Academia.eduAcademia.edu
TUGAS MAKALAH PENGANTAR HUKUM INDONESIA HUKUM INTERNASIONAL (STUDI KASUS: ANTARA INDONESIA-MALAYSIA DALAM PEREBUTAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN) Dosen: Dwi Desi Yayi Tarina, S.H., M.H. Disusun oleh: KELOMPOK 4 Sarah Thalia (1610611156) Rarenzan Widita (1610611158) Nada Siti Salsabila (1610611159) Rhoyhan Fadella (1610611185) Aimee Thaliasya (1610611186) Muhammad Rizki Hidayat (1610611193) Gede Bayu Surya Putra Pratama (1610611198) Ashidiqi El Rahman (1610611199) Heriyanto (1610611202) UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM 2016 KATA PENGANTAR Puji Syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT, shalawat dan salam tercurah pada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya hingga akhir zaman. Alhamdulillah, berkat kemudahan serta petunjuk dari-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia yang berjudul “Makalah tentang Hukum Internasional (Studi Kasus: Antara Indonesia-Malaysia dalam Perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan” dapat selesai seperti waktu yang telah ditentukan. Tersusunnya makalah ini tentunya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara materil dan spiritual, baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca. Penulis menyadari bahwa makalah ini mungkin masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Seperti peribahasa “Tak ada gading yang tak retak.” Maka penulis mengharapkan kritik dan saran guna perbaikan di masa yang akan datang dan dapat membangun kami. Jakarta, November 2016 Penulis DAFTAR ISI KATA PENGANTAR2 DAFTAR ISI3 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang4 1.2 Rumusan Masalah5 1.3 Tujuan Masalah5 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Hukum Internasional Publik6 2.1.1 Istilah dan Sifat Hukum Internasional6 2.1.2 Sumber-sumber Hukum Internasional7 2.1.3 Subjek Hukum Internasional9 2.1.4 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)10 2.1.5 Persatuan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara17 2.2 Hukum Perdata Internasional 18 2.2.1 Istilah, Sifat, dan Tujuan18 2.2.2 Asas-Asas Hukum Perdata Internasional di Indonesia19 2.2.3 Hukum Acara Perdata21 BAB III STUDI KASUS ANTARA INDONESIA-MALAYSIA DALAM PEREBUTAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN 3.1 Posisi Kasus23 3.2 Putusan Mahkamah Internasional 23 3.3 Pembahasan 24 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan28 4.2 Saran29 DAFTAR PUSTAKA31 BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Istilah hukum internasional kebanyakan hanya digunakan dalam arti “Hukum Internasional Publik”. Sementara itu, hukum internasional publik itu bertugas mengatur hubungan hukum yang terjadi antarnegara dan organisasi antarnegara dalam kaitannya ketentraman hidup bernegara. Akan tetapi, hubungan hukum yang terjadi antara seseorang dan orang lain yang berlainan warga negaranya dalam sebuah negara yang berkenaan dengan keperdataan, seolah-olah tidak menjadi tanggung jawab dari aturan hukum terjadinya peristiwa hukum keperdataan itu. Sebenarnya kalau dilihat dari, kewarganegaraan individual dengan membawa hukumnya dan memepertahankan dalam peristiwa hukum yang terjadi, tentu penyelesaiannya, memerlukan hukum internasional juga. Sampai sekarang peristiwa hukum seperti itu penyelesaiannya dilakukan menurut hukum perdata. Dalam hukum internasional negara dianggap sebagai subjek hukumutama. Negara tempat terjadinya peristiwa hukum itu dengan perubahan sifat hukum perdatanya menggunakan hukum internasioanal. Berarti, bahwa hubungan hukum anatarindividu dalam keperdataan (privat) yang menyangkut perbedaan hukum dan kewarganegaraan diatur oleh hukum internasional privat (hukum perdata internasional). Jadi, dapat dikatakan bahwa dalam percaturan internasional dewasa ini terdapat hukum yang mengatur kepentingan negara dan warga negaranya: Hukum internasioanl publik yang lazimnya disebut hukum internasional (HI) Hukum internasional privat yang lazimnya disebut hukum perdata internasional (HPI) Kedua hukum tersebut selalu mengandung unsur-unsur asing, yaitu hubungan hukum yang terjadi berkenaan dengan sebuah negara dan negara lain. Dapt terjadi pula warga negara dengan orang asing atau orang asing dengan dan orang asing dalam sebuah negara. Kaidah-kaidah hukumnya mengatur peristiwa. Hukum yang terjadi. Oleh karena itu, diperlukan adanya badan peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan peristiwa-peristwia hukum yang timbul dari hubungan hukum itu. Tentunya diharapkan bagi setiap yang menimbulkan peristiwa hukum dapat dan mau menaati kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tata cara menyelesaikan peristiwa hukum tersebut.Perkembangan dunia global dalam masyarakat internasional pada zaman sekarang sudah banyak yang melintasi batas-batas wilayah teritorial suatu negara. Dan hal ini sudah tentu memerlukan suatu aturan atau tata tertib hukum yang jelas dan tegas. Yang bertujuan untuk menciptakan suatu kerukunan dalam menjalin kerjasama antar negara yang saling menguntungkan. Dan sumber hukum internasional seperti perjanjian internasional, kebiasaan internasional, dan sebagainya memilki peran penting dalam mengatur masalah-masalah bersama yang dihadapi subyek-subyek hukum internasional. