Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>SOSOK</strong> <strong>WANITA</strong> <strong>DALAM</strong> <strong>PUISI</strong><br />
“PORTRAIT D’UNE FEMME” KARYA EZRA POUND<br />
(Sebuah Kajian Melalui Pendekatan Struktural dan Semiotik)<br />
TESIS<br />
Untuk memenuhi sebagian persyaratan<br />
mencapai derajat Sarjana Strata 2<br />
Magister Ilmu Susastra<br />
Lynda Susana Widya Ayu Fatmawaty<br />
A 4A 007 011<br />
PROGRAM PASCASARJANA<br />
UNIVERSITAS DIPONEGORO<br />
SEMARANG<br />
2009
TESIS<br />
<strong>SOSOK</strong> <strong>WANITA</strong> <strong>DALAM</strong> <strong>PUISI</strong><br />
”PORTRAIT D’UNE FEMME” KARYA EZRA POUND<br />
(Sebuah Kajian melalui pendekatan Struktural dan Semiotik)<br />
Disusun oleh<br />
Lynda Susana Widya Ayu Fatmawaty<br />
A 4A 007 011<br />
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing<br />
Penulisan Tesis pada Tanggal 09 September 2009<br />
Pembimbing Utama Pembimbing Kedua<br />
Subur Wardoyo, Phd Dra. Lubna A Sungkar, M. Hum<br />
Ketua Program Studi<br />
Magister Ilmu Susastra<br />
Prof. Dr. Nurdien H.K., M.A.
TESIS<br />
<strong>SOSOK</strong> <strong>WANITA</strong> <strong>DALAM</strong> <strong>PUISI</strong><br />
“PORTRAIT D’UNE FEMME” KARYA EZRA POUND<br />
(Sebuah Kajian melalui pendekatan Struktural dan Semiotik)<br />
Disusun oleh:<br />
Lynda Susana Widya Ayu Fatmawaty<br />
NIM. A 4A007011<br />
Telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Tesis<br />
pada 08 Oktober 2009<br />
dan dinyatakan diterima<br />
Ketua Penguji<br />
Prof. Dr. Nurdien H.K., M.A ___________________________<br />
Sekretaris Penguji<br />
Dra. Dewi Murni, M.A ___________________________<br />
Anggota<br />
Subur Wardoyo, Phd ___________________________<br />
Anggota<br />
Drs. Sunarwoto, M.S., M.A ___________________________<br />
Anggota<br />
Dra. Lubna A Sungkar, M.Hum ___________________________
PERNYATAAN<br />
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini merupakan hasil karya saya sendiri<br />
dan didalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh<br />
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya.<br />
Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/tidak<br />
diterbitkan yang saya gunakan dalam tesis ini, sumbernya disebutkan di dalam<br />
teks dan daftar pustaka.<br />
iv<br />
Semarang, September 2009<br />
Lynda Susana
PRAKATA<br />
Segala Puji Bagi Allah SWT, Yang Maha Pemurah, Pengasih dan<br />
Penyayang. Tidak ada ungkapan lain yang dapat saya tulis lebih awal dalam<br />
Prakata ini selain ungkapan syukur kepada Allah, Pemberi kemudahan bagi jalan<br />
hidup sehingga saya dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul Sosok Wanita<br />
dalam Puisi Portrait d’une Femme Karya Ezra Pound (Kajian melalui Pendekatan<br />
Struktural dan Semiotik). Tesis ini menggunakan pendekatan Struktural dan<br />
Semiotik karena dalam menganalisis puisi ini ketiga pendekatan ini tidak dapat<br />
dipisahkan. Ketika menganalisis puisi menggunakan pendekatan semiotik maka<br />
pendekatan struktural tidak dapat dipisahkan dalam pemaknaannya sehingga<br />
kedua pendekatan ini digunakan untuk menganalisis puisi secara tekstual.<br />
Dalam tesis ini, saya mendapat bantuan yang sangat berharga dari<br />
berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati saya ingin mengucapkan<br />
terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang<br />
telah membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini.<br />
Pertama, saya sampaikan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Nurdien H.<br />
Kistanto, M.A., selaku ketua program Magister Ilmu Susastra atas bimbingannya<br />
kepada saya.<br />
Tidak lupa saya sampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya bagi Bapak<br />
Drs. Redyanto Noor, M. Hum, selaku sekretaris program studi sekaligus sebagai<br />
pengajar, terimakasih atas ilmunya selama ini. Terimakasih pula untuk seluruh<br />
v
dosen pengampu di program Magister Ilmu Susastra <strong>Undip</strong>. Ibu Melani Budianta<br />
dengan segala keindahan dalam pengajarannya, Bapak Sapardi dengan ilmunya<br />
dan kesyikannya berdiskusi dengan kelas kami, juga para pengajar yang tidak<br />
dapat saya sebutkan satu persatu. Tidak terlupakan, terimakasih saya sampaikan<br />
pada Mas Dwi dan Mbak Ari yang selalu memberikan bantuan dan pelayanan.<br />
Ungkapan terimakasih yang tidak terhingga juga saya sampaikan kepada<br />
Bapak Subur Wardoyo, Phd atas ilmu semiotiknya yang sangat menarik dan juga<br />
selaku pembimbing satu yang senantiasa memberi arahan kepada saya untuk<br />
maju. Kepada Ibu Dra.Lubna A. Sungkar, M.Hum, selaku pembimbing dua yang<br />
sangat sabar dan penuh kasih sayang dalam membimbing saya ucapkan<br />
terimakasih yang tak terhingga untuk senantiasa mengobarkan semangat kepada<br />
saya agar secepatnya menyelesaikan tesis.<br />
Tak lupa terimakasih yang tak terukur dengan kata-kata bagi keajaiban<br />
hidup saya, Mas Condro, selaku suami, sahabat, dan pembimbing spiritual yang<br />
dengan sabar selalu menerangi hidup saya. Juga untuk buah hati dan pelangi<br />
