Academia.eduAcademia.edu
Lepasnya Si Pulau Cantik Sipadan dan Ligitan Rijwan Munawan Ilmu Pemerintahan Universitas Negeri Singaperbangsa Karawang Indonesia memiliki pulau-pulau yang tersebar dari belahan barat sampai timur, dari Sabang di sebelah barat dan Merauke di sebelah timur. Indonesia memiliki setidaknya 17.504 pulau yang tersebar. Dari jumlah pulau-pulau yang ada di Indonesia tersebut, hanya sebagian saja yang sudah diberi nama, dan sebagiannya lagi bahkan masih banyak yang belum diberi nama. Pulau-pulau baik pulau terluar maupun pulau terdalam merupakan suatu wilayah suatu negara yang perlu dijaga keutuhannya, karena wilayah adalah ciri keutuhan suatu negara. Dengan adanya wilayah, negara tersebut berdaulat. Dengan adanya wilayah yang berdaulat, menjadi tempat orang-orang yang ada di dalamnya untuk menjalankan aktivitas kehidupannya. Masalah perbatasan merupakan bagian penting dari ketahanan dan keutuhan suatu negara. Kurniawan Setyanto.2012. Tesis :Kegagalan Formulasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia dan Lepasnya Pulau Sipadan Ligitan Dari Indonesia Tahun 2002 Dalam Perspektif Geopolitik Negara Kepulauan. (FISIP: UI) Untuk itu setiap negara mempunyai kewenangan menentukan batas wilayahnya masing-masing. Namun karena batas terluar wilayah negara senantiasa berbatasan dengan wilayah kedaulatan negara lain maka penetapan tersebut harus juga memperhatikan kewenangan otoritas negara lain melalui suatu perjanjian penetapan garis batas laut. Perbatasan sendiri secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. Ketahanan menjadi sangat penting mengingat banyaknya ancaman bagi kelangsungan persatuan kita sebagai bangsa dan negara. Ancaman- ancaman itu ada yang bersifat internal dan ada yang bersifat eksternal baik karena perkembangan keadaan dunia maupun karena posisi Indonesia yang memang rawan untuk dipecah belah. Pada awalnya perbatasan sebuah negara dibentuk dengan lahirnya negara. Wilayah perbatasan akan senantiasa menjadi momok yang mengkhawatirkan bagi setiap negara, dimana negara yang wilayahnya berbatasan langsung dengan negara lain akan semakin banyak kerawanan dan kemungkinan-kemungkinan terjadi suatu hal yang dapat membahayakan keutuhan suatu negara. Perbatasan wilayah pun dapat menjadi sengketa antar negara yang bersangkutan. Tak jarang dengan adanya sengketa tersebut memunculkan konflik antar negara yang bersangkutan tadi. Berangkat dari teori yang dikemukakan oleh Lewis Coser mengenai teorinya konflik, menggambarkan konflik sebagai perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kekuasaan, dan sumber-sumber kekayaan yang dari persediaannya tidak mencukupi. Disini dapat kita pahami bahwa konflik dalam hal sengketa perbatasan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kekuasaan suatu wilayahnya. Dengan mampu memenangkan sengketa, maka negara tersebut berdaulat penuh dan memiliki kekuasaan atas wilayah yang dulu dipersengketakan. Belajar dari Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan, yang mana kedua pulau ini adalah pulau yang dulu menjadi sengketa antara Indonesia dan Malaysia. Rizal Darmaputra.2009. Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan. (IDSPS Press:Jakarta). Kasus Sipadan dan Ligitan bukanlah luka baru dalam hubungan kedua negara. perundingan penetapan landas kontinen tahun 1969 gagal menetapkan status pemilik kedua pulau tersebut. Dalam kasus persengketaan ini, kedua negara mengklaim bahwa wilayah tersebut masuk ke dalam wilayahnya. Indonesia beranggapan bila garis batas lurus dibuat dari pulau Sebatik, yang sudah dibagi dua dengan Malaysia, dua pulau itu mestinya masuk wilayah Indonesia. Begitupun dengan Malaysia berpendapat, garis batas itu hanya sampai pulau Sebatik, sehingga kedua pulau itu bisa diklaim sebagai wilayah sabah. Agus Subagyo. Presentasi Analisis Politik Luar Negeri Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Reformasi : “Studi Kasus Upaya Mempertahankan Blok Ambalat Sebagai Wilayah NKRI : Belajar DariLlepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan”.Persengketaan ini mencuat ketika pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas- batas wilayahnya. Namun pada tahun 2002, Kedua pulau ini jatuh kepada pihak Malaysia ketika kasus persengketaan ini dibawa kepada pengadilan internasional. Dalam pengadilan itu, Indonesia kalah dan harus rela memberikan pengakuan kepada Malaysia atas kedua pulau tersebut. Berangkat dari sejarah atas kedua pulau tersebut, Sipadan dan Ligitan secara resmi tidak dinyatakan sebagai bagian dari wilayah, baik Belanda yang menjajah Indonesia dan juga Inggris sebagai penjajah Malaysia . Sipadan dan Ligitan awalnya adalah dua pulau ‘tak bertuan’, yang kemudian di klaim oleh Indonesia dan Malaysia. Atas sengketa