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah: Bagaimanakah pengertian hukum internasional publik? Bagaimanakah hukum perdata internasional? Bagaimana diplomasi yang dilakukan Indonesia-Malaysia dalam penyelesaian kasus Sipadan-Ligitan? Tujuan Masalah Berdasarkan pernyataan masalah maka tujuan yang ingin dicapai oleh penulisan makalah ini adalah: Untuk mengetahui mengenai hukum internasional publik. Untuk mengetahui mengenai hukum perdata internasional. Untuk mengetahui gambaran mengenai diplomasi yang dilakukan Indonesia-Malaysia dalam penyelesaian kasus Sipadan-Ligitan. BAB II PEMBAHASAN Hukum Internasional Publik Istilah dan Sifat Hukum Internasional Kumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antarnegara merdeka dan berdaulat dalam bahasa Indonesia diistilahkan sebagai Hukum antarnegara dan juga disebut Hukum Bangsa bangsa. Istilah hukum bangsa-bangsa itu merupakan terjemahan dari bahasa Belanda (volkenrecht), bahasa Prancis (droit de gens), bahasa Inggris (law of nations), dan bahasa Jerman (volkerrecht). Keempat istilah ini aslinya dari ius gentum. Ius gentium suatu istilah yang terdapat dalam hukum Romawi, ius gentum berasal dari ‘hukum alam’ yang dijadikan aturan tata tertib untuk setiap bangsa. Hukum alam dimaksudkan ini ialah tata tertib alam yang mengatur manusia. Hukum alam dijadikan dasar hukum antar bangsa-bangsa. Dalam perkembangan hubungan hukum antarnegara selanjutnya namanya menjadi Hukum Internasional. Namun dilihat dari bangunan hukumnya, Hukum Internasional itu tidak memiliki komponen komponen yang satu sama lain mempunyai hubungan kewenangan untuk mengatur negara negara di dunia ini. Oleh karena itu, peraturan hukum internasional sifatnya hanya sebagai hukum koordinatif saja. Dengan sifat hukum koordinatif ini, kalau terjadi suatu pelanggaran dari perikatan yang telah disepakati dan menimbulkan perselisihan, penyelesaiannya dapat dilakukan di Mahkamah Internasional. Hal itu kalau antarnegara yang berselisih menunjuk lembaga peradilan itu untuk menanganinya. Sebenarnya dengan itikad dari negara yang menginginkan penyelesaian suatu perselisihan tertentu, tidak perlu dengan menunjuk lembaga peradilan itu menanganinya. Akan tetapi peraturanlah yang menentukannya. Peraturan hukum internasional tidak mempunyai kekuatan mutlak untuk mengatur setiap negara, maka dalam mempertahankan kepentingan itu dipertemukan oleh Mahkamah Internasional sesuai kesepakatan dari perserikatan yang telah pernah dilakukan. Sumber-sumber Hukum Internasional Secara formal, sumber-sumber hukum internasional itu dapat dibaca dalam Pasal 38 Ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional. Menurut ketentuan pasal ini dinyatakan bahwa Mahkamah Internasional itu “Whose function is to decide in accordance with international law such disputes as are submitted to it, shall apply: International conventions, whether general or particular establishing rules expressly recognised by contesting Stated. International custom, as evidance of a general practice accepted as law. The general principles of law recognised by civilised nations. Subject to the provisions od Article 59, judicial decisions and the techings of th most highly qualified publicicts of the various nationss as subsdiary means for the determinations of rules of law.” Keempat sumber hukum internasional formal ini tidak ditentukan urutan-urutan pentingnya. Hanya saja, untuk a, b, dan c merupakan sumber hukum ya g utama. Perjanjian Internasional Perjanjian internasional ialah suatu ikatan hukum yang terjadi berdasarkan kata sepakat antara negara-negara sebagai anggota organisasi bangsa-bangsa. Hal itu dilakukan dengan tujuan melaksanakan hukum tertentu yang mempunyai akibat hukum tertentu. Dalam perjanjian ini diperlukan adanya: Negara-negara yang tergabung dalam organisasi Bersedia mengadakan ikatan hukum tertentu Kata sepakat untuk melakukan sesuatu Bersedia menanggung akibat-akibat hukum yang terjadi Subjek-subjek hukum yang terdiri dari negara-negara sebagai anggota organisasi bangsa-bangsa akan terikat kepada kata sepakat yang diperjanjikan. Suatu perjanjian internasional yang terjadi akan membuat hukum yaitu sebagai sumber hukum antarnegara yang mengikatkan diri. Contoh: Declaration of paris 1856, Charter of the united nationalis, dan sebagainya. Walaupun pada dasarnya perjanjian internasional mengikat negara-negara yang melakukan perjanjian, tetapi dalam perkembangannya sering menjadi penting. Hal itu karena dijadikan tolak ukuran oleh negara-negara lain yang tidak mengikatkan diri dari perjanjian itu sebagai pedoman dalam pergaulan hukum internasional. Kebiasaan Internasional Hukum kebiasaan yang berlaku antarnegara-negara dalam mengadakan hubungan hukum dapat diketahui dari praktik pelaksanaan pergaulan negara-negara itu. Peraturannya sampai sekarang sebagian besar masih merupakan bagian dari kumpulan peraturan hukum internasional. Walaupun demikian, keadaannya suatu hal yang penting ialah diterimanya suatu kebiasaan sebagai hukum yang bersifat umum dan kemudian menjadi hukum kebiasaan internasional. Misalnya saja peraturan yang mengatur tentang cara-cara mengadakan perjanjian internasional. Prinsip-prinsip Hukum Umum Prinsip-prinsip hukum umum yang dimaksudkan yaitu dasar-dasar sistem hukum pada umumnya yang berasal dari asas hukum Romawi. Menurut Sri Setianingsih Suwardi, S.H., fungsi dari prinsip-prinsip hukum umum ini ada tiga. Sebagai pelengkap dari hukum kebiasaan dan perjanjian internasional. Misalnya: Mahkamah Internasional tidak dapat menyatakan “non Liquet”, yaitu tidak dapat mengadili karena tidak ada hukum yang mengaturnya. Akan tetapi, dengan adanya sumber ini mahkamah bebas bergerak. Sebagai alat penafsiran bagi perjanjian internasional dan hukum kebiasaan. Maksudnya, kedua sumber hukum itu harus sesuai dengan asas-asas hukum umum. Sebagai pembatasan bagi perjanjian internasioanal dan hukum kebiasaan. Misalnya: Perjanjian internasional tidak dapat memuat ketentuan yang bertentangan dengan asas-asas