hidup saya, Rava Ahimsa Nabil Ar-rayan, yang dengan sabar menunggu<br />
kepulangan mama. Terimakasih atas Dukungan tak terhingga dari Ibu, Bapak, dik<br />
Roni, dik Ratna, Hery, Candra, dan Keisha. Dukungan ini adalah sebuah energi<br />
yang tak terhingga yang mendorong saya untuk selalu senantiasa bersemangat<br />
menyelesaikan studi.<br />
Bagi teman-teman di Unsoed, Pak Slamet, Pak Rosyid, Mbak Dyah, Mbak<br />
Septi, Mbak Farida terimakasih atas dorongan semangatnya. Tak terkecuali bagi<br />
sahabat istimewa saya Mas Agus, dan teman-teman Bapendik, yang selalu<br />
vi
membantu dan mendorong saya untuk secepatnya menyelesaikan studi.<br />
Terimakasih juga untuk murid-murid sekaligus sahabat berkeluh kesah saya<br />
selama ini, Antin, Susi, Ani, Oky, dan seluruh anak ADC Unsoed.<br />
Untuk teman satu angkatan yang terkenal dengan warga atau warga ruang<br />
tiga, terimakasih atas kebersamaan kita. Buat Mbak Indri, terimakasih sudah<br />
menjadi soulmate yang selalu mengerti dan mensupport saya, maaf kalau sering<br />
membuat panik, Mbak Tira, terimakasih untuk saat-saat manis menyusuri<br />
Semarang, Tri, Lelu, Grace, Mbak Nina, Mbak Tutik, Destari, Indria, Zainal, Mas<br />
Teguh, dan Muhajir.<br />
Terakhir, terimakasih tak terhingga buat Pak Sis yang seringkali menjadi<br />
pelarian dalam tugas, terimakasih untuk menjadi Suhu sekaligus sahabat bagi<br />
kami. Semoga tidak berhenti untuk membantu teman-teman yang lain sampai<br />
lulus.<br />
Akhirnya, saya hanya dapat berharap semoga segala bantuan yang telah<br />
diberikan kepada saya akan memperoleh balasan dari Allah SWT.Amin<br />
vii<br />
Semarang, September 2009<br />
Penulis
DAFTAR ISI<br />
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................... i<br />
HALAMAN PENGESAHAN............................................................... ii<br />
HALAMAN PERNYATAAN.............................................................. iv<br />
PRAKATA............................................................................................. v<br />
DAFTAR ISI......................................................................................... viii<br />
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................ x<br />
ABSTRAK............................................................................................ xi<br />
BAB 1. PENDAHULUAN................................................................ 1<br />
1.1. Latar Belakang dan Masalah………………………………… 1<br />
1.1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1<br />
1.1.2. Rumusan Masalah...................................................................... 3<br />
1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................... 4<br />
1.2.1. Tujuan Penelitian....................................................................... 4<br />
1.2.2. Manfaat Penelitian...................................................................... 4<br />
1.3. Ruang Lingkup Penelitian............................................................. 5<br />
1.4. Metode dan Langkah Kerja Penelitian.......................................... 5<br />
1.4.1. Metode/Pendekatan Penelitian.................................................. 5<br />
1.4.2. Sumber dan Langkah Kerja....................................................... 6<br />
1.5. Landasan Teori................................................................................ 6<br />
1.5.1. Pendekatan Struktural....................................................................... 6<br />
1.5.2. Pendekatan Semiotik…………………………………………… 7<br />
1.6. Sistematika Penulisan……….…………………………………… 8
BAB 2. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI........... 10<br />
2.1. Penelitian Sebelumnya................................................................. 10<br />
2.2. Teori tentang Puisi dan struktur puisi.......................................... 11<br />
2.3. Semiotik....................................................................................... 28<br />
2.4. Budaya Patriarkal........................................................................ 43<br />
2.5. Penulis dan masa penciptaan puisi ................................................. . 48<br />
BAB 3. ANALISIS <strong>PUISI</strong> ............................................................. 51<br />
3.1. Tipografi.................................................................................... 51<br />
3.2. Tema.......................................................................................... 57<br />
3.3. Rima dan meter......................................................................... 58<br />
3.4. Diksi.......................................................................................... 61<br />
3.5. Pencitraan.................................................................................. 64<br />
3.6. Majas............................................................................... .......... 67<br />
3.7. Parafrase.................................................................................... 70<br />
