Abang dan Semesta

0

 Penulis: Selvy Nur Islami

Sumber: pinterest 

“Abang...” Aku masih sibuk mengejarnya, mulai dari memutari kamar hingga ruang tamu. Sementara yang ku kejar hanya tertawa sembari terus meledekku. 

“Bunda, abang nakal ih! Hp aku dia ambil.” Aduku pada bunda yang tengah memasak di dapur.

“Jean... kasihan Sisil kamu godain mulu dari tadi.” Tegur bunda.

“Ah, cepu banget lo nggak asyik.” Gumam Bang Jean lalu dia duduk di sofa, diikuti denganku yang duduk di sebelahnya.

“Biarin, sini balikin hp gua!” Ucapku menyodorkan tangan di hadapannya. 

“Nih, dasar bocil.” Aku melirik sengit ke arahnya, sedangkan dia hanya tertawa. Dia memang sangat suka menggodaku, rasanya dia tidak akan bisa hidup jika sedetik saja tidak menggangguku.

“Udah cape lari-lariannya. Sini makan!” Ujar bunda memanggilku dan Bang Jean untuk makan malam. Aku dan Bang Jean pun pergi ke dapur untuk menghampiri bunda, selepas makan malam aku pamit untuk pulang ke rumah.

“Dek, lo ngga mau nginep sini aja?” Tanya Bang Jean padaku.

“Nggak deh bang, lagian ada tugas yang mau gua kerjain juga."  Tolakku padanya.

“Yasudah gua antar.” Aku hanya tertawa mendengar perkataannya. apa-apaan katanya dia ingin mengantarku, jarak dari rumahnya ke rumahku saja hanya berselisih tiga rumah, itu terlampau dekat.

“Apaan sih bang rumah gua ngga sejauh itu buset —hahaha, dah ah gua mau balik, lo sini aja. Bunda, Sisil balik yaa?” Setelah berpamitan dengan bunda dan Bang Jean, aku pun pulang ke rumahku dengan berjalan kaki.

Ngomong-ngomong soal Bang Jean, dia memang bukan abang kandungku. Kami telah mengenal satu sama lain dalam waktu yang cukup lama, dia adalah satu-satunya teman bermain yang asik menurutku. Sedari dulu dia selalu memahamiku dan melindungiku dari anak-anak yang nakal, bahkan hingga SMA dia sudah seperti pengawal pribadiku. Meskipun aku anak tunggal, aku tidak pernah merasa kesepian berkat Bang Jean. Aku menganggap dia sebagai kakakku, dan dia juga menganggapku sebagai adiknya karena dia juga merupakan anak tunggal sama sepertiku. Orang tua kami pun sangat akrab layaknya saudara kandung.

“Happy graduation abang!” Ucapku gembira karena Bang Jean berhasil meraih gelar sarjananya. Aku pun memberinya sebuket bunga lily kuning kesukaannya.

“Makasih adek.” Gumamnya mengelus puncak kepalaku. Aku pun memeluknya dan dia balas memelukku. “Lo yang semangat kuliahnya, terus abis itu wisuda.”

“Oke, nanti pas gua wisuda, lo harus dateng!” Ucapku sembari menatapnya, dia hanya mengangguk lalu tersenyum ke arahku.

“Janji?” Tanyaku padanya. “Janji” Jawabnya sembari menautkan jari kelingkingnya denganku, aku tersenyum, aku sangat menyayanginya. Terima kasih semesta, kau telah mempertemukanku dengan orang sebaik Bang Jean, terima kasih telah memberikanku kesempatan untuk bisa memiliki seorang kakak, dan aku berharap semoga aku bisa selalu bersama dengan Bang Jean untuk waktu yang lama.

Kini aku tengah berada di Bandara Soekarno Hatta, aku harus kembali ke Kota Surabaya karena libur semester sebentar lagi akan usai dan aku harus kembali berkuliah.

“Mamah, papah, bunda, Sisil berangkat yaa.” Pamitku pada kedua orang tuaku dan bunda dari Bang Jean, aku pun memeluk mereka satu persatu.

“Iya sayang, hati-hati ya.” Ujar mamah dan papah, mereka mengelus puncak kepalaku.

“Bunda, abang mana?” Tanyaku pada bunda karena sedari tadi dia tidak ada.

