ITS News

Rabu, 22 Mei 2024
30 Desember 2018, 08:12

Kemandirian Teknologi Deteksi Bencana Alam

Oleh : itsmis | | Source : -

Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda yang sedang erupsi. Aktivitas gempa vulkanik dari gunung ini telah memicu terjadinya tsunami di Provinsi Banten dan Lampung.

Opini, ITS News – Kepemilikan alat pendeteksi bencana khususnya tsunami oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dinilai tidak maksimal (Jawa Pos, 24/12). Keberadaan alat ini sebagian tidak berfungsi karena rusak maupun hilang. Pasca bencana tsunami Selat Sunda (22/12), Presiden Joko Widodo bahkan memerintahkan BMKG untuk melakukan pengadaan alat deteksi tsunami.

Informasi berkaitan dengan bencana alam gempa atau aktivitas tektonik yang memicu tsunami sangat diperlukan. Terdapat selisih waktu yang krusial untuk evakuasi setelah kejadian bencana alam pemicu tsunami tersebut. Namun, ketiadaan atau minimnya alat deteksi ini dapat mengakibatkan korban jiwa yang seharusnya dapat diminimalisir atau ditiadakan.

Pada tahun 2018 ini sudah terjadi tiga buah peristiwa besar gempa bumi dan/atau tsunami. Pada Juli-Agustus 2018, rangkaian gempa bumi menerpa Pulau Lombok dan sekitarnya. Pada 28 September 2018, kejadian gempa dan tsunami di Kota Palu dengan korban jiwa sekitar 2000 orang. Dan terakhir, 22 Desember 2018, tsunami di Selat Sunda akibat aktivitas Gunung Anak Krakatau menimbulkan korban jiwa sekitar 300 orang.

Bencana alam berupa gunung meletus, gempa bumi dan tsunami kerap terjadi di Indonesia. Hal ini diakibatkan bahwa Indonesia yang merupakan negara kepulauan berada pada kawasan, yang dikenal sebagai, “ring of fire”. Sehingga, aktivitas “ring of fire” yang dapat menimbulkan bencana alam di masa kini dan mendatang adalah keniscayaan.

Kesadaran masyarakat akan negara kepulauan dan rawan bencana alam perlu terus ditingkatkan melalui pendidikan maupun upaya-upaya lainnya. Materi pembelajaran tentang bencana alam, mitigasi bencana dan keterampilan hidup dalam suasana bencana alam perlu diajarkan di sekolah maupun perguruan tinggi. Begitupula, pelatihan-pelatihan sejenis dapat diberikan di lingkup masyarakat yang lebih luas.

Pemerintah perlu pula menjamin ketersediaan teknologi sistem deteksi peringatan bencana alam. Lebih dari itu, tidak hanya memiliki, pemerintah perlu menyiapkan sumber daya manusia untuk menguasai teknologi ini. Sebagai perbandingan, penguasaan teknologi infrastruktur sipil yang telah terjadi beberapa dekade lalu, dapat kita rasakan bersama manfaatnya melalui keberhasilan pembangunan jalan tol dan jembatan akhir-akhir ini.

BMKG memiliki sistem yang bernama Indonesia Tsunami Early Warning System. Sistem ini memberikan informasi potensi terjadinya tsunami akibat gempa bumi.  Sistem ini bekerja didukung oleh tiga buah sistem sensor, yaitu stasiun seismik yang dimiliki oleh BMKG, jaringan GPS dan Tide Gauge milik Bakorsutanal, dan jaringan Buoys milik BPPT.

BMKG memiliki 170 buah stasiun seismik yang tersebar di wilayah Indonesia dan didukung informasi dari jejaring stasiun seismik internasional. Adapun Bakorsutanal memiliki 9 buah stasiun (data 2005) dan terdapat perencanaan penambahan jumlahnya untuk dapat meliputi seluruh wilayah Indonesia. Sedangkan, BPPT memiliki jaringan buoys di 12 lokasi di Indonesia.

Jaringan sensor ini rawan untuk rusak ataupun dicuri dan secara umum lokasinya jauh dari pengawasan. Mengingat betapa luasnya wilayah Indonesia, tentunya kuantitas sistem sensor ini perlu ditingkatkan. Tidak terbatas pada sensor-sensor tersebut diatas saja, BMKG perlu memperhatikan perkembangan teknologi deteksi kebencanaan terkini.