BAB 4. SEMIOTIKA <strong>PUISI</strong>....................................................... 85<br />
4.1. Dramatic Situation .................................................................. 85<br />
4.2. Metafora dan Metonimi.................................... ........................ 88<br />
4.3. Intertekstualitas....................................................................... 114<br />
4.4 . Stereotipe perempuan dan dominasi budaya patriarkal ............ 119<br />
BAB 5. SIMPULAN ................................................................... 123<br />
DAFTAR PUSTAKA................................................................... 127<br />
LAMPIRAN
Lampiran<br />
Lampiran 1 Puisi Portrait d’une Femme<br />
Lampiran 2 Puisi Portrait of a Lady<br />
Lampiran 3 Sargasso Sea<br />
Lampiran 4 Peta Segitiga Bermuda
ABSTRAK<br />
Penelitian ini berjudul ’Sosok Wanita dalam Puisi Portrait d’une Femme<br />
karya Ezra Pound’ (Sebuah Kajian Melalui Pendekatan Struktural dan Semiotik).<br />
Ketertarikan penulis untuk menganalisis puisi ini didasari karena puisi ini<br />
merefleksikan pandangan pengarang terhadap sosok wanita yang dipandang<br />
secara patriarkal.<br />
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) untuk menampilkan citra perempuan<br />
dalam pandangan pengarang yang direpresentasikan dalam puisi Portrait d’une<br />
Femme karya Ezra Pound; 2) untuk mengungkapkan stereotipe perempuan dan<br />
dominasi budaya patriarkal yang tercermin dalam puisi ini.<br />
Untuk mencapai tujuan di atas, penulis menggunakan pendekatan<br />
gabungan yaitu pendekatan struktural dan semiotik. Pendekatan struktural<br />
digunakan untuk mengkaji aspek-aspek intrinsik puisi, sedangkan pendekatan<br />
semiotik digunakan untuk mengungkap makna puisi dengan melihat korelasi<br />
tanda dan makna.<br />
Dari puisi yang berjumlah tiga puluh baris ini, Ezra Pound berusaha<br />
menggambarkan sosok wanita dalam pandangannya yang mewakili pemikiran<br />
kaum lelaki. Dalam puisi ini dapat pula dilihat stereotipe perempuan yang<br />
tercermin dalam dominasi budaya patriarkal. Mitos tentang wanita yang tercermin<br />
dalam puisi ini adalah wanita selalu menjadi yang kedua dan ia adalah simbol<br />
seks.<br />
Kata kunci: puisi, semiotik, patriarkal
Abstract<br />
This research entitled The Figure of Woman in Ezra Pound’s Portrait<br />
d’une Femme (An Analysis through Structural and Semiotic Approach). The<br />
researcher is interested in analyzing this poem because it reflects the writer’s view<br />
about women in patriarchal context.<br />
The objectives of this research are: 1) to figure out the image of women in<br />
the author’s point of view which is reflected in the poem entitled Portrait d’une<br />
Femme; 2) to describe the stereotype of women and the patriarchal domination as<br />
reflected in the poem.<br />
In order to answer above objectives, the researcher used combination of<br />
structural-semiotic approach. The structural approach is used to analyze the poem<br />
intrinsically. Meanwhile the semiotic approach is used to reveal the meaning of<br />
the poem by considering the correlation between the sign and meaning.<br />
In his poem that consists of thirty lines, Ezra Pound tried to figure out the<br />
women in patriarchal view as the representation of men’s view. The stereotype of<br />
women in the domination of patriarchy culture can also be seen in it. The myths<br />
about women which is reflected in this poem consider them as both the second sex<br />
and as the symbol of sex.<br />
Key words: poem, semiotic, patriarchal
BAB 1<br />
PENDAHULUAN<br />
1.1. Latar Belakang dan Rumusan Masalah<br />
1.1.1. Latar Belakang<br />
Puisi merupakan karya sastra yang memiliki karakter sangat unik. Seperti<br />
dikatakan oleh Edwin Arlington Robinson (Cole, 1931: 25) ”Poetry has two<br />
outstanding characteristics. One is that it is, after all, undefineable, the other is<br />
that it is eventually unmistakable”. Puisi dikatakan memiliki karakter yang tidak<br />
dapat didefinisi atau justru ketika didefinisi maka pemaknaan ini tidak ada yang<br />
salah. Dengan melihat dua karakter tersebut, puisi memberi ruang interpretasi<br />
yang lebih luas. Puisi yang tercipta dalam untaian kata yang indah dapat dikatakan<br />
multi interpretable.<br />
Puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan<br />
konsep estetiknya. Meskipun demikian, orang tidak akan dapat memahami puisi<br />
secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi adalah karya<br />
estetis yang bermakna atau berarti, dan bukan sesuatu yang kosong (Riffaterre<br />
dalam Pradopo, 1991: 5). Analisis puisi dapat berkembang tidak hanya dalam<br />
kajian strukturnya saja karena aspek pendukung seperti latar belakang terciptanya<br />
puisi dapat menjadi faktor penting dalam analisis. Tidak dapat dipungkiri bahwa<br />
sebelum masuk pada pengkajian aspek-aspek yang lain, puisi dikaji sebagai<br />
sebuah struktur yang bermakna dan bernilai estetis (Pradopo, 1991: 5) .