hukum umum. Yurisprudensi dan Anggapan-anggapan Para Ahli Hukum Internasional Yurisprudensi internasional (judical decisions) dan anggapan-anggapan para ahli hukum internasional (the teachings of the most highly qualified publicists of the various nations) hanya merupakan “subsdiary means for thedetermination of rules of law”. Maksudnya putusan hakim dan anggapan-anggapan para ahli hukum internasional itu hanya digunakan untuk membuktikan dipakai-tidsknya kaidah hukum internasional berdasarkan sumber hukum primer. Contohnya, seperti perjanjian internasional, dan prinsip-prinsip hukum umum dalam menyelesaikan perselisihan internasional. Oleh karena itu, kalau terjadi perselisihan internasional banyak negara yang segan menyelesaikan masalahnya melalui pengadilan internasional. Apalagi mahkamah internasional tidak mempunyai wewenang memaksakan negara yang berselisih untuk membawakan masalahnya ke hadapan pengadilan internasional. Anggapan-anggapan para ahli hukum internasional peranannya menjadi penting sebagai sumber hukum, dalam arti sumber hukum tambahan. Maksudnya, walaupun anggapan-anggapan it tidak menimbulkan hukum, akan menjadi penting kalau secara langsung dapat memberikan penyelesaian dalam suatu masalah. Subjek Hukum Internasional Yang dimaksud dengan subjek hukum internasional ialah setiap Negara, badan hukum (internasional) atau manusia yang memiliki hak dan kewajiban dalam hubungan hukum internasional. Subjek hukum internasional itu antara lain ialah sebagai berikut: Negara Negara sebagai subjek hukum internasional yaitu Negara yang merdeka, berdaulat dan tidak merupakan bagian dari suatu Negara. Negara yang berdaulat artinya Negara yang mempunyai pemerintah sendiri secara penuh, yaitu kekuasaan penuh terhadap warga Negara dalam lingkungan kewenangan Negara itu. Tahta Suci Yang dimaksud dengan tahta suci (Heilige Stoel) ialah Gereja Katolik Roma yang diwakili oleh Paus di Vatikan. Walaupun Vatikan bukan sebuah Negara sebagai yang diisyaratkan Negara pada umumnya, tahta suci itu mempunyai kedudukan sama dengan sebuah Negara sebagai subjek hukum internasional. Manusia Manusia sebagai individu dianggap merupakan subjek hukum internasional. Hal itu kalau dalam tindakan atau kegiatan yang dilakukannya memperoleh penilaian positif atau negatif sesuai kehendak damai kehidupan masyarakat dunia. Misalnya: Pertanggungjawaban individu terhadap timbulnya Perang Dunia II. Organisasi Internasional Dalam pergaulan internasional yang menyangkut mengenai hubungan antara negara-negara, maka banyak sekali organisasi yang diadakan (dibentuk) oleh Negara-negara itu. Bahkan sekarang dapat dikatakan telah menjadi lembaga hukum. Menurut perkembangannya, suatu organisasi internasional timbul pada tahun 1815 dan menjadi lembaga hukum internasional sejak adanya Kongres Wina. Pada tahun 1920 didirikanlah Liga Bangsa-bangsa yang benar-benar merupakan organisasi internasional dan anggota-anggotanya sanggup menjamin suatu perdamaian dunia. Akan tetapi, jaminan itu tidak berhasil. Organisasi internasional yang bertujuan untuk kepentingan sosial, ada juga seperti organisasi untuk memperbaiki dan mempertinggi pengajaran, pemberantasan kelaparan, pemberantasan penyakit dan sebagainya. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai organisasi internasional yang bersifat universal didirikan pada tanggal 26 Juni 1945 di San Fransisco sebagai pengganti Liga Bangsa-Bangsa. Tujuan organisasi internasional ini dicantumkan dalam mukadimah piagamnya yang menegaskan bahwa: Kami rakyat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa bermaksud untuk menyelamatkan keturunan kami dari siksaan perang yang telah dua kali dalam seumur manusia menimbulkan kesengsaraan yang tidak ada akhirnya bagi manusia, serta: Memperkuat lagi keyakinan hak-hak dasar manusia, kemuliaan dan derajat tinggi manusia, hak-hak yang sama dari pria dan wanita segala bangsa baik yang besar maupun yang kecil, serta Menciptakan suasana akan keadilan dan penghargaan terhadap kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian-perjanjian internasional dan lain-lain sumber hukum internasional dapat dipelihara, serta Memajukan masyarakat dan mempertinggi tingkat hidup yang baik dalam suasana kemerdekaan yang lebih luas, dan untuk melaksanakan cita-cita itu, Menciptakan kesabaran dan hidup bersama sebagai tetangga yang baik dalam keadaan damai dan terjamin, serta Mempersatukan kekuatan kami supaya perdamaian dan keamanan internasional tetap terpelihara, serta Menjamin, dengan mengaku asas-asas yang tertentu dengan melakukan cara-cara tertentu, agar kekuatan senjata tidak akan digunakan, kecuali untuk keperluan bersama, serta Mempergunakan aparat internasional untuk menyelenggarakan kemajuan ekonomi dan sosial semua bangsa. Telah menentukan sebagai persatuan semua tenaga kami dan tercapainya maksud tersebut. Karena itu, maka pemerintah kami masing-masing melalui perantaraan wakil-wakilnya yang ternyata mendapat surat kuasa sah sepenuhnya, telah bermusyawarah di kota San Fransisco, serta telah menyetujui Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sekarang ini, dan kemudian membentuk badan internasional yang akan dikenal dengan nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations). Tujuan yang dicantumkan dalam Mukaddimah ini kemudian diulang lagi dalam Pasal 1 Piagam PBB. Sementara itu, asas-asasnya dicantumkan dalam Pasal 2 yang menyebutkan: Perserikatan Bangsa-Bangsa berasaskan kepada persamaan kedaulatan. Semua anggota akan menjamin hak-hak yang timbul sebagai anggota dan akan memenuhi kewajibannya dengan penuh kesetiaan. Dalam hubungan internasional, setiap anggota