tersebut, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Malaysia dinyatakan berhak atas kedua pulau itu, berdasarkan penguasaan efektif yang dilakukan Inggris terhadap kedua pulau tersebut melalui pemberlakuan hukum dan pemeliharaan. Mahkamah Internasional mendasarkan keputusannya kepada tindakan penguasaan efektif yang dilakukan sebelum tahun 1969. Sehingga tidak benar jika kemenangan Malaysia atas kasus ini dikarenakan pembangunan resort wisata di pulau-pulau tersebut, karena resort yang dibangun oleh Malaysia. Namun kita lihat juga ketika antara Indonesia dan Malaysia menetapkan status quo atas kedua pulau tersebut. dimana dalam pandangan Malaysia, status quo merupakan tetap menjadi kewenangan Malaysia hingga persengketaan selesai. Maka Malaysia membangun resort pariwisata di kedua pulau tersebut. namun berbeda dengan Indonesia yang menganggap bahwa status quo merupakan bahwa kedua pulau tersebut jangan ada yang mengelola ataupun ditempati sebelum keputusan atas sengketa berakhir. Namun Malaysia dengan terlebih dahulu melanggar atas status quo tersebut. Dan ketika kasus sengketa tersebut dibawa kepada Mahkamah Internasional, maka pihak Indonesia kalah dalam mendapatkan suara. Dengan 15 hakim mendukung Malaysia, sementara Indonesia hanya satu saja. Pembangunan resort oleh Malaysia di kedua pulau tersebut baru dibangun setelah tahun 1969. Namun demikian, pendirian resort tersebut telah menyalahi hukum karena pembangunannya dilakukan di pulau yang masih dalam sengketa. Pada kasus Sipadan-Ligitan, Indonesia memang kalah, tetapi bukan kehilangan pulau-pulaunya, karena sejak awal Sipadan-Ligitan memang bukan milik Indonesia. Namun kasus sengketa atas pulau Sipadan dan Ligitan masih menuai konflik, dimana Malaysia dengan seenaknya mengklaim kembali atas wilayah Indonesia atas Ambalat pada tahun 2005 sampai sekarang. Dari kasus Sipadan Ligitan ini penulis beropini bahwa kasus Sipadan Ligitan dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah Indonesia dalam menjaga keutuhan wilayahnya sebagai kedaulatan negara. Negara harus memosisikan pulau-pulau terluar sebagai halaman depan Indonesia dan bukan dipandang sebagai halaman belakang yang boleh diabaikan begitu saja. Pembangunan mesti dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan keamanan di pulau-pulau terluar tersebut. Sehingga, dengan demikian klaim Indonesia terhadap pulau-pulau tersebut tidak hanya kuat secara hukum namun juga secara sosiologis. Dari situ dapat diambil pelajaran bagi pengelolaan perbatasan Indonesia. Minimnya pemahaman dan political will pemerintah serta para pemangku kepentingan tentang kesadaran ruang dan kesadaran garis batas wilayah negara harus ditingkatkan. Lepasnya Sipadan Ligitan tak lepas dari ketidak berdayaan pemerintah dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya, juga adanya kebijakan yang saling tumpang tindih, dan tidak menjadikan laut dan perairan kita sebagai pemersatu bangsa dan wilayah, serta kenyataan gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut masih terus berlangsung dari tahun ke tahun dan cenderung meningkat baik kualitas maupun kuantitasnya, namun persoalan ini belum menjadi agenda prioritas dalam implementasi kebijakan yang ada. padahal Indonesia memiliki Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 sebagai awal perjuangan Indonesia menyatukan wilayahnya yang berhasil diakui secara internasional dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Conventions on Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang diratifikasi pada tahun 1985. Hal pertama yang harus dilakukan adalah pembangunan dan pengembangan sosial ekonomi mengingat sampai saat ini pembangunan di pulau-pulau terluar masih sangat terbatas bahkan beberapa diantaranya hampir tidak tersentuh. Sampai saat ini, pembangunan fisik dan non-fisik di pulau-pulau terluar Indonesia ini pun masih sangat minim dan masih jauh dari harapan. Pembangunan dan pengembangan di pulau- pulau terluar ini, terutama pada aspek ekonomi dan sosial akan berdampak terhadap nasionalisme masyarakat. Karena sekalipun tidak terkait dengan adanya kemungkinan kehilangan pulau-pulau tersebut, namun rapuhnya nasionalisme masyarakat di wilayah perbatasan akan berdampak negatif bagi keutuhan bangsa. Untuk itu, Pemerintah Indonesia perlu menegaskan dan merealisasikan komitmen untuk mempercepat pengembangan pulau- pulau terluarnya secara komprehensif, melalui berbagai pembangunan fisik dan non fisik, perbaikan infrastruktur dan menjadikan pulau-pulau terluar sebagai beranda nusantara. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam memberikan jaminan kehidupan yang lebih baik kepada penduduk yang berada di pulau terluar juga wilayah-wilayah perbatasan, akan semakin menegaskan dan mengokohkan klaim atas kedaulatan negara Indonesia.