Puisi merupakan hasil kreatifitas manusia yang diwujudkan lewat susunan<br />
kata yang mempunyai makna. Puisi juga tersusun atas unsur-unsur yang beraneka<br />
ragam. Unsur-unsur tersebut antara lain berupa kata-kata, bentuk, pola rima,<br />
ritma, ide, makna atau masalah yang diperoleh penyairnya di dalam hidup dan<br />
kehidupan yang hendak disampaikannya kepada pembaca, pendengar, melalui<br />
teknik dan aspek–aspek tertentu. Unsur-unsur yang membangun puisi meliputi<br />
imajinasi, emosi dan bentuknya yang khas (Brahim dalam Sayuti, 1985: 14) .<br />
William J. Grace dalam Sayuti (1985: 14) mengatakan bahwa watak puisi lebih<br />
mengutamakan intuisi, imajinasi dan sintesa dibandingkan dengan prosa yang<br />
lebih mengutamakan pikiran, konstruksi dan analisis.<br />
Pemaknaan puisi atau pemberian makna puisi ini berhubungan dengan<br />
teori sastra masa kini yang lebih menekankan perhatian pada pembaca. Puisi<br />
adalah artefak yang baru mempunyai makna apabila diberi makna oleh pembaca.<br />
Akan tetapi pemberian makna tidak boleh asal-asalan tetapi berdasarkan atau<br />
dalam kerangka semiotik (ilmu/sistem tanda), karena karya sastra merupakan<br />
sistem tanda (Pradopo, 1991: 278).<br />
Puisi Portrait d’une Femme adalah salah satu puisi karya Ezra Pound yang<br />
mencerminkan pandangan pria terhadap wanita. Dalam puisi ini, pengarang<br />
menggambarkan bagaimana pandangannya terhadap sosok wanita. Puisi ini<br />
menarik untuk dikaji karena jarang sekali penyair menulis puisi untuk mengkritisi<br />
wanita. Puisi yang tercipta biasanya adalah tentang cinta, kehidupan, kebahagiaan,<br />
kesedihan, dan kematian.
Wanita selalu menjadi yang kedua. Wanita tidak pernah mendapat porsi<br />
untuk menjadi yang pertama. Sungguh disayangkan, wanita menyadari dan<br />
menerima hal tersebut sebagai satu kewajaran. Hal ini telah berlangsung dari dulu<br />
sampai sekarang yang bahkan telah dimulai sejak abad sebelum masehi. Sistem<br />
budaya di belahan dunia manapun turut melanggengkan sistem ini, stigma ini<br />
akhirnya diterima secara umum sebagai kebenaran. Kesadaran semu yang<br />
ditanamkan terhadap otak wanita telah mengaburkan makna yang sesungguhnya<br />
dari hakikat kehadirannya di dunia. Karena itulah puisi ini tercipta sebagai salah<br />
satu kritik terhadap wanita.<br />
Pada Program Magister Ilmu Susastra Universitas Diponegoro, penelitian<br />
yang dilakukan selama ini cenderung pada kajian terhadap prosa atau drama<br />
adapun penelitian tentang puisi yang dilakukan biasanya terfokus pada analisis<br />
strukturalnya saja, sehingga penelitian ini akan difokuskan pada analisis melalui<br />
penggabungan pendekatan yaitu pendekatan struktural dan semiotik.<br />
1.1.2. Rumusan Masalah<br />
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini<br />
dapat dirumuskan sebagai berikut:<br />
a. Bagaimana potret perempuan direpresentasikan dalam puisi portrait d’une<br />
Femme karya Ezra Pound?<br />
b. Bagaimana stereotipe perempuan dan dominasi budaya patriarkal yang<br />
tercermin dalam puisi ini?