akan menghindarkan diri dari ancaman dan penggunaan kekerasan bagi keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik suatu Negara. Setiap anggota wajib membantu PBB dalam kegiatan yang diambil berdasarkan ketentuan piagam. PBB akan menjamin agar bagi Negara yang bukan anggota bertindak sesuai dengan asas-asas PBB dalam kepentingan yang dianggap perlu untuk perdamaian dan keamanan internasional. PBB tidak akan ikut campur urusan dalam negeri suatu Negara. Berdasarkan tujuan dan asas-asas ini, maka dalam pergaulan internasional, PBB menyelenggarakan kegiatan melalui enam aparat perlengkapan utamanya, adalah sebagai berikut. Majelis Umum (General Assembly) Setiap anggota PBB merupakan Majelis Umum. Negara anggota diperkenankan mengirim lima orang wakilnya ke sidang Majelis Umum dengan hak satu suara. Sidang Majelis Umum diadakan sedikitnya sekali setahun dalam bulan September. Namun, atas permintaan Dewan Keamanan atau sebagian besar anggota, sekretaris jenderal dapat mengadakan sidang istimewa. Dalam keadaan mendesak dalam waktu 24 jam, Dewan Keamanan dapat meminta Majelis Umum mengadakan sidang darurat istimewa. Majelis Umum memiliki tugas dan wewenang yang pada pokoknya meliputi tentang perdamaian dan keamanan internasional; kerja sama ekonomi, kebudayaan, pendidikan, kesehatan, perikemanusiaan, system perwalian, keuangan penetapan keanggotaan, perubahan program; pemilihan keanggotaan tidak tetap Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Perwakilan, bersama-sama Dewan Keamanan memilih hakim dari Mahkamah Internasional dan atas usul Dewan Keamanan memilih Sekretaris Jenderal. Untuk melaksanakan tugas-tugas itu. Majelis Umum mempunyai komisi-komisi. Komisi I mengurus idang politik dan keamanan Komisi II mengurus bidang ekonomi dan keuangan Komisi III mengurus bidang social, perikemanusiaan dan kebudayaan Komisi IV mengurus bidang perwalian, termasuk daerah-daerah yang tidak berpemrintahan sendiri Komisi V mengurus bidang administrasi dan anggaran belanja Komisi VI mengurus bidang-bidang perundang-undangan (hukum) Selain itu, terdapat sub-sub komisi yang terdiri atas: United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNWRA); United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD); United Nations Children’s Fund (UNICEF); United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR); United Nations Industrial Development Organization (UNIDO); United Nations Development Programme (UNDP); United Nations Institut for Training and Research (UNITER). Dewan Keamanan (Security Council) Terdiri dari lima anggota tetap yang memiliki hak “veto” (saya melarang) yaitu Inggris, Prancis, Republik Rakyat Cina, Amerika Serikat, Uni Soviet dan sepuluh anggota tidak tetap yang dipilih setiap dua tahun. Tugasnya memelihara perdamaian, menyelesaikan perselisihan internasional secara damai, menngambil tindakan terhadap ancaman agresi dan perkosaan perdamaian. Untuk melaksanakan tugas-tugas itu, yang didalamnya diperbantukan Panitia Staf Militer dan Panitia Perlucutan senjata, Dewan Keamanan mempunyai wewenang: Memeritahkan kepada pihak-pihak yang berselisih untuk berunding, memberikan perantaraan dan keputusan; Mengambil tindakan terhadap pihak-pihak yang tidak mengindahkan perintahnya. Untuk hal ini, Dewan Keamanan dapat meminta bantuan dalam segala bentuk, misalnya pengiriman pasukan-pasukan PBB. Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council) Anggotanya sebanyak 54 negara anggota PBB. Keanggotaan Dewan Ekonomi dan Sosial itu dipilih oleh Majelis Umum setiap tiga tahun sekali. Hanya seorang wakil (dari Negara terpilih) yang duduk didalamnya. Tugas dan wewenang yang diemban oleh Dewan Ekonomi dan Sosial ialah: Menyelenggarakan kegiatan ekonomi dan sosial sebagai tanggung jawabnya; Melakukan penyelidikan untuk dilaporkan dan memberikan anjuran-anjuran mengenai bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, kesehatan, pendidikan dan maslah lain yang ada hubungannya; Membuat laporan dari hasil pekerjaanya dan disampaikan kepada Majelis Umum, kepada anggota-anggota PBB, dan komisi-komisi yang mempunyai hubungan kepentingan dengan Dewan Ekonomi dan Sosial ini. Untuk melaksanakan tugasnya, Dewan Ekonomi dan Sosial oleh komisi-komisi dan badan-badan khusus. Adapun komisi-komisi itu terdiri atas: Regional Economic Commission; Functional Commission; Sessasional, standing, and hoc commission. Sementara itu, badan-badan khusus yang dikoordinasi oleh Dewan Ekonomi dan Sosial terdiri dari: Food and Agriculture Organization (FAO); International Monetary Fund (IMF); International Bank of Reconstruction and Development (World Bank); United Nation Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO); World Health Organization (WHO); International Labour Organization (ILO); International Development Association (IDA); International Finance Corperation (IFC); International Civil Aviation Organization (ICAO); International Postal Union (IPU); International Telecommunications Union (ITU); World Governmental Maritime Consultative Organization (WGMCO); World Intelectual Propery Organization (WIPO); General Agreement on Tarifts and Trade (GATT). Dewan Perwalian (Tructeeship Council) Tugas-tugas Dewan Perwalian melindungi kepentingan penduduk di daerah-daerah yang belum mempunyai pemerintahan sendiri. Pelaksanaanya dijalankan dengan mempertinggi kemajuan politik, ekonomi, soaial, dan pendidikan. Hal itu dilakukan dalam rangka untuk memperoleh pemerintahan sendiri sesuai dengan haknya untuk menentukan nasib sendiri. Daerah-daerah yang ada dibawah perwalian itu merupakan kolonisasi dari Negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia I dan II. Sebagai trus-territory dibedakan dalam tiga macam yaitu: Daerah Mandat, ialah daerah yang setelah Perang Dunia I diserahkan oleh Negara-negara yang kalah perang; Daerah yang dipisahkan dari Negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia II; Daerah-daerah yang oleh Negara penanggung jawab secara sukarela diserahkan. Pengawasan daerah Perwalian itu dijalankan oleh Dewan Perwalian yang terdiri dari: Anggota penyelenggara pemerintahan daerah perwalian; Anggota tetap Dewan Keamanan yang tidak diberi tugas sebagai Negara wali; Anggota-anggota yang dipilih oleh Majelis Umum untuk tiga tahun lamanya. Mahkamah International (International Court of Justice) Mahkamah Internaional merupakan pengadilan tertinggi dalam kehidupan bernegara di dunia ini. Sebagai aparat perlengkapan PBB, Mahkamah beranggotakan lima belas orang hakim yang dipilih oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan. Masa pilih para hakim mahkamah Sembilan tahun sekali dengan ketntuan dapat dipilih kembali. Mahkamah International berkedudukan di Den Haag (Negara Belanda). Sebagai pengadilan internasional, Mahkamah bertugas menyelesaikan perselisihan internasional dari Negara-negara anggota PBB. Hal itu disebabkan semua anggota PBB adalah “ipsofacto” dari Piagam Mahkamah Internasional menurut Pasal 93 Ayat 1 Piagam PBB. Sementara itu, Ayat 2 menyatakan bahwa “Negara yang bukan anggota Perserikatan Bangssa-Bangsa boleh menjadi peserta dari Piagam Mahkamah Internasional sesuai syarat-syarat yang ditetapkan oleh Majelis Umum atas anjuran Dewan Keamanan”. Berdasarkan ketentuan ini, berarti Mahkamah Internasional dapat mengadili Negara-negara bukan anggota PBB dalam mengahadapi pkerselisihan. Mahkamah mengadili masalah yang berkenaan dengan perselisihan kepentingan dan perselisihan hukum. Dalam penyelenggaraan pengadilan internasional, setiap Negara anggota PBB tidak diwajibkan membawa masalah perselisihan yang mereka hadapi ke hadapan pengadilan, kecuali bagi Negara-negara yang telah menandatangani “optional clause”. Mengenai ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 36 Ayat 2 Piagam Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa “ Negara-negara peserta Piagam Mahkamah Internasional dapat menerangkan bahwa mereka mengakui kekuasaan Mahkamah Internasional sebagai kekuasaan yang mengikat berdasar hukum dan dapat tidak mengikat berdasarkan perjanjian istimewa”. Dalam hal ini, hubungan hukum internasional mengenai proses perkara berdasarkan surat gugatan. Dengan adanya optional clause menunjukkan langkah penting menuju suatu pengadilan internasional wajib walaupun penandatangan dari Negara-negara anggota hanya mengenai penyelesaian perselisihan hukum saja. Sekretariat (Secretary) Secretariat PBB terdiri atas seorang sekretaris jenderal dan stafnya. Sekretaris jenderal dipilih dan diangkat oleh Majelis Umum atas anjuran Dewan Keamanan. Tugasnya menyelenggarakan sidang-sidang PBB dan Dewan-dewan, meyusun laporan-laporan tentang pekerjaan PBB dan dewan-dewan untuk disampaikan kepada sidang Majelis Umum. Persatuan Bangsa-bangsa Asia Tenggara Organisasi kerja sama Asia Tenggara yang diberi nama ASEAN (Association of South East Asia Nations atau Persatuan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) didirikan melalui Deklarasi ASEAN tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok (Thailand). Negara-negara pendirinya ialah Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand. Organisasi ini didirikan tanpa keanggotaan terbatas. Maksudnya, terbuka bagi setiap Negara yang terletak di lingkup geografis Asia Tenggara. Maksud dan tujuan organisasi ini inti utamanya ialah kerja sama dalam mencapai kesejahteraan hoidup bertetangga baik dalam bernegara. Hal ini antara lain meliputi: Pertumbuhan yang cepat dalam bidang ekonomi, kemajuan social dan kebudayaan; Memelihara perdamaian abadi dan stabilitas regional Kerja sama dan saling membantu dalam kepentingan bersama Memajukan studi tentang Asia Tenggara Untuk mencapai maksud dan tujuan ini, ada aparat perlengkapan ASEAN. Aparat perlengkapan ASEAN diuraikan di bawah ini. Pertemuan dari Kepala Pemerintahan Negara anggota Pertemuan Menteri Luar Negeri Pertemuan ini diadakan setahun sekali secara bergilir untuk menentukan program ASEAN, merumuskan pedoman dan koordinasi kegiatan serta melakukan peninjauan kembali terhadap keputusan dan program yang lalu. Komite Kerja Kepala Komite Kerja ASEAN ialah menteri luar negeri negara tuan rumah (pertemuan) atau wakilnya. Anggota-anggotanya terdiri atas duta besar Negara ASEAN yang ada di Negara tuan rumah. Tugas Komite ini ialah: Melanjutkan pekerjaan ASEAN dalam kurun waktu antara siding menteri luar negeri; Mengerjakan masalah-masalah rutin Membuat keputusan tanpa menunggu pertemuan menteri luar negeri berikutnya. Sekretariat ASEAN Nasional Pada setiap negara anggota dibentuk, secretariat nasional yang melaksanakan tugas-tugas ASEAN atas nama negaranya. Komite Tetap, Khusus dan ad hoc Tugasnya melaksanakan program ASEAN. Keanggotaan komite ini terdiri atas para ahli sesuai bidangnya. Sekretariat ASEAN Sekretariat ASEAN berkedudukan di Jakarta (Indonesia). Lembaga ini didirikan berdasar kepada hasil Konverensi Tingkat Tinggi ASEAN tahun 1976 (Juni).Kepala sekretariat ialah sekretaris jenderal yang pemilihannya ditentukan dalam siding menteri luar negeri. Masa jabatan Sekretaris Jenderal selama dua tahun secara bergantian dari negara-negara anggota. Sementara itu, tugasnya melaksanakan pekerjaan kesekretariatan ASEAN. Hukum Perdata Internasional Istilah, Sifat, dan Tujuan Istilah Internasional dapat diartikan sebagai