Salah satu teknologi yang berkembang cepat dan diterapkan adalah penggunaan fiber optik untuk deteksi gempa bumi maupun aktivitas seismik. Setahun yang lalu, tim yang dipimpin J. Ajo-Fraklin dari Laboratorium Berkeley Amerika Serikat malaporkan kegiatan tim-nya yang berhasil mendeteksi aktivitas gempa menggunakan fiber optik.

Hasil pembacaannya sesuai dengan pembacaan seismometer konvensional. Namun dengan kelebihan, sensor ini mampu memberikan pembacaan sensor terdistribusi sepanjang fiber optik hingga puluhan kilometer, dibandingkan seismometer yang terletak pada satu lokasi.

Disamping itu, fiber optik yang digunakan ini adalah fiber optik yang berada dalam jaringan telekomunikasi. Pada saat ini, tulang punggung utama jaringan telekomunikasi dan internet adalah fiber optik. Fiber optik telah tergelar dari perumahan, antar kota, antar provinsi, antar negara, bahkan antar benua melalui kabel laut.

Jaringan fiber optik ini dirancang penggunaaannya hingga 20-30 tahun mendatang. Artinya, dalam sebuah kabel terdapat puluhan hingga ratusan fiber optik, dimana masih banyak yang belum dipergunakan untuk telekomunikasi/internet. Fiber optik yang belum digunakan untuk telekomunikasi, atau dikenal sebagai dark fiber, dapat dimanfaatkan untuk sensor aktivitas seismik.

Indonesia telah menggunakan teknologi telekomunikasi fiber optik. Tidak hanya di daratan, kita telah memiliki fiber optik kabel laut yang dinamakan ring palapa timur dan ring palapa barat untuk kawasan Indonesia bagian timur dan barat. Jaringan fiber optik yang ada di daratan maupun di lautan ini, tentunya dapat dimanfaatkan untuk deteksi aktivitas seismik dan kebumian.

Teknologi sensor fiber optik ini menggunakan suatu teknik dimana sumber cahaya laser daya tinggi dengan jenis sinyal pulsa dilewatkan dalam fiber optik dan interaksinya dengan material fiber optik menimbulkan suatu hamburan. Hamburan pada tiap lokasi sepanjang fiber optik ini kemudian diukur dan dicatat secara presisi oleh sistem tersebut.

Setiap perubahan lingkungan akibat perubahan tekanan atau aktivitas seismik akan menimbulkan perubahan intensitas hamburan tersebut. Dengan menggunakan teknik ini baik yang tersedia secara komersial (produk luar negeri), ataupun mengembangkannya secara mandiri, maka deteksi aktivitas seismik menggunakan dark fiber dapat diterapkan.

Teknologi lainnya yang dapat dimanfaatkan adalah penggunakan laser interferometer. Perubahan yang sangat kecil (aktivitas seismik) dapat dideteksi melalui perubahan pola interferensi yang terjadi pada sistem ini. Sebagai deteksi seismik, alat ini telah diterapkan di beberapa tempat. Laser interferometer juga dikembangkan sebagai alat pertahanan untuk pendeteksi kapal selam yang dipasang pada garis pantai. Bahkan teknologi ini telah dipergunakan untuk mendeteksi adanya gelombang gravitasi beberapa waktu yang lalu.

Teknologi sensor fiber optik dan teknologi laser interferometer adalah dua teknologi yang terkini dan dapat dimanfaatkan untuk deteksi aktivitas seismik. Dalam kesempatan ini, BMKG dan pemerintah perlu membuat perencanaan dan pengembangan penggunaan teknologi terkini untuk Indonesia Tsunami Early Warning System.

Para peneliti baik dari perguruan tinggi maupun lembaga dapat diberdayakan dalam pengembangan sistem ini. Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu menyiapkan sumber daya manusia yang terampil untuk menggunakan dan mengembangkan teknologi deteksi bencana alam.

Agus Muhamad Hatta, PhD
Peneliti Sensor Fiber Optik
Kepala Departemen Teknik Fisika ITS

Berita Terkait