1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian<br />
1.2.1. Tujuan Penelitian<br />
Tujuan penelitian ini adalah:<br />
a. Untuk menampilkan citra perempuan dalam pandangan pengarang yang<br />
direpresentasikan dalam puisi portrait d’une Femme karya Ezra Pound.<br />
b. Untuk mengungkapkan stereotipe perempuan dan dominasi budaya patriarkal<br />
yang tercermin dalam puisi ini<br />
1.2.2. Manfaat Penelitian<br />
Penelitian ini mempunyai manfaat teoretis dan praktis. Manfaat teoritis<br />
dari penelitian ini adalah hasil penelitian ini adalah untuk memperkaya referensi<br />
mengenai feminisme yang direpresentasikan dalam suatu karya sastra, khususnya<br />
puisi, akan memberikan pengertian dan pemahaman mengenai budaya patriarkal<br />
yang tercermin dalam puisi secara lebih komprehensif.<br />
Manfaat praktisnya adalah penelitian ini dapat digunakan sebagai model<br />
untuk melihat dan menganalisis puisi melalui pendekatan struktural dan semiotik.
1.3.Ruang Lingkup Penelitian<br />
Bahan dan data untuk penelitian ini diperoleh dari sumber-sumber tertulis<br />
yang berkaitan dengan objek penelitian. Ruang lingkup penelitian ini akan<br />
dibatasi pada objek formal dan material. Objek formal penelitian ini adalah<br />
pencitraan terhadap perempuan dari sudut pandang budaya patriarkal yang<br />
direpresentasikan dalam puisi ini. Adapun objek materialnya adalah puisi<br />
Portrait d’une Femme karya Ezra Pound.<br />
1.4. Metode dan Langkah Kerja Penelitian<br />
1.4.1. Metode/Pendekatan Penelitian<br />
Penelitian dalam bidang sastra pada umumnya dikenal 2 jenis penelitian,<br />
yaitu penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field<br />
research). Suatu penelitian disebut sebagai penelitian kepustakaan apabila korpus<br />
penelitian berupa teks karya sastra (fiksi, puisi, drama atau naskah sastra atau<br />
teks-teks lain yang berkaitan dengan sastra) (Prihatmi, 2004: 14-12).<br />
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode<br />
pendekatan gabungan antara pendekatan struktural dan semiotik. Pendekatan<br />
struktural digunakan untuk menganalisis aspek-sepek intrinsik puisi Portrait<br />
d’une Femme. Pendekatan semiotik digunakan untuk mengidentifikasi konvensi-<br />
konvensi tanda yang menunjukkan kesatuan makna dari puisi ini. Pendekatan
semiotik juga digunakan untuk emmbingkai tema sehingga dapat dilihat cerminan<br />
stereotipe perempuan dan dominasi budaya patriarkal dalam puisi ini.<br />
1.4.2. Sumber Data dan Langkah Kerja Penelitian<br />
Data utama dalam penelitian ini adalah karya sastra yang berupa puisi<br />
berjudul Portrait d’une Femme karya Ezra Pound. Adapun sumber data<br />
pendukung adalah sumber-sumber kepustakaan mengenai objek yang diteliti,<br />
terutama buku-buku feminisme dan semiotik. Langkah kerja dalam penelitian ini<br />
adalah membaca, mencatat, dan kemudian menginterpretasikan rujukan-rujukan<br />
yang berhubungan dengan objek penelitian. Tahap kedua adalah pengolahan data.<br />
Adapun tahap yang terakhir adalah penyajian hasil pengolahan data berupa tesis.<br />
1.5. Landasan Teori<br />
1.5.1. Pendekatan Struktural<br />
Sajak (karya sastra) merupakan sebuah struktur. Struktur tersebut<br />
merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya<br />
terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Dengan pengertian seperti<br />
itu maka analisis struktural adalah analisis karya dan penguraian bahwa tiap unsur<br />
tersebut mempunyai makna hanya dalam kaitan dengan unsur-unsur lainnya,<br />
bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur (Pradopo, 2005: 120).
Pendekatan struktural dikenal juga dengan istilah lain yaitu pendekatan<br />
intrinsik, objektif, analitik dan formal. Pendekatan analitis atau struktural dalam<br />
apresiasi puisi adalah pendekatan secara sistematis objektif berusaha untuk<br />
menelaah unsur-unsur intrinsik dalam puisi (Aminuddin, 1995: 164). Penjelasan<br />
lebih lanjut mengenai unsur-unsur puisi seperti tipografi, tema, rima, diksi,<br />
pencitraan, dan majas akan dibahas pada bab selanjutnya.<br />
1.5.2. Pendekatan Semiotik<br />
Semiotik merupakan ilmu tentang tanda. Tanda ini akan digunakan untuk<br />
mengidentifikasi sosok wanita yang tercermin dalam puisi Portrait d’une Femme<br />
akan didapatkan korelasi yang komprehensif antara tanda dan makna. Semiotik<br />
yang akan digunakan adalah semiotik Rifaterre karena semiotik ini memiliki<br />
langkah-langkah khusus untuk menganalisis puisi.<br />
Pradopo (2005: 121-122) menyatakan bahwa bahasa sebagi medium karya<br />
sastra merupakan sistem semiotik atau ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang<br />
mempunyai arti. Kata-kata (bahasa) sebelum dipergunakan dalam karya sastra<br />
sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh perjanjian<br />
masyarakat atau dengan kata lain dimaknai berdasarkan konvensi masyarakat.<br />
Sistem ketandaan ini disebut semiotik. Begitu juga dengan ilmu yang mempelajari<br />
sistem-tanda-tanda tersebut disebut semiotik(a) atau semiologi. Bahasa yang<br />
merupakan sistem tanda dan sebagai medium karya sastra adalah sistem tanda<br />
tingkat pertama. Dalam ilmu tanda-tanda atau semiotik, arti bahasa sebagai sistem
tanda tigkat pertama disebut meaning (arti). , karya sastra juga merupakan sistem<br />
tanda yang lebih tinggi kedudukannya dari bahasa, maka disebut semiotik tingkat<br />
kedua. Jadi sastra merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Untuk<br />
membedakannya (dari arti bahasa), arti sastra disebut sebagai makna<br />
(significance).<br />
Tanda bisa meliputi berbagai hal. Dalam semiotik tanda-tanda bisa berupa<br />
kata-kata atau gambar-gambar yang bisa menghasilkan makna. Dalam kaitannya<br />
dengan tanda tersebut, aplikasi semiotik dalam mengidentifikasi makna suatu<br />
karya memberi ruang yang sangat lebar. Setiap tanda terdiri dari suatu signifier<br />
(penanda) yaitu ujud materi tanda tersebut dan signified (petanda) yaitu konsep<br />
yang diwakili penanda tadi (Wardoyo, 2005: 02).<br />
Langkah-langkah kerja dalam analisis puisi akan dijelaskan lebih lanjut<br />
pada bab 2 yaitu kajian pustaka dan kerangka teori.<br />
1.6. Sistematika Penulisan Laporan<br />
Penyusunan hasil penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab. Adapun masing-<br />
masing bab tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.<br />
Bab 1, Pendahuluan. Pada bagian ini akan diuraikan hal-hal yang berkaitan<br />
dengan latar belakang yang mendasari dipilihnya topik penelitian. Selain<br />
mengungkap latar belakang penelitian, dalam bab ini akan dirumuskan pula<br />
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metode dan
langkah kerja penelitian, landasan teori serta sistematika penulisan laporan hasil<br />
penelitian.<br />
Bab 2, Kajian Pustaka dan Kerangka Teori. Pada bagian ini akan<br />
dijabarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan oleh pihak lain dapat dipahami<br />
alasan yang menyebabkan penelitian ini tetap dilakukan. Selain itu juga akan<br />
dijelaskan mengenai rujukan atau landasan teori yang digunakan dalam penelitian<br />
ini yaitu teori tentang struktur puisi, semiotik, dan budaya patriarkal.<br />
Bab 3 Analisis puisi melalui pendekatan struktural akan dibahas secara<br />
mendetail unsur-unsur puisi pada Portrait d’une Femme seperti tipografi, tema,<br />
parafrase, rima/ ritme, diksi, pencitraan, dan majas.<br />
Bab 4, Sosok Wanita dalam puisi Portrait d’une Femme. Pada bagian ini<br />
akan disajikan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan menganalisis puisi<br />
melalui pendekatan semiotik. Secara mendetail langkah-langkah dari kedua<br />
pendekatan ini adalah mengidentifikasi dramatic situation, mengidentifikasi<br />
metafor dan metonimi, menganalisis intertekstualitas teks, dan mengidentifikasi<br />
stereotipe wanita dan budaya patriarkal yang tercermin dalam puisi ini.<br />
Bab 5, Simpulan. Bagian ini merupakan bagian terakhir yang berisi<br />
paparan simpulan dari keseluruhan analisis.