antarbangsa-bangsa dari berbagai negara. Dalam kaitannya dengan hukum perdata, arti antarbangsa-bangsa merupakan kompleksitas peraturan hukum perdata yang dibawa dari masing-masing negara dan dilaksanan dalam suatu negara. Sementara itu, negara tempat bertemunya peraturan hukum dari para pembawa juga memiliki peraturan hukum perdata. Jadi, hukum perdata internasional ialah peraturan hukum perdata nasional yang berusaha mengatur hubungan hukum perdata yang menyangkut unsur-unsur asing di dalamnya. Sifat Arti hukum perdata internasional dititikberatkan kepada peranan hukum perdata nasionalnya yang diberlakukan untuk mengatur hubungan hukum. Hal itu karena ada unsur-unsur asing. Berarti, belum ada peraturan hukum perdata khusus yang bersifat internasional. Maksudnya, sampai sekarang belum ada satu peraturan hukum perdata bercorak unifikasi bagi setiap orang dalam hubungan hukum internasional. Sementara itu, yang ada dan berlaku hanyalah hukum perdata nasional sebagai pengatur hubungan hukum perdata yang didalamnya terdapat unsur-unsur asing. Jadi, hukum perdata internasional itu bersifat nasional. Tujuan Peraturan hukum perdata nasional yang mengatur hubungan keperdataan dan mengandung unsur-unsur asing itu bertujuan memenuhi rasa keadilan bagi setiap individu. Selanjutnya menyelesaikan sesuai peraturan hukum perdata yang berlaku di negara itu dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memperoleh rasa keadilan dirinya. Asas-asas Hukum Perdata Internasional di Indonesia Setiap Negara memiliki hukum perdata nasional, bila terjadi peristiwa hukum perdata yang menyangkut unsur asing di dalamnya sifat peraturan hukum itu berubah menjadi internasional. Hukum tersebut pun diselesaikan menurut peraturan hukum perdata yang berlaku di Negara itu. Di Indonesia asas-asas sumber hukum berbeda dengan Negara lainnya. Di sebabkan oleh perbedaan perkembangan dalam sejarah hukum perdata Indonesia, bangsa Indonesia diberlakukan oleh hukum buatan belanda. Peraturan hukum yang menjadi sumber hukum dari hukum perdata internasional di Indonesia terdapat dalam Algemene Bepalingen’van Wetgeving (AB). Asasnya dicantumkan dalam pasal 16, 17, dan 18. Ketiga pasal ini diciptakan oleh Bartolus de Saxofeerato (1314-1357). Pasal 16 AB menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan perundangan tentang kedudukan hukum dan kewenangan individu bertindak tetap mengikat warga Negara Indonesia walaupun berada di luar negri”. Berarti, kedudukan kewenangan hukum Indonesia selalu mengikuti warga Negara Indonesia di manapun ia berada, inilah yang kemudian disebut asas personal (lex rei sitae) atau statuata personalia. Pasal 17 AB menyatakan bahwa “Mengenai benda tetap (tidak bergerak) berlaku hukum dari Negara tempat benda itu terletak”. Ketentuan pasal ini merupakan suatu kaidah hukum setempat. Hal itu di sebabkan terjadinya peristiwa hukum perdata yang menyangkut tentang tanah sebagai benda tetap dan letaknya di wilayah Indonesia, hukum yang di gunakan adalah peraturan Agraria Indonesia. Dikenal juga sebagai asas hukum setempat (lex situs) atau yang di sebut juga statuata realita. Pasal 18 AB menyatakan bahwa “Bentuk suatu tindakan hukum mengikuti bentuk hukum yang di tentukan oleh hukum Negara atau tempat dilakukannya tindakan itu”. Hukum ini berlaku di tempat terjadinya peristiwa hukum yang menyangkkut dua corak hukum berkelainan. Kalau dalam suatu peristiwa hukum bertemu dua corak hukum yang berlainan di dalam satu wilayah tertentu, aturan hukum tempat itulah yang berlaku. Asas ini di kenal sebagai asas locus regit actus atau di sebut juga statute mixta. Penggunaan ketiga pasal ini dalam hukum perdata material sebagai berikut: Hukum Pribadi Hukum perdata nasional yang mengatur tentang hak dan kewajiban pribadi sebagai subjek hukum individu atau badan hukum. Penyelesaian masalah hukum berpedoman kepada pasal 16 AB. Kalau peninjauan dakam hukum ternyata berbeda dengan aturan hukum Indonesia tentang hal itu digunakanlah ketentuan pasal 18 AB. Dengan pasal ini, setiap peristiwahukum yang timbul dalam hubungan hukum orang-orang asing di Indonesia dapat dilakukan penyelesaiannya berdasarkan ketentuan-ketentua hukum yang diatur dalam Buku 1 kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS). Hukum Keluarga Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang kehidupan berkeluarga sebagai hukum perdata nasional di cantumkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Peristiwa hukum yang terjadi dan menyangkut unsur-unsur asing di dalamnya, seperti orang asing yang akan menikah berpedoman pada Pasal 18 AB. Pelaksanaan penyelesaian perkawinan itu sampai terbentuk satu kesatuan yang dinamakan keluarga, diatur sepenuhnya dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1974. Jadi, tidak ada suatu halangan apa pun yang dapat membatalkan suatu perkawinan kalau menaati peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Hukum Kekayaan Hukum kekayaan yang terdiri dari hukum benda dan hukum perikatan nasional kalau dalam suatu peristiwa hukum menyangkut unsur-unsur pengaturan penyelesaiannya akan menjadi dua segi juga. Terutama berkenaan adanya penghapusan terhadap hukum benda yang di atur dalam KUHS dan di ganti dengan Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, seorang asing tidak dibenarkan memiliki benda tetap. Tindakan hukum yang berkenaan dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak guna pakai, dan hak lainnya di luar hak milik benda tetap kalau terjadi peristiwa hukum tertentu dan mengakibatkan orang asing memiliki benda tetap di salah satu wilayah Indonesia, pemilikan itu batal demi hukum. Terhadap hak-hak lainnya