Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Pendakian di Gunung Everest Sangat Berbahaya?

Kompas.com - 29/05/2023, 15:00 WIB
Monika Novena,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Gunung Everest merupakan gunung tertinggi di dunia yang selalu menjadi salah satu gunung yang ingin disambangi oleh hampir semua pendaki. 

Namun di balik keindahannya itu, pendakian Gunung Everest bukan perkara yang mudah, bahkan disebut berbahaya bagi keselamatan pendaki, beberapa bahkan mengakibatkan kematian.

Jadi, mengapa Gunung Everest menjadi tempat yang berbahaya?

Risiko pendakian di Gunung Everest

Dilansir dari Live Science, Jumat (26/5/2023) peneliti menyebut medan berbahaya di puncak yang tinggi, serta ketinggian yang dapat sangat merugikan tubuh manusia adalah penyebab gunung ini berbahaya.

Dalam hal ketinggian, Gunung Everest adalah gunung tertinggi di dunia, dengan ketinggian mencapai 8.848 meter.

Akan tetapi, gunung tertinggi sebenarnya adalah Mauna Kea di Hawaii (10.205 m) yang diukur dari dasar bawah air hingga puncaknya. Sebagai informasi sebagian besar Mauna Kea berada di bawah air.

Baca juga: Mengapa Kota Yakutsk Menjadi Tempat Terdingin di Dunia?

Setelah seseorang mencapai ketinggian sekitar 2.440 meter, seseorang dapat mengalami penyakit ketinggian yang disebut penyakit gunung akut. Sementara Gunung Everest yang terletak di perbatasan Nepal dan Tibet ini memiliki ketinggian lebih dari 8.000 meter.

Gejala penyakit ketinggian yang dapat menyerang pendaki meliputi mual, sakit kepala, pusing, dan kelelahan. Kendati demikian, penyebab utama dari penyakit ketinggian adalah kekurangan oksigen.

Di Perkemahan Pangakalan Everest di Gletser Khumbu yang terletak di ketinggian 5.400 meter, kadar oksigen sekitar 50 persen dari kadar oksigen di permukaan laut.

Itu akan kembali turun menjadi sepertiga di puncak Everest.

"Penurunan tekanan barometrik dan oksigen yang Anda dapatkan memiliki efek yang sangat merusak pada otak dan tubuh," kata Eric Weiss, profesor kedokteran darurat di Stanford Wilderness Medicine Fellowship.

Menurut National Health Service (NHS), jika seseorang mengalami penyakit ketinggian ringan, mereka tidak boleh naik lebih tinggi lagi selama 24 hingga 48 jam. Jika gejala tidak membaik atau justru memburuk, NHS menyarankan untuk turun 500 meter dari ketinggian awal.

Oleh karenanya, sangat penting memperhatikan faktor risiko berbahaya terhadap kesehatan saat pendaki melakukan pendakian untuk menaklukkan Gunung Everest, gunung tertinggi di dunia ini.

Baca juga: Mengapa Pegunungan Andes Berukuran Sangat Besar?

Ilustrasi Gunung Everest, puncak tertinggi di Benua Asia.Dok. Pixabay/Simon Ilustrasi Gunung Everest, puncak tertinggi di Benua Asia.

Dampak penyakit di ketinggian Gunung Everest

Gunung Everest adalah gunung tertinggi di dunia. Apabila seseorang yang melakukan pendakian hingga ke puncak gunung, maka ia dapat mengalami penyakit ketinggian yang parah.

Kondisi itu merupakan keadaan darurat medis yang memerlukan penanganan medis segera dan orang yang mengalaminya harus segera turun ke ketinggian yang lebih rendah.

Pasalnya, penyakit ketinggian tersebut di antaranya dapat menyebabkan edema paru atau serebral, yang masing-masing merupakan penumpukan cairan di paru-paru dan otak.

Baca juga: Mengapa Berlian Begitu Keras?

Gejala-gejala ini sering terjadi bersamaan dan merupakan upaya tubuh untuk mendapatkan lebih banyak oksigen ke organ-organ vital tersebut sebagai respons terhadap kondisi minim oksigen di ketinggian.

Penumpukan cairan di otak ini dapat mengakibatkan hilangnya koordinasi dan masalah dengan proses berpikir, bahkan dapat menyebabkan koma hingga kematian.

Sedangkan penumpukan cairan di paru-paru dapat membuat seseorang sulit bernapas dan secara fisik memaksakan diri.

Pada akhirnya dapat menyebabkan kematian melalui proses yang mirip dengan tenggelam.

Weiss pun menyebut cara paling aman untuk mendaki Gunung Everest adalah mencapai pucak pada waktu tertentu, supaya bisa turun selagi masih memiliki sisa oksigen.

Baca juga: Mengapa Gerhana Bulan Selalu Terjadi Saat Bulan Purnama?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com