BAB 2<br />
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI<br />
2.1. Penelitian Sebelumnya<br />
Ezra Pound merupakan penyair besar yang karya-karyanya mendominasi<br />
perkembangan sastra di Amerika pada abad 18an. Puisi karya Ezra Pound yang<br />
selama ini dikaji adalah the Cantos dan Personae (kumpulan puisi pendek).<br />
Portrait d’une Femme adalah salah satu karya besarnya yang sangat menarik<br />
karena puisi ini merupakan salah satu puisi yang mencoba memotret wanita dalam<br />
perspektif lelaki.<br />
Membicarakan wanita memang tidak pernah ada habisnya karena apa saja<br />
bisa menjadi topik hangat dalam perbincangan. Pembicaraan tentang wanita juga<br />
seringkali menjadi tema atau isu sentral dalam sastra. Wanita ditempatkan dalam<br />
posisi yang tersubordinasi. Tentunya hal ini tidak lepas dari budaya patrirakal<br />
yang dilanggengkan oleh masyarakat. Berdasarkan data yang ada puisi ini pernah<br />
dikaji melalui pendekatan struktural, namun dalam penelitian tersebut aspek yang<br />
ditekankan adalah pada parafrasenya saja. Karena itulah dalam penelitian ini akan<br />
digunakan pendekatan gabungan struktural dan semiotik untuk mengkaji puisi<br />
untuk melihat budaya patriarkal yang tercermin dalam puisi ini.<br />
Beberapa puisi yang telah dikaji di Program Magiter Ilmu Susastra <strong>Undip</strong><br />
sebelumnya adalah menekankan pada pendekatan aspek strukturalnya. Penelitian
lain menunjukkan adanya penggabungan pendekatan yaitu historis, sosiologis, dan<br />
estetis pada puisi –puisi Malu Aku Jadi Orang Indonesia (MAJOI) karya Taufiq<br />
Ismail .<br />
Kajian melalui pendekatan semiotik juga masih jarang dilakukan. Kajian<br />
melalui pendekatan semiotik yang sudah dilakukan adalah untuk mengkaji<br />
pemaknaan mutiara pada novel The Pearl karya John Steinbeck. Sedangkan<br />
pengkajian pada puisi melalui pendekatan ini sudah dilakukan terhadap objek<br />
sastra lisan yaitu Mantra pada Masyarakat Suku Bajo di Kalimantan.<br />
2.2. Puisi dan Struktur Puisi<br />
Puisi diciptakan di setiap era, tempat, dan kondisi yang berbeda namun<br />
puisi dapat merasuk keseluruh aspek kehidupan. Puisi dapat dikatakan sama<br />
universalnya dengan bahasa dan bahkan sama kunonya dengan bahasa. Orang-<br />
orang yang paling primitif pun telah menggunakan puisi, sedangkan mereka yang<br />
merupakan golongan paling beradab pun melestarikannya. Fleksibilitas puisi<br />
untuk masuk ke seluruh aspek kehidupan ini dikarenakan puisi mampu memberi<br />
kenikmatan.<br />
” People have read poetry or listened to it or recited it because they liked<br />
it, because it gave them enjoyment. But this not the hole answer. Poetry in<br />
all ages has been regarded as important, not simply as one of several<br />
alternative forms of amusement, as one man might choose bowling,<br />
another chess, and another poetry. Rather, it has been regarded as<br />
something central to each man’s existence, something having unique value<br />
to the fully realized life, something that he is better off for having and<br />
spiritually impoverished without.(Perrine, 1969: 03)
Shanon Ahmad dalam Pradopo (1987: 06) mengumpulkan definisi-definisi<br />
puisi yang pada umumnya dikemukakan oleh penyair romantic Inggris. Samuel<br />
Taylor Coleridge mengemukakan puisi adalah kata-kata yang terindah dalam<br />
susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun sebaik-<br />
baiknya. Carlyl mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat<br />
musikal. Sedangkan Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah<br />
pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau<br />
diangankan. Dunton menyatakan bahwa puisi merupakan pemikiran manusia<br />
secara konkrit dan artistik dalam bahasa emosional serta berirama. Shelley<br />
mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling indah dalam<br />
hidup kita. Jika unsur-unsur dari pendapat-pendapat tersebut dipadukan maka<br />
puisi tersusun atas unsur-unsur berupa: emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada,<br />
irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan<br />
yang bercampur baur. Hal ini dapat disimpulkan bahwa ada tiga unsur pokok<br />
dalam puisi yaitu ide atau emosi, bentuk, dan kesan.<br />
Pradopo (1987:07) mengatakan bahwa puisi merupakan hasil imajinasi<br />
terdalam penyair tentang sesuatu seperti apa yang dilihat, apa yang dirasa,<br />
sehingga ada keindahan terdalam yang tertuang didalamnya. Puisi<br />
mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang<br />
imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama.<br />
Dalam Perrine (1969:09) dikatakan bahwa puisi merupakan rekaman<br />
interpretasi pengalaman manusia yang penting, dan digubah dalam wujud yang<br />
paling berkesan. Puisi diciptakan tidak hanya berkaitan dengan keindahan, tidak
hanya berdasarkan kebenaran filosofis, tidak dengan persuasi, tapi dengan<br />
pengalaman. Keindahan dan kebenaran filosofis adalah salah satu aspek<br />
pengalaman, puisi seringkali berpadu dengan hal ini.<br />
Puisi dapat pula didefinisikan sebagai bahasa tertentu yang dapat<br />
mengungkapkan lebih dalam makna dari pada bahasa biasa. Puisi adalah karya<br />
sastra yang paling padat karena ia mampu mengungkapkan maknanya dalam<br />
sejumlah kata minimalis. Kekuatan bahasa pada puisi mampu memberi efek yang<br />
dahsyat bagi pembacanya, bahkan hal ini diibaratkan sebagai voltase tinggi yang<br />
mampu memberi tegangan.<br />
” Poetry might be defined is a kind of language that says more and says it<br />
more intensely than does ordinary language. Poetry is the most condensed<br />
and concentrated form of literature saying most in the fewest number of<br />
words. It is language whose individual lines, either because of their own<br />
brilliance or because they focus powerfully what has gone before, have<br />
higher voltage than most language has. It is language that grows<br />
frequently incandescent, giving off both light and heat (Perrine, 1969: 09).<br />
Permasalahan dalam puisi tentunya lebih kompleks. Yang pertama, ada<br />
seperangkat hubungan dan karakter unik pada setiap kata dalam bahasa yang<br />
digunakan. Hal in pada dasarnya berseberangan dengan apa yang disebutkan<br />
poetik atau puitis. Seperti yang dikatakan Roman Jacobson bahwa fungsi poetik<br />
dari sebuah puisi adalah pada pesan yang hendak disampaikannya. Hal ini dapat<br />
dilihat dalam Buchbinder yang menyatakan tentang karakteristik puisi adalah<br />
sebagai berikut:<br />
First, there are the sets of relation and distinctive features common to all<br />
utterances in the language; these are opposed in turn to an aspect that<br />
may be called poetic. As Roman Jacobson said that the poetic function is<br />
emphasize merely on for the message for its own sake (Buchbinder,<br />
1991: 41).
