Apatisisme muncul karena dorongan mengejar eksistensi dan aktualisasi diri sebagai remaja hebat. Mereka menjadi mati rasa atas kecaman warga. Mereka justru menciptakan kegaduhan visual. Mereka sengaja membuang kotoran visual dan memunculkan kekumuhan visual di ruang publik.

Atas kasus KVJ semakin menguatkan tengara lunturnya sikap hidup untuk belajar yang sesungguhnya. Maraknya peristiwa KVJ diperparah ketika orang tua tidak memiliki empati perihal pendidikan bagi buah perkawinannya. Mereka los stang. Seluruhnya dipasrahkan sekolah. Sementara penyelenggaraan pendidikan formal, tidak didedikasikan sebagai proses pengembangan diri lewat penguasaan ilmu pengetahuan dan nilai kemanusiaan berkeadilan. Semuanya menjadi ambyar berantakan!

*)Dr Sumbo Tinarbuko, pemerhati budaya visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta. Artikel ini dimuat di kolom Opini KR, Harian Kedaulatan Rakyat, Jumat, 11 Februari 2022.

Tentang sumbotinarbuko

Creative Advisor and Consultant of Institute Sumbo Indonesia, and Lecturer of Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa and Sekolah Pascasarjana ISI Yogyakarta
Pos ini dipublikasikan di about me. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar