Academia.eduAcademia.edu
Hubungan Timbal Balik Antara Islam dan Politik M. Asrul Pattimahu rully.chair@iainambon.ac.id Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Ambon ABSTRAK Sebelum membahas dinamika hubungan antara Islam dan politik, suatu pertanyaan mendasar yang sering muncul adalah apakah ada sistem politik dalam Islam? Kalau ada, bagaimanakah sistem politik Islam itu? Pertanyaan ini telah menjadi diskursus hampir sepanjang sejarah umat Islam itu sendiri. Berbagai kemungkinan jawaban atas pertanyaan tersebut telah melahirkan perbedaan pendapat diberbagai belahan dunia Islam yang secarah historis melahirkan berbagai aliran politik seperti Sunni, Syiah, Khawarij, Mu’tazilah atau yang lainnya. Dalam perkembangan sejarah Islam, berbagai ragam perbedaan pendapat tersebut melahirkan pula beragam bentuk dan praktik ketatanegaraan pada satu dunia Islam dengan dunia Islam lain atau satu era dengan era liannya. Tulisan ini mencoba mengurai beberapa dari pendapat tentang relasi antara Islam dan Politik. A. Pengantar Pada abad ke-19 M, Barat melalui kolonialisme melakukan ekspansi militer dan politik terhadap dunia Islam, dimana selain menguasai wilayah-wilayah Islam, Barat juga memberikan pengaruh pemikiran dan ideologi politik mereka yang menimbulkan ekspresi yang beragam dikalangan umat Islam sendiri. Ada yang secara bulat ingin menerima, ada yang menolak secara tegas, dan ada yang memberikan apresiasi kritis dengan jalan mengakomodasi hal-hal positif dan menolak yang negatif.1 Sikap umat Islam terhadap produk pemikiran Barat diatas masing-masing memiliki argumentasi tersendiri yang secara teoritis maupun praktis dapat dilacak dalam dinamika sejarah umat Islam itu sendiri. Pendapat pertama dapat dilacak pada pemikiran Ali Abd al-Raziq (1888-1966) dan Thaha Husein (1889-1973) dengan dasar bahwa Al-Qur’an tidak memberikan penjelasan secara rigit dan baku tentang suatu sistem politik dan karena nabi Muhammad SAW bukanlah diutus untuk membangun kekuasaan politik tetapi sebagai pembawa ajaran moral melalui wahyu sehingga tidak tidak ada pretensi untuk mendirikan negara Islam.2 Pandangan ini memahami bahwa Islam hanya berkaitan dengan kehidupan religisiusitas dan spiritualitas, serta tidak ada relasinya dengan 1 2 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Konstekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Kencana, 2016), h. xxi Ibdi, h. xxii 1 masala masalah pengaturan bentuk dan sistem masyarakat/negara dan pemerintahan . Meminjam istilah kaum Liberal Muslim, inilah yang disebut sebagai silent syariah (Kurzman, 1998).3 Syariah Islam sama sekali tidak bicara atau bisu dalam masalahmasalah tertentu, termasuk mengenai persoalan politik. Ini bukan karena al-Qur’an itu tidak sempurna dan keliru, namun Allah hendak memberikan pilihan kepada manusia. Politik sepenuhnya merupakan wilayah ijtihad kemanusiaan dan eksperimen coba dan salah (trial and error) atau coba dan benar (trial and right) dalam ruang dan waktu. Fakta sejarah membuktikan bahwa eksperimen politik dan negara bersifat plural, dari sistem dinasti, kerajaan atau monarkhi, republik, atau sistem campuran semua dapat dijumpai. Pendapat kedua dapat dilacak pada pemikiran diantaranya Abu al-A’la alMaududi (1903-1979), Hasan al-Banna (1906-1949), Sayyid Quthub (1906-1966) dan Imam Khomeini (1902-1989) dari kalangan Syiah. Argumentasi pendapat ini menganggap bahwa Islam adalah agama yang didalamnya terdapat aturan yang secara lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk urusan politik yang mesti diikuti oleh penganutnya. Menurut pendapat ini, sistem pemerintahan nabi di Madinah dan kelanjutannya pada masa khulafa rasyidiah adalah sistem pemerintahan yang harus diteladani umat Islam, dan umat Islam tidak perlu mencontoh sistem politik yang dibawa oleh Barat.4 Umat Muslim memahami bahwa Islam mencakup agama dan siyasah (politik). Mahmud Syaltout misalnya, menegaskan al-Islam din wa dawlah (Islam itu agama dan negara).5 Bahkan Nazih Ayubi secara eksplisit menyatakan Islam itu din, dunya wa dawlah (agama, dunia, dan negara). Karena itu Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan. Islam harus diterima dalam keseluruhannya, dan harus diterapkan dalam keluarga, ekonomi dan politik. Bagi kalangan Muslim ini, realisasi sebuah masyarakat Islam dibayangkan dalam penciptaan sebuah negara Islam, yakni sebuah “negara ideologis” yang didasarkan kepada ajaranajaran Islam yang lengkap.6 Dengan tanpa syarat Islam dianggap harus diterima sebagai 3 Charles Kurzman,(ed.), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, terjemahan Bahrul Ulum,(Jakarta: Paramadina, 2003), h. 152 4 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. xxi-xxii 5 Zakiyuddin Baidhawy, "Memecahkan Kebuntuan Teoretik Hubungan Islam dan Politik." Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 12.2 (2012) h. 261. 6 Lihat Nazih Ayubi dalam Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesiah, (Edisi Digital, Democracy Project, Jakarta 2011), h. 8 2 solusi atas berbagai masalah ekonomi, politik, sosial dan budaya. Negara-negara Islam seperti Mesir, Maroko, Saudi Arabia sekadar menyebut contoh, telah menjadikan Islam sebagai asas tunggal, syariah sebagai landasan ideal dan konstitusional. Bentuk negara harus Negara Islam; kedaulatan ada di tangan Tuhan (teokrasi); ummah dipahami tidak mengenal batas-batas teritorial dan politik. Dua arus pemikiran diatas diketengahi oleh pemikiran ketiga yang dengan argumentasi bahwa meski Islam tidak menjelaskan secara baku tentang suatu model dan sistem politik Islam, bukan berarti bahwa Islam sama sekali tidak memberikan petunjuk tentang kehidupan bernegara. Dalam hal ini, Islam menyediakan perangkat nilai-nilai yang masih bersifat abstrak yang harus terus dikembangkan sesuai dengan realitas kehidupan masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Hal ini memungkinkan umat Islam untuk dapat menerima pemikiran-pemikiran diluar dunia Islam, termasuk sistem politik Barat selama tidak bertentangaan secara prinsip dengan sistem nilai yang ada dalam Islam. Tokoh yang mewakili pemikiran ini diantaranya Muhammad Abudh (1845-1905), Muhammad Iqbal (1877-1938), M. Husein Haykal (1888-1956), atau Fazlur Rahman (1919-1988).7 Pandangan ini melihat bahwa meski Islam, dalam dua sumber utamanya alQur’an dan Sunnah tidak secara eksplisit bicara mengenai bentuk negara dan sistem pemerintahan atau tidak menyediakan teori baku politik dan sistem pemerintahan, namun terdapat panduan etis mengenai aktivitas sosial dan politik bagi para penganutnya. Keduanya hanya memberikan kerangka umum bagaimana negara mesti dikelola. Al-Faruqi8 (2001) misalnya, menyatakan bahwa prinsip-prinsip utama bagi penyelenggaraan negara adalah antara lain: secara internal negara dengan bentuk dan sistem apa pun merupakan pelaksanaan syariah guna mewujudkan prinsip keadilan secara individual dan institusional; secara eksternal negara bertanggung jawab atas kesejahteraan dan ketentraman umat, dan negara menegakkan tatanan dunia yang adil dan damai. Fazlur Rahman menggarisbawahi prinsip-prinsip penyelenggaraan negara mencakup “keadilan, kesamaan, persaudaraan, dan