“Jean tadi sore main sama—” belum selesai bunda berbicara namun atensi kami teralihkan oleh seseorang yang berlarian ke arahku. “Adik...” Itu Bang Jean, dia berlari diikuti oleh dua orang lain di belakangnya.

Aku tertawa melihatnya, kini dia sudah berada di hadapanku, dia tengah mengatur napasnya karena habis berlari, aku menduga dia berlari dari pintu masuk bandara —haha.

“Eh, ada Bang Rey sama Bang Leo juga.” Sapaku setelah melihat mereka berdua. Mereka adalah teman-teman Bang Jean.

"Iya nih Sil. bisa-bisanya si Jean baru inget lo berangkat malem ini, karena tadi kita lagi nongkrong dia langsung buru-buru ke sini sampe kita berdua ikut lari-larian.” Dengus Bang Rey melirik Bang Jean yang memasang tampang watadosnya, aku hanya terkekeh pelan melihat tingkah abangku yang satu ini.

“Dah Bang Rey, Bang Leo, gua pamit. Nitip Bang Jean ya?” Ucapku pada mereka berdua sedangkan Bang Jean hanya mendengus. 

“Gua bukan barang.” Sahutnya yang mengundang tawaku, Bang Rey, dan Bang Leo.

“Abang, gua berangkat ya?” Ujarku menatap Bang Jean.

“Hm iya dek, hati-hati ya. Kabarin gua kalo lo udah nyampe apart.” Aku hanya mengangguk mengiyakan, kemudian dia menarikku ke dalam pelukannya dan mengelus puncak kepalaku, aku tersenyum di dalam dekapannya, hangat.

Sudah satu minggu lebih aku berada di Surabaya dan aku menjalani kuliahku seperti biasanya. Malam ini malam minggu, tugas kuliah sudah kukerjakan semuanya. Sedari tadi aku hanya berbaring di kasurku tanpa melakukan apa-apa. Aku pun menelepon seseorang, padahal belum lama aku berpisah dengannya tetapi aku sudah merindukannya.

“Halo, abang?” Sapaku pada seseorang di seberang sana.

“Iya dek? Kenapa? Kangen gua lo ya? Hahaha” Huh, aku gengsi mengakuinya, kalau aku iyakan bisa-bisa dia menjadi besar kepala, begini saja dia sudah sangat menyebalkan, aku hanya mendengus tak menghiraukan pertanyaannya.

“Abang, kapan lo main ke Surabaya? Katanya lo mau main ke sini?” Aku menagih janjinya beberapa bulan yang lalu, sebab semenjak aku berkuliah di Surabaya, dia hanya berkata kalau dia akan menghampiriku, namun dia belum menepati janjinya itu.

“Iyaa, ntar gua ke situ.”

“Awas aja ya bang kalo lo cuma omdo lagi.”

“Bekasi ke Surabaya ngga sedeket itu, harus ngelewatin Jawa Tengah dulu."

“Naik pesawat ngga selama itu ih, alesan mulu!” Aku mendengus sebal.

“Hahaha iya bawel, gua bakal ke sana.” Setelahnya kami mengobrol hal random seperti biasanya.

Hari ini aku hanya ada satu kelas pagi, jadi siangnya aku langsung pulang ke apartemenku. Baru saja aku berbaring di kasurku, teleponku berdering. Aku meraihnya lalu langsung mengangkat panggilan tanpa melihat siapa yang meneleponku.

“Halo?”

“Dek?” Setelah mendengar suaranya aku langsung mendudukkan diriku.

“Abang? Kenapa?.”

“Surabaya panas bener deh?” Tiba-tiba saja dia mengomel seperti itu.

“Bekasi juga panas kali bang.” Aku hanya tertawa mendengar penuturannya. “Eh, tapi kok tiba-tiba lo bilang gitu?” Tanyaku heran, lalu kemudian tiba-tiba dia mengalihkan telepon ke video call, saat aku menggeser tombol hijau itu aku pun dibuat kaget olehnya.

“Sini jemput gua di bandara, panas banget nih.”