Karena keunikan karakternya tersebut maka dalam membaca dan<br />
memaknai puisi hal pertama yang harus dilakukan adalah melihat hubungan yang<br />
tepat dengan teks yang lain. Karakter-karakter khusus seperti rima, ritme,<br />
pengulangan kata, frase atau imej yang menjauhkan perhatian pembaca dari<br />
referensi yang berkaitan dengan konteks realitas.<br />
The reading of poetic texts then must first be seen in a correct relation to<br />
the reading of more ordinary texts. Features such as rhyme, rhythm,<br />
repetitions of words, phrases or images draw the reader’s attention away<br />
from any reference to the context of reality (Buchbinder, 1991: 42.)<br />
Karya sastra tidak hanya merupakan sebuah sistem norma karena sistem<br />
ini terdiri dari beberapa strata atau lapis norma. Roman Ingarden (dalam Pradopo,<br />
1987: 14) mengkategorikan lapis norma ini menjadi dua yaitu:<br />
a. Lapis bunyi (sound stratum)<br />
Jika puisi dibaca, maka yang terdengar adalah rangkaian bunyi yang dibatasi<br />
jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Suara-suara yang terbentuk<br />
mengandung satuan arti.<br />
b. Lapis arti (units of meaning)<br />
Berupa rangkaian fonem, suku kata, frase, dan kalimat. Semunya<br />
menghasilkan satuan arti.<br />
Namun, masih ditambahkan lapis lain yaitu lapis dunia dan lapis metafisis.<br />
Lapis dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan,<br />
tetapi terkandung di dalamnya (implied). Sedangkan lapis metafisis berupa sifat-<br />
sifat metafisis (yang sublim, tragis, mengerikan, atau menakutkan) sehingga
dengan sifat-sifat ini memungkinkan memberikan renungan (kontemplasi) pada<br />
pembaca. Namun hal ini tidak dapat diidentifikasi dalam puisi ini.<br />
Pengkajian pada puisi secara struktural menyangkut beberapa aspek<br />
diantaranya adalah tipografi, irama termasuk didalamnya metre dan rima, kata<br />
(diksi, denotasi dan konotasi, bahasa kias-majas, pencitraan). Keseluruhan aspek<br />
struktural ini pada dasarnya juga ingin mendukung tema yang diangkat oleh<br />
pengarang. Dalam sastra, tema adalah ide pokok atau ide yang mendominasi,<br />
pesan yang secara implisit ada dalam teks. Dalam NTC’s dictionary dikemukakan<br />
bahwa:<br />
a. Tipografi<br />
Theme is the central or dominating idea, the”message”, implicit in a<br />
work. The theme of a work is seldom stated directly. It is an abstract<br />
concept indirectly expressed through recurrent images, actions,<br />
characters, and symbols, and must be inferred by readers or spectators.<br />
Tipografi memberi nuansa keindahan pada puisi. Karena itulah tipografi<br />
menjadi elemen penting yang tidak dapat dinafikan dalam analisisnya. Tipografi<br />
merupakan pembeda yang penting antara puisi dan prosa atau drama. Larik-larik<br />
puisi tidak membangun periodisitet yang disebut paragraf, namun membentuk bait<br />
(Waluyo, 1987: 97). Tipografi ini meliputi:<br />
a. susunan bait<br />
b. susunan larik<br />
c. pemakaian huruf<br />
d. pemakaian tanda baca<br />
e. bentuk tulisan
. Irama-Ritme<br />
Hal yang masih berkaitan erat dengan bunyi adalah irama. Irama