kebebasan”.9 Ketiga arus pemikiran diatas masih mewarnai konsepsi umat Islam dalam membangun gagasan politik sampai hari ini, terutama dalam menjawab apakah Islam itu 7 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, h. xxii-xxiii Ismail Raji Al-Faruqi dan Louis Lamya al-Faruqi. Atlas Budaya: Menjelajahi Khazanah Peradaban Gemilang, terjemahan Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan 2003) 9 Zakiyuddin Baidhawy, "Memecahkan Kebuntuan, h. 262 8 3 kompetibel dengan politik, sekaligus memberikan gambaran tentang sistem politik dalam Islam. B. Perangkat Politik Islam Seperti dijelaskan diatas pada bahwa salah satu argumentasi adanya politik Islam adalah bahwa terdapat nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum dalam Islam yang mengatur tentang kemungkinan pengembangan pemikiran dan atau praktik politik Islam itu sendiri. Nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum itu oleh Kuntowijoyo 10 disebut sebagai Perangkat Politik Umat Islam yang terdiri dari Perangkat Doktrin, Struktur, dan Kultur. Perangkat doktrinal itu antara lain, al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Perangkat sturkut berkaitan dengan bagaimana agama (Islam) terlembagakan dalam realitas masyarakat yang konkret. Dalam hal ini dapat dilihat bagaimana umat Islam membentuk struktur-struktur sosialnya seperti, ormas-ormas, majelsi taklim, organisasi tarekat, dan lain sebagainya.Jika kita lihat dalam fenomena politik Islam di Indonesia, menurut Kuntowijoyo, dapat empat empat pemain utama yakni, Umat, Organisasi Partai Politik (Islam), Pemerintah, dan kelas sosial. Dari aspek historis-antropologis, kultur politik Islam terbangun dan dipengaruhi oleh nalar politik Arab yang fiqh-centris dan filosofis-centris.11 Nalar fiqh-centris terlihat pada rumusan tentang ketaatan total kepada penguasa,sedangkan filosofiscentris tercermin dalam keyakinan jabariyahnya. Dalam sistem khilafah, seorang penguasa (khalifah) memiliki kewenangan politik sekaligus agama,karena posisinya sebagai wakil Tuhan dan pengganti Nabi. Otoritas ini dibatasi olehsyari’ah sebagai konstitusi negara, yang penafsirannya juga berada dalam otoritas khalifah. Dengan struktur politik seperti ini, khalifah ibarat seorang raja yangsabdanya menjadi hukum bagi warganya, sepanjang dia mampu memberikanlegitimasi dari syari’ah. Teks-teks syari’ahditundukkan ke dalam struktur politikyang dibangun sekaligus untuk mengakomodir kultur yang berlaku dalam masyarakat.12 Maka, disinilah terjadi hubungan dialektika antara teks-struktur-dankultur dalam pembentukan politik Islam. 10 Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Cet, II, Mizan 1997), h. 212 Muhammad Syahrur, Tirani Islam, Genealogi Masyarakat dan Negara, terj. Saifuddin Zuhri Qudsy dan Syamsul Fata (Yogyakarta: LKiS, 2003),h. 220 12 Ali Sodiqin, Kultur Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, dikutip dari https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/40564598/Kultur_Politik_Islam, tanggal 18/03/2020 11 4 Disisi lain, keinginan pembentukan negara dalam politik kontemporer, selain mengatur hal-hal yang abstrak (nilai, moral, agama) juga mengatur hal-hal yang konkret (sandang, pangan, papan). Karena Negaramerupakan pengejawantahan dari realitas sosial oleh suatu bangsa,yang merupakan akumulasi kesadaran akan pengetahuan nilai etis, perilaku sosialdan politik yang berlaku. Realitas inilah yang kemudian dijadikan sebagai ranahkehidupan secara institusional. Dalam pemikiran politik Islam, pengejawantahantersebut bersumber dari praktik sahabat yang