Dan di sinilah aku, Bandara Internasional Juanda. Setelah Bang Jean meneleponku tadi dan berkata kalau dia berada di bandara, aku segera menyambar kunci mobilku dan bergegas ke sini, aku amat senang karena akhirnya Bang Jean menepati janjinya.

“Dek!” Aku menoleh ke arah sumber suara, aku melihat Bang Jean dengan ransel di punggungnya, tentu saja dengan senyuman itu.

Setelah menjemput Bang Jean di bandara, malamnya aku dan dia jalan-jalan berkeliling Surabaya dengan menggunakan motor. Awalnya aku menolak ajakannya itu, karena dia baru saja sampai siang tadi, apa dia tidak lelah setelah melakukan perjalanan Bekasi — Surabaya? Tetapi dia hanya menjawab “Gitu doang cape, biasa aja sih.” Menyebalkan bukan? Aku juga menolak karena dia tidak mengetahui jalanan Surabaya, Surabaya itu memiliki jalan yang rumit menurutku, namun lagi-lagi dia menjawab seenaknya “Yasudah sih kan ada Google Maps, kalo salah jalan juga tinggal puter balik.”  Akhirnya aku hanya pasrah mengiyakan keinginannya itu.

Kerandoman Bang Jean bukan hanya sampai di situ, keesokan paginya aku berkata padanya bahwa aku ada kuliah dari pagi hingga sore dan pada saat itu aku berangkat bersama dengan temanku. Aku sengaja tidak membawa motor karena kupikir mungkin saja motorku akan dia pakai karena dia memang malas menyetir mobil pada saat bepergian dan aku pun malas membawa mobil ke kampus. Namun ajaibnya sore itu kulihat dia sudah duduk manis di atas motor tepat di parkiran depan gedung fakultas, saat aku menghampirinya dan bertanya kenapa dia berada di sini dengan enteng dia menjawab “Jemput lo lah.” Aku juga bertanya bagaimana dia bisa mengetahui letak kampusku dan letak gedung fakultas, “gampang, kan ada Google Maps. Soal gedung fakultas lo gua nanya satpam di depan.” Aku sudah tidak habis pikir dengannya. Namun diam-diam aku tersenyum, aku tidak bisa menjelaskannya, namun jika orang lain berada di posisiku, mereka pasti akan mengerti bagaimana rasanya menjadi adik dari Bang Jean.

Selama satu minggu dia berada di Surabaya dan selama satu minggu itu pula kami bersenang-senang menurutku satu minggu itu waktu yang sangat singkat apalagi jika bersama dengan Bang Jean. Namun tak apa, lain waktu aku akan mengajaknya berkeliling Kota Pahlawan ini lagi.

Sudah dua bulan berlalu setelah Bang Jean mengunjungiku di Surabaya. Aku masih sering bertelepon dengannya, membahas segala hal, dari mulai yang penting hingga yang tidak penting seperti kenapa cicak bisa menempel di dinding. Namun hari itu aku mendengar kabar dari bunda bahwa Bang Jean jatuh sakit, aku sangat khawatir mendengarnya, tetapi bunda berkata Bang Jean hanya kelelahan bekerja, karena memang dari satu bulan yang lalu Bang Jean telah mempunyai pekerjaan tetap. Dua hari aku menahan diri untuk tidak menghubungi Bang Jean karena dia harus beristirahat, dan di hari ketiga aku meneleponnya untuk menanyakan bagaimana keadaannya.

“Halo, abang?” Cicitku pelan saat teleponku telah diangkat.

"Hm, iya dek?” Suara itu menyapa pendengaranku, suaranya serak dan lemah, aku jadi tidak tega.

“Gimana keadaan abang?”

“Abang udah mendingan kok, adek ngga perlu khawatir.” Aku menggigit bibir bawahku menahan tangis.

Hening sesaat, “Adek?” Bang Jean memanggilku karena sedari tadi aku hanya diam.

“Abang…” Gumamku parau yang hanya dibalas deheman oleh Bang Jean. “Abang jangan sakit...”

“Dek, lo pikir gua firaun yang ngga bisa sakit?” Musnah sudah suasana mellow yang tadi tercipta hanya gara-gara satu kalimat yang keluar dari mulut Bang Jean.

“Ish Abang! Bukan gitu maksud adek.” Aku mendengus sebal, bisa-bisanya dia bergurau pada saat dia sakit begini.