akan berpedomankan kepada pasal 16, 18 AB dan tindakan hukumannya dapat di lakukan sesuai peratiran hukum yang berlaku. Dengan berpedoman kepada pasal 18 AB, setiap tindakan hukum mengenai perikatan yang timbul karena pernjanjian atau perikatan berdasarkan undang-undang, tidak ada halangan untuk di lakukan. Hukum Waris Pewaris yang ketentuan hukumnya mengikat orang asing di Indonesia kalau hendak membuat surat wasiat di Indonesia. Pembuatan surat wasiat harus di lakukan di hadapan seorang Notaris. Namun, bagi yang meninggal dunia tanpa membuat surat wasiat sebelumnya, penentuan dan hak warisnya berdasarkan ketentuan Pasal 832 dan 833 KUHS. Hukum Acara Perdata Dalam melaksanakan hukum perdata material yang menimbulkan konflik, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui pengadilan. Hukum acara perdata yang mengatur tentang penyelesaian konflik dan menyangkut unsur-unsur asing yang di dalamnya belum ada. Akan tetapi, kalau memang terjadi suatu peristiwa yang menghendaki penyelesaiannya di pengadilan, sudah meruapkan kewajiban hakim untuk memeriksanya. Menolak perkara dengan alasan tidak ada peraturan hukumnya bukanlah alasan yang tepat. Hal itu disebabkan dalam tugas mengemban dan memberi kepastian hukum, hakim dapat menimbulkan hukum. Dengan demikian, selayaknya hakim menyelesaikan perkara-perkara perdata yang diajukan oleh orang-orang asing untuk meminta keadilan. Akan tetapi, sebagai suatu perkecualian, dapat juga hakim terlebih dahulu memperhatikan hukum orang asing itu perlu ditelaah secara teliti dan nyata perbedaaannya. Hal itu karena bagi seorang asing yang mengajukan gugatan kepada orang lainnya melalui pengadilan, tidaklah dapat diabaikan. Mengingat kedudukan kekuatan hukum orang itu dicantumkan dalam pasal 16 AB. Proses pengadilan perdata bagi orang asing digunakan acara yang berlaku di Indonesia. Akan tetapi, dalam penyelesaian melalui proses pengadilan itu, penggunaan aturan acaranya tergantung dari masalah yang dihadapi. Hal itu dapat digunakan aturan acara yang berlaku pada peradilan umum atau peradilan khusus (peradilan agama). BAB III STUDI KASUS ANTARA INDONESIA-MALAYSIA DALAM PEREBUTAN PULAU SIPADAN DAN LIGITAN Posisi Kasus Awal mula kasus itu dimulai pada tahun 1968, ketika Malaysia bereaksi terhadap perjanjian kerjasama antara Indonesia dengan Japex (Japan Exploration Company Limited) tahun 1966. Malaysia juga melakukan kerjasama dengan Sabah Teiseki Oil Company tahun 1968, sebagai tanggapan terhadap kegiatan eksplorasi laut di wilayah Sipadan. Tahun 1969, Malaysia mulai melakukan klaim bahwa Sipadan Ligitan merupakan wilayah Malaysia, yang hal ini langsung di tolak oleh pemerintah Indonesia. Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi berlangsung dengan cara "Asian Way", sebuah cara yang mengedepankan dialog, dengan menghindari konflik militer. Akhirnya masalah itu menjadi redam, artinya dialog tentang perselisihan itu dilakukan dengan cara "sambil minum teh". Indonesia sungguh terbuai dengan model seperti itu sehingga Indonesia tiba-tiba kaget ketika pada bulan Oktober tahun 1991, Malaysia tiba-tiba mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun turisme dan arena diving yang sangat bagus. Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague di Belanda.   Putusan Mahkamah Internasional Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia.Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar. Pembahasan Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan Thailand dengan hampir semua negara tetangganya. Satu hal yang perlu disesali dalam mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya, ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya Dewan Tinggi ini. Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani masalah internasional. Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun 1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai merancang dan membangun infrastruktur Sipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua negara. Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan efektif (effective occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik. Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer maupun ekonomi. Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer, TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum internasional. Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia. Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat-saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal, kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan Sipadan-Ligitan. Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi berbicara kecanggihan peralatan militer yang "tidak layak tempur" karena usia tua dengan rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat utama sistem persenjataan merupakan "besi tua yang mengambang" dan tidak mampu melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh. Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal, terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli. Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia 21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun. Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur diplomatis menjadi pilihan utama dan logis. Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi, sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk persoalan perbatasan di forum internasional. Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-pulau "tak bernama” yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah Indonesia. BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hukum Internasional diartikan sebagai himpunan peraturan-peraturan dan ketetntuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional. Definisi hukum internasional yang diberikan oleh para pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu seperti Oppenheim dan Brierly, terbatas pada negara sebagi satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek hukum lainnya. Dari uraian sebelumnya dapat diatarik kesimpulan bahwa peranan hukum internasional terutama dalam penyelesaian sengketa internasional dan terciptanya perdamaian dunia ada 4 macam yaitu antara lain: Pada prinsipnya hukum internasional berupaya agar hubungan-hubungan antar negara terjalin dengan persahabatan (friendly relations among States) dan tidak mengharapkan adanya persengketaan; Hukum internasional memberikan aturan-aturan pokok kepada negara-negara yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya; Hukum internasional memberikan pilihan-pilihan yang bebas kepada para pihak tentang cara-cara, prosedur atau upaya yang seyogyanya ditempuh untuk menyelesaikan sengketanya; dan Hukum internasional modern semata-mata hanya menganjurkan cara penyelesaian secara damai; apakah sengketa itu sifatnya antar negara atau antar negara dengan subyek hukum internasional lainnya. Hukum internasional tidak menganjurkan sama sekali cara kekerasan atau peperangan. Hukum Internasional memberikan suatu keluasan pada negara yang bersengketa untuk dapat memilih metode apa yang bisa dipakai untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.Dengan adanya berbagai lembaga dan mekanisme yang hadir di dalam masyarakat sengketa internasional seharusnya memang bisa di selesaikan melalui jalan yang damai.Peran hukum internasional juga penting dalam penyelesaian kasus persengketaan salah satunya adalah hukum internasional mewajibkan persengketaan diselesaikan secara damai dan mengharapkan negara negara dapat menerapkan metode dan penyelesaian yang ada baik yang terdapat di dalam piagam PBB, perjanjian atau konvensi internasional.Bisa kita simpulkan bahwa hukum internasional tidak menyetujui jika suatu persengketaan diselesaikan dengan cara militer(perang),namun persengketaan bisa diselesaikan dengan cara yang damai. Hadirnya lembaga-lembaga atau mekanisme penyelesaian sengketa yang diciptakan oleh masyarakat internasional pada umumnya ditujukan untuk suatu maksud utama, yakni memberi cara mengenai bagaimana seyogyanya senqketa internasional diselesaikan secara damai. Peran hukum internasional dalam penyelesaian sengketa ini cukup penting. Hukum internasional tidak semata-mata mewajibkan penyelesaian secara damai, hukum internasional ternyata pula memberi kebebasan seluas-luasnya kepada negara-negara untuk menerapkan atau memanfaatkan mekanisme penyelesaian sengketa yang ada baik yang terdapat dalam Piagam PBB, perjanjian atau konvensi internasional yang negara-negara yang bersengketa telah mengikatkan dirinya. Pertama, Di tengah maraknya isu terorisme dan masalah Aceh yang sangat menguras energi, tampaknya pemerintah masih perlu menyelesaikan banyak pekerjaan rumah yang tertunda. Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia perlu meneruskan pembicaraan-pembicaraan bilateral dengan semua negara yang masih memiliki klaim tumpang tindih, seperti dengan Filipina, Vietnam, dan Singapura. Saran Keberadaan hukum internasional sangat dirasakan demi tercapainya ketertiban dunia. Namun tidak dapat dipungkiri juga bahwa dewasa ini ketegasan dari hukum internasional sudah mulai melemah seiring berkembangnya kekuatan-kekuatan yang terpusat pada beberapa negara tertentu. Sebagai generasi penerus yang akan menjalankan tugas-tugas pemerintahan pada masa akan datang, sangat diharapkan keseriusan dari semua pihak khususnya mahasiswa untuk kritis terhadap isu-isu, baik yang terjadi di dalam maupun diluar negeri ini, apalagi menyangkut pelaksanaan dari hukum internasional yang semakin hari semakin melemah pengimplementasiannya demi tercapainya perdamaian dunia. Hadirnya lembaga-lembaga atau mekanisme penyelesaian sengketa yang diciptakan oleh masyarakat internasional diharpkan agara semua ini dapat menunjukkan dan memperkuat tujuan akhir dari hukum internasional mengenai penyelesaian sengketa ini yaitu penyelesaian secara damai dan tidak menghendaki penyelesaian secara kekerasan (militer). Bagi pemerintah dan Deplu masih perlu membagi perhatiannya terhadap isu-isu konvensional seperti klaim teritorial ini.Disamping itu, perlu mencermati ketiga dasar hukum dari Mahkamah Internasional tersebut yaitu keberadaan terus menerus, penguasaan efektif, dan pelestarian alam untuk penyelesaian sengketa teritorial lainnya. Bukan tidak mungkin seperti terjadi di dunia hukum, ketiga pertimbangan tersebut akan menjadi yurisprudensi baru dalam memutuskan masalah sengketa teritorial. Tidak kalah penting yaitu, pemerintah perlu menerbitkan semacam buku putih proses sengketa Sipadan-Ligitan sebagai informasi komprehensif bagi masyarakat pada umumnya. Kronologis sengketa ini perlu di sajikan lengkap beserta dengan proses diplomasi yang dilakukan kedua negara agar dapat dimengerti utuh oleh masyarkat. Pemahaman masyarakat yang tidak utuh terhadap sengketa Sipadan-Ligitan akan menurunkan citra pemerintah dan juga dapat mengakibatkan mispersepsi terhadap negara sahabat, Malaysia dan dunia internasional pada umumnya. DAFTAR PUSTAKA Djamali, R. Abdoel. 2012. Pengantar Hukum Indonesia. Cetakan ke-18. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Starke, J.G. 1989.Pengantar Hukum Internasional I. Jakarta: Sinar Grafika http://elmiqra.blogspot.com/2009/12/studi-kasus-sengketa-antara-indonesia.html, diunduh pada tanggal 7 November 2016, pkl. 17.05 WIB. 33