dianggap sebagai bagian dari ajaranIslam.13 C. Pemikiran dan Praktik Politik Islam Klasik Membaca pemikiran dan praktik politik Islam dari masa klasik hingga masa modern memperlihatkan adanya hubungan kausalitas antara praktik dan pemikiran. Meskipun sulit untuk menempatkan mana diantara keduanya yang menjadi variabel dominan, tetapi pergulatannya merupakan respondan akomodasi terhadap situasi dan kondisi yang ada. Dinamika yang terjadi dalam praktik dan pemikiran berjalan seiring dengan kontinuitas dan perubahan yang ada. Maka, relasi antara aksi dan reaksi begitu jelas mewarnai pembentukan dan pergulatan politik Islam sepanjang sejarahnya. Lahirnya sistem pemerintahan Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyah hingga munculnya konsep nation state merupakan reaksi terhadap realitas (aksi) yang terjadi. Dalam norma sejarah, maka bentuk dan struktur negara yang dibangun umat Islam terikat oleh dimensi ruang (spatial) dan waktu (temporal). Hal yang menarik adalah munculnya pemikiran yang mengikutinya yang berusaha melakukan legitimasi praktik yang ada dengan teks keagamaan yang bernilai normatif. Meskipun al-Qur’an sangat menekankan agama dan etika, dan hanya sedikit membahas masalah pemeritahan, tetapi al-Qur’an mengungkapkan semangat yang menlandasi berbagai capaian. Beberapa gagasan diantaranya adalah konsep Islam tentang komunitas (ummah). Gagasan tentang umat ini dilepaskan dari gagasan kebangsaan, karena orang Islam non-Arab mendapat sambtan yang cukup baik dan secara moral dirangkul dan wajib bergabung dalam ikatan umat seperti halnya orang Arab. Kesatuan umat selain merupakan doktrin atas dasar keyakinan, juga merupakan norma sosial yang mendasar. Dalam konsep umat, semua manusia memiliki hak dan 13 Muhammad Syahrur, Tirani Islam h.2 5 kewajiban yang sama dan satu-satunya yang menjadi landasan keunggulan manusia adalah kesalehan dan ilmu pengetahuan.14 Fase kenabian merupakan era pertama dalam sejarah Islam yang dimulai ketika Rasulullah memulai dakwahnya. Fase kenabian sendiri merupakan masa ideal dimana ideal-ideal Islam terwujud dengan sangat sempurna. Fase ini menjadi dua masa yang keduanya dipisahkan oleh persitiwa hijrah. Era pertama menjadi embrio bagi tumbuhnya masyarakat Islam dengan lahirnya kaidah-kaidah pokok Islam secara general, sedangkan era kedua, bangunan masyarakat Islam itu berhasil dibentuk dan kaidah-kaidah yang general tersebut diberikan penjelasan secara mendetail oleh Rasul sendiri. Sejarah dalam pandangan politik lebih berkaitan dengan era kedua dimana masyarakat Islam selain tumbuh sebagai suatu komunitas agama baru, juga tumbuh dalam ikatan sosial politik yang dipimpin langsung oleh Rasulullah. Demikianlah era Rasulullah itu mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik. Namun, pemikiran teoritis saat itu belum muncul karena belum ada kebutuhan tentang masalah tersebut.15 Sistem yang dibangun Rasulullah dan kamu Muslim di Madiah jika diukur dari segi praktis dengan variabel-variabel politik modern dapat dikatan sebagai sistem politik pare excellence.16 Setelah fase Rasulullah itu, dilanjutkan dengan fase kepemimpinan sahabat (khulafaurrasyidin) dan merupakan kelanjutan dari kemajuan sistem pemeritahan Islam zaman nabi. Sistem politik Fase khulafaurrasyidin ini oleh Robert N. Bellah17 dianggap terlalu modern melampaui zamannya sehingga tidak mampu bertahan lama karena infrastruktur sosial masyarakat Arab pada saat itu tidak cukup mendukung untuk membuatnya bertahan lama (hanya bertahan sampai empat khalifah pertama saja sekitar tiga puluh tahun) sehingga digantikan oleh sistem yang tidak lagi modern karena bersifat kekabilahan dari tatanan politik rezim bani Umayyah di Damaskus. Salah ciri utama dari sistem politik klasik zaman nabi dan khulafaurrasyidin yang dikatakan modern itu adalah adanya partisipasi dalam proses pembuatan 14 Antony Black,. Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini. (Penerbit Serambi, 2006), h. 44-45 15 Muhamamd Dhiauddin Rais,. Teori Politik Islam. Penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani, (Gema Insani, Jakarta 2001), h. 4 16 Ibid 17 Lihat Robert N. Bellah dalam Nurcholish Madjid,. Islam: Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 560 6 keputusan yang mempengaruhi kehidupan umat Muslim melalui diskusi terbuka dan musyawarah (konsep syura, musyawarah).18 Rasulullah sendiri telah diperintahkan untuk melaksanakan syura19 dan keempat khalifah pengganti nabi juga melaksanakan hal tersebut. Pada era khulafaurrasyidin, selain konsep syura, juga muncul dua prinsip yang lebih maju dalam sistem politik Islam klasik yakni konsep ikhtiyar dan bay’ah. Ikhtiyar artinya seorang khalifah penerus nabi haruslah dipilih di antara para sahabatsahabat nabi setelah itu dikukuhkan dengan bay’ah (sumpah setia).20 Setelah kekuasaan politik Islam jatuh ketangan Bani Umayyah dibawah khalifah Muawiyah di Damaskus, sistem politik yang dibangun sejak masa nabi dan khulafaurrasyidin diganti dengan sistem sosial Arab pra-Islam yang ditandai dengan pengaangkatan Yazid sebagai putra mahkota. Era ini menjadi awal dari lahirnya sistem politik monarki dalam Islam. Keputusan Muawiyah ini mendapat reaksi yang keras dari penduduk Makkah dan Madinah, diantaranya adalah Abdur Rahman bin Abu Bakar, Abdullah Ibn Umar, Abdullah bin Zubair adalah diantara tokoh-tokoh yang mengecam Muawiyah karena dianggap telah meninggalkan sunnah nabi para khalifah dengan mengadopsi sistem pemerintahan para raja-raja Persia dan Romawi.21 Sejak masa Umayyah, dunia Muslim tidak lagi mengetahui sistem politik lain selain sistem politik dalam geneologi dinasti-dinasti atau monarki absolut yang pewarisan kekuasaannya dilakukan secara turun temurun secara patriarki sampai pengenalan kembali orang-orang Barat mengenai konsep nation-state dan pemilihan secara terbuka di masa modern. Lebih dari itu, sejak zaman Umayyah orang-orang Islam hanya mengetahui negara atau dinasti yang menggunakan nama klan yang berkuasa seperti, Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah, atau menggunakan nama suku seperti Mugal di India dan lainnya. Sistem itu sesungguhnya adalah sistem yang sejak awal tidak dipraktekkan oleh nabi dan khulafaurrasyidin. Selama periode pasca khulafaurrasyidin sampai runtuhnya kekhalifaan Usmai di Tukri, kepemimpinan dalam politik Islam diasosiasikan dens. gan asumsi bahwa Allah sebagai pemegang kedaulatan mutlak dan penguasa semesta serta pemegang otoritas Nurcholish Madjid, “Konsep Islam Tentang Manusia dan Implikasinya Terhadap Apresiasi Muslim Mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik”, dalam Islam dan Humanisme; Aktualisasi Humanisme Islam di Tengah Krisis Humanisme Universal, (Cet I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2007), 33-34 19 Lihat Q.S, Al-Imran: 59 dan Q.S. As-Syura: 38 20 Azyumardi Azra,. Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi, (Cet I, Kencana, Jakarta 2016), h. 25 21 Nurcholish Madjid, “Konsep Islam Tentang Manusia, h. 35 18 7 tertinggi didelegasikan kepada manusia sebagai instrumen (khalifah) Allah di muka bumi. Kekhalifahan bisa dianggap sebagai sistem organik regio-politik yang didominasi hubungan antara yang sakral dan yang politis. Khalifah adalah figur di dunia yang merupakan para penjaga syariah. Gelar dan jabatan yang beraroma keagamaan disandang seorang khalifah yakni amir al-mu’minin (pemimpin kaum beriman) atau bahkan ziil Allah fi al-ardh (bayangan Allah di muka bumi) membuat tak tertandingi di mata kaum beriman.22 Dalam dunia Islam, hingga abad ke XIX hampir tak dapat dijumpai seorang pun pemikir muslim yang melakukan pengkajian secara kritis tentang bentuk negara kekhalifaan/kesultanan yang sebelumnya merupakan bentuk negara yang dianggap mapan dalam kehidupan politik umat Islam. Hal ini terjadi karena beberapa alasan 23; Pertama, sejak awal belum adanya taradisi pemikiran dalam bentuk tulisan dikalangan masyarakat Muslim Arab setidaknya sampai dua atau tiga abad kemudian ketika mereka telah berhasil menebar pengaruh politik di daerah bulan sabit subur dan Mesir. Kedua, ketika tradisi keilmuan mulai tumbuh sebelum abad ke XIX, para ilmuan Muslim kebanyakan merupakan bagian dari kelompok elit penguasa yang tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan kekuasaan, bahkan menjadi menjadi pilar untuk menopang kekuasaan itu sendiri. Upaya untuk melakukan kritik terhadap kemapanan kekuasaan, pada saat itu adalah suatu tindakan yang membahayakan secara politis dan tidak menguntungkan secara ekonomis maupun sosial. Ketiga, dalam suasana pertikaian pahaman kegamaan yang juga menjalar pada masalah legitimasi kekuasaan, bentuk negara pada saat kekhalifaan pada saat itu umumnya dipersepsikan oleh kaum Muslim sebagai bentuk ketatanegaraan yang memiliki dimensi kesucian, dimana segala bentuk kritik terhadapnya dianggap sebagai pelanggaran atas kesucian itu sendiri. Memasuki abad XIX, kelangkaan pengkajian kritis terhadap bentuk negara kekhalifaan mengalami perubahan seiring dengan penguasaan dan kolonisasi wilayah kaum Muslimin oleh bangsa-bangsa Barat dan juga karena lemahnya kekuatan politikmiliter kesulatanan Turki Usmani yang akhirnya digugat oleh kalangan intelektual Muslim sendiri yang telah bersentuhan dengan gagasan-gagasan nasionalisme. 22 23 Azyumardi Azra,. Transformasi Politik Islam, h. 27-28 Abdul Aziz, Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam, (Pustaka Alvabet, 2011), h. 90-93 8 D. Pemikiran Politik Islam Modern Pembahasan pada bagian pemikiran Islam kontemporer ini hanya menguraikan tiga pemikiran dari tokoh pembaharu sekaligus pemikir politik Islam modern yang hidup dan menyaksikan peristiwa-peristiwa penetrasi dan kolonisasi dunia Barat terhadap Islam terutama diwilayah timur tengah, yakni, Muhammad Abduh, Jamaludin al-Afgani, dan Muhammad Rasyid Ridha. Pemikiran ketiga tokoh ini diuraikan secara ringkas dan padat hanya sebatas pengatar dalam diskusi topik Hubungan Timbal Balik Antara Islam dan Politik. Sebagaimana kita ketahui dalam lintasan sejarah, bahwa abad ke-19 sampai abad ke-20 merupakan era dimana dunia Islam menampilkan sosoknya yang buram. Hampri seluruh wilayah Islam berada dalam kekuasaan penjajahan Barat. Umat Islam kurang melakukan langkah antisipatif terhadap berbagai masalaha yang mereka hadapai karena lebih banyak mengandalkan pemikiran ulama masa lampau ketimbang melakukan terbosan-terobosan baru sehingga tertinggal jauh menghadapai hegemoni Barat. Sejak jatuhnya Baghdad tahun 1258 M, berkembanglah pemahaman bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Dalam situasi demikian, kontak umat Islam dengan dunia Barat ternyata membawa hikmah tersendiri. Dalam dunia politik, umat Islam mulai bersentuhan dengan gagasan-gagasan