“Hahaha iya iya, lagian lo ada-ada aja, Lihat!” Dia hanya tertawa, menyebalkan!.

“Ah pokoknya abang harus jaga kesehatan, adek ngga mau abang sakit lagi.”

“Iya adeknya abang yang bawel.”

“Abang harus sembuh!”

Sudah satu minggu Bang Jean sakit, waktu itu keadaan Bang Jean memang sudah membaik namun bunda berkata bahwa setelahnya keadaan Bang Jean kembali memburuk. Setiap hari aku rutin menanyakan kabar Bang Jean kepada bunda dan sesekali aku bertanya kepada Bang Jean langsung. Tetapi sudah dua hari ini aku tidak mengetahui kabarnya karena aku disibukkan dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk, aku tidak sempat memegang atau bahkan bermain ponselku. Pagi itu setelah mandi dan sarapan, aku tengah bersiap untuk pergi ke kampus, namun satu panggilan dari bunda menghentikan aktivitasku.

“Halo bunda?” 

“Iya, halo Sisil.”

“Ada apa bunda? Oh iya, abang udah sehat?” Hening sesaat, aku heran kenapa tiba-tiba bunda diam.

“Bunda?” Panggilku lagi.

“Eh iya Sil, abang… abang udah ngga sakit lagi.”

“Syukur kalo gitu, abang mana bun? Sisil mau ngomong sama abang.”

“Sisil?”

“Iya bun?”

“Kamu yang sabar ya, kamu harus ikhlas.”

“Maksud bunda?”

“Abang udah ngga ada."

Aku terdiam sejenak setelah mendengar pernyataan dari bunda, apa katanya tadi? Apa aku tidak salah dengar? Abang...?

“Bun, Sisil pulang sekarang!"

Di sinilah aku sekarang, di depan rumah bunda setelah menempuh perjalanan dari Surabaya ke Bekasi selama satu jam lebih dengan menggunakan pesawat. Di luar rumah bunda dipenuhi dengan orang-orang berpakaian serba hitam serta bendera kuning yang menghiasi halaman rumahnya. Sedari tadi air mataku tidak berhenti mengalir setelah mematikan telepon dari bunda.

Perlahan kakiku melangkah masuk ke dalam rumah, pandanganku memburam ketika melihat seseorang yang diselimuti kain kafan di tengah kerumunan orang. Aku melihat bunda dan juga kedua orang tuaku, bunda menyadari keberadaanku dan berjalan menghampiriku. Bunda langsung memelukku dan menangis di sana, aku pun ikut menangis di pelukan bunda. Rasanya hatiku sangat remuk saat aku melihat dengan mata kepalaku sendiri seseorang yang amat aku sayangi terbujur kaku dengan diselimuti kain kafan, rasanya aku ingin menyangkalnya namun semuanya terlalu nyata.

Bunda menjelaskan semuanya kepadaku, sebenarnya selama ini Bang Jean mengidap penyakit leukemia. Kemarin Bang Jean jatuh sakit bukan karena dia kelelahan bekerja, namun karena penyakitnya kambuh. Bang Jean sengaja tidak memberitahuku karena dia tidak ingin aku mengkhawatirkannya dan dia tidak ingin aku bersedih. Setelah mengetahui hal itu, aku kembali menangis sejadi-jadinya. Lama aku menangis akhirnya aku memberanikan diri untuk menghampiri Bang Jean setelah tangisku reda, aku membuka kain kafannya dengan tangan yang gemetar. Setelah aku melihat wajahnya, air mataku kembali menetes, wajah yang dulunya selalu menampilkan senyuman kini sangat pucat.

“Abang?” Rasanya aku tidak sanggup untuk berbicara, sepatah kata yang aku keluarkan saja itu sudah sangat menyakitkan.

“Bang... adek udah bilang kan abang harus jaga kesehatan? Abang juga udah janji bakal sembuh tapi... t-tapi kenapa abang malah ninggalin adek?” Aku sudah tidak sanggup lagi, aku kembali menangis dengan memeluk lututku sendiri, aku membenamkan wajahku di sana. Ini terlalu menyakitkan untukku, kehilangan seseorang yang amat sangat berarti di hidupku.