pemikiran Barat dan melahirkan tokoh-tokoh besar yang pemikirannya menumbuhkan harapan baru bagi masa depan umat Islam secara global. Diantaranya adalah Jamaluddin al-Afghani yang memiliki peranan yang cukup penting dalam gerakan politik Islam modern. Afghani menilai umat Islam sedang mengalamai sakit yang kronis sehingga tidak mampu menegakkan kepala mereka dalam menghadapi bnagsa-bangsa lain. Penyakit umat Islam itu disebutnya sebagai absolutisme dan despotisme penguasa Muslim, sikap keras kepala dan keterbelakangan umat Islam dalam sains dan peradaban, menyebarkan pemikiran-pemikiran yang korup dan merusak cara berfikir umat Islam, seperti takhayyul, bid’ah dan khurafat. Dia pung memprofokasi umat untuk bangkit bersatu menciptakan suatu kesatuan di dalam panji Pan-Islamisme.24 Untuk mengobati penyakit kronis tersebut, dia menggerakan rakyat untuk mengadakan revolusi dan perombakan terhadap pemerintahan yang absolut dan memperbaiki akidah umat Islam dengan mengembalikannya kepada kepercayaan yang benar. 24 Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam. (Kencana, 2015), h. 59 9 Tokoh lainnya yang berpengaruh adalah Muhammad Abduh yang juga adalah kawan sekalius Murid Afghani. Abduh menggaungkan untuk dibuka kembali pintu ijtihad untuk menborak kebekuan berfikir umat Islam dan melakukan interpretasi ulang terhadap pendapat-pendapat ulama masa lampau yang dianggapnya mungkin tidak lagi sejalan dengan masa sekarang. Selain itu, Abduh memandang perlu untuk melakukan perubahan pemerintahan dari otoriter dan tidak dibatasi oleh peraturan perundangundangan kepada pemerintahan yang konstitusional, karenanya dia menekankan pembentukan dewan perwakilan untuk mengontrol kekuasaan. Dia tidak sependapat dengan gurunya untuk melakukan revolusi, tetapu melakukan cara evolusioner untuk mewujudkan gagasannya. Abduh menginginkan perubahan dilakukan secara bertahap dengan terlebih dahulu melakukan edukasi kepada rakyat untuk dapat mengerti dan memanfaatkan hak-hak politik mereka secara bertanggungjawab. Karena itu, dia tidak menyelahkan umat Islam bila meniru Barat sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.25 Pandangan Abduh tentang hubungan agama dna politik dituangkannya dalam program Partai Nasional Mesir yang menyatakan bahwa Partai Nasional adalah partai politik dan bukan partai agama. Partai ini didasarkan atas kesadaran bahwa semua orang Mesir adalah saudara satu dengan lainnya, dan hak-hak mereka sama dalam politik dan hukum.26 Nama lain dalam deretan pemikir Islam kontemporer adalah Muhammad Rasyid Ridha. Gagasan Ridha juga banyak dipengaruhi oleh dua pendahulunya, Afghani dan Abduh. Sistem ketatangeraan yang dipandang Ridha sesuai dengan Islam adalah negara dalam bentuk kekhalifahan, suatu pandangan tradisional tentang sistem politik Islam. 27 sistem politik menuru Ridha adalah tauhid, risalah, dan khalifah. Prinsip tauhid menurutnya akan menolak konsep kedaulatan hukum dari manusia. Satu-satunya yang berdaulat menurut Ridha adalah Allah, dan risalah merupakan perantara manusia dengan Tuhannya melalui Rasul dan al-Qur’an yang menjadi sumber hukum. Karena itu risalah harus menjadi dasar politik Islam. 28 dalam Islam kekuasaan berada ditangan umat dan diselenggarakan oleh ahl al-hall wa al-aqd yang diberi kewenangan 25 Munawir Syadzali,. Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (UII Press, 1990), h. 129-130 26 Ibid, h. 132-133 27 Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam, h. 80 28 Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1991), h. 192 10 mengangkat khalifah dan para imam dan juga berwewenang untuk memecatnya jika tidak lagi memenuhi persyarata, sedangkan kepala negara adalah imam yakni khalifah yang melaksanakan undang-undang. Keberadaan khalifah menurutnya bersifat wajib syar’i dan mempunyai sifat internasional. Artinya dalam dunia Islam hanya boleh ada satu khilafah dan seorang khalifah, tidak boleh lebih karena akan berakibat pada kehancuran umat.29 Pandangan politik Ridha yang tradisional itu selain karena pembawaan pribadi, juga barangklai karena perkenalannya yang terbatas dengan alam pikiran barat yang antara lain disebabkan karena tidak dikuasainya bahasa-bahasa Eropa, sedangkan karya tulis pemikir-pemikir Barat yang diterjemahkan dalam bahasa Arab relatif asih sangat sedikit. E. Penutup Demikian dinamika pemikiran dan praktik politik Islam yang ada dalam dunia Islam yang menandai hubungan Islam dengan politik. Secara umum, dinamika tersebut menunjukkan bahwa keinginan umat Islam sejak awal adalah tercapainya solidaritas dalam suatu kesatuan umat meskipun dalam praktiknya terus mengalami perubahan bentuk karena faktor-faktor ruang dan waktu dimana umat Islam hidup tumbuh dan berkembang dalam era yang berbeda. Keyataan ini sesuai dengan adagium al-islamu ya’lu wala yu’ala alaihi dimana orosinalitas gagasan Islam itu tetap otentik, serta alIslam shalih li kulli zaman wa makan dimana Islam akan terus hidup dan berkesesuain dengan zaman dan waktu. 29 Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam, h. 86 11 DAFTAR PUSTAKA Ali Sodiqin, Kultur Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, dikutip dari https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/40564598/Kultur_Politik_Isl am, tanggal 18/03/2020 Amin, Ahmad. "Islam dari Masa ke Masa Cet III." Bandung: Remaja Rosda Karya (1993). Aziz, Abdul. Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam. Pustaka Alvabet, 2011. Azra, Azyumardi. Transformasi politik Islam: radikalisme, khilafatisme, dan demokrasi. Kencana, 2016. Baidhawy, Zakiyuddin. "Memecahkan kebuntuan teoretik hubungan Islam dan politik." Ijtihad: Jurnal Wacana Hukum Islam dan Kemanusiaan 12.2 (2012): 259-272. Black, Antony. Pemikiran politik Islam: dari masa Nabi hingga masa kini. Penerbit Serambi, 2006. Effendy, Bahtiar. "Islam dan Negara; Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia." (2009). Faruqi, Ismail R. al, and Louis Lamya al-Faruqi. "Atlas Budaya: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang, terj." Ilyas Hasan, Bandung: Mizan (2003). Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah Konstekstualisasi Doktrin Politik Islam. Kencana, 2016. _______________ Pemikiran Politik Islam. Kencana, 2015. Kuntowijoyo. Identitas politik umat Islam. Mizan, 1997. Kurzman, Charles. "Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isuisu Global." Jakarta: Paramadina (2003). Madjid, Nurcholish. "Konsep Islam Tentang Manusia, dan Implikasinya Terhadap Apresiasi Muslim Mengenai Hak-hak Sipil dan Politik dalam Islam dan Humanisme." Aktualisasi Humanisme Islam Ditengah Krisis Universal, Abu Hatsin (ed. & pengantar), Penerbit IAIN Walisongo Semarang, dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta (2007). Madjid, Nurcholish. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992. Rais, Muhamamd Dhiauddin. Teori Politik Islam. Gema Insani, 2001. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. UI Press, 1990. Syahrur, Muhammad, Saifuddin Zuhri Qudsy, and Nur Kholik Ridwan. Tirani Islam: genealogi masyarakat dan negara. Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS), 2003. 12