Pemakaman dilangsungkan, kini tempat peristirahatan Bang Jean yang terakhir sudah sangat cantik dihiasi bunga di atasnya. Perlahan orang-orang pergi dari sana satu persatu, bunda dan kedua orang tuaku juga sudah kembali ke mobil terlebih dahulu. Kini hanya tersisa aku, Bang Rey, dan Bang Leo.

“Sil? Pulang yuk? Udah sore.” Ajak Bang Rey padaku, dia pun ikut berlutut di samping ku. Aku menggeleng, “duluan aja bang, gua masih mau di sini sama Bang Jean.” Tolak ku. Mataku menatap kosong ke arah nisan milik Bang Jean.

“Sil...” Tegur Bang Leo.

“Bang, kenapa Bang Jean tega ninggalin gua secepat ini sih?”  Tanyaku pada Bang Leo, aku menatap Bang Rey dan Bang Leo satu persatu dan mereka hanya diam. lagi-lagi aku tidak dapat menahan air mataku.

Satu minggu telah berlalu setelah pemakaman Bang Jean dan aku sudah kembali ke Surabaya, aku kembali menjalani aktivitasku seperti biasanya, namun semuanya terasa berbeda, hanya kekosongan yang aku rasakan.

Pagi ini aku kembali ke Bekasi untuk mengunjungi Bang Jean. Setelah dari rumahku dan juga rumah bunda, aku langsung pergi ke rumah terakhir Bang Jean. Pada saat kakiku menginjak gapura, rasanya sangat berat karena aku harus kembali pada luka itu, namun aku menguatkan hatiku dan tetap melanjutkan langkahku.

“Hai abang? Maaf ya adek baru ngunjungin abang sekarang —hehe.” Aku terkekeh miris lalu aku berlutut di samping nisannya. “Abang, sekarang abang udah ngga sakit lagi kan? Sekarang abang udah bahagia di sana kan?” Aku meremas ujung bajuku menahan sesak. 

“Oh iya bang, ini adek bawain bunga lily kuning kesukaan abang. Padahal harusnya abang yang ngasih bunga pas adek wisuda nanti karena abang udah janji bakal dateng ke acara wisuda adek...” Aku meletakkan bunga itu dan tak terasa air mataku kembali mengalir.

“Abang, dulu pas tau adek lolos di Universitas yang ada di Surabaya, adek sempet ngga mau ambil karena nanti adek jauh dari abang. Tapi abang ngeyakinin adek kalo adek bisa mandiri di sana tanpa abang. t-tapi tapi kenapa abang sepercaya itu adek bisa tanpa abang? Kenapa sekarang abang malah pergi ninggalin adek buat selamanya?” Aku kembali terisak di samping makam Bang Jean. 

“Abang… awalnya semesta baik banget karena adek dipertemukan dengan orang sebaik abang. Tapi kenapa sekarang semesta jahat banget ngambil abang dari adek?”

Tiba-tiba saja hujan turun dengan sangat deras, aku kembali menangis di bawah hujan. Hawa dingin menyelimuti, namun aku masih enggan untuk beranjak dari sana, aku masih merindukan Bang Jean.

Semesta… aku titip Bang Jean, aku mohon bahagiakan dia, aku sangat menyayanginya. Aku memeluk nisan milik Bang Jean, di tengah derasnya hujan samar-samar aku mendengar seseorang memanggil namaku. “Sisil?” Aku menoleh, di sana ada Bang Rey dan Bang Leo yang tengah memegang payung.

Bang Rey menghampiriku, “Sil, lo ngapain di sini sendirian? Ini juga hujan deres banget.” Tanyanya padaku. Aku hanya tersenyum tipis. “Gua... cuma kangen Bang Jean.” Bang Rey dan Bang Leo menatapku yang tengah menununduk dengan iba. 

“Sil, pulang yuk?” Ajak Bang Leo, aku hanya mengangguk sebagai jawaban.

Selamat tinggal abang, setelah ini adek bakal menjalani kehidupan adek tanpa adanya kehadiran abang, adek harap kita bisa ketemu lagi di kehidupan selanjutnya, adek sayang abang.

Editor: Fitri Rahma Fadhila

Tags

Posting Komentar

0Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.
Posting Komentar (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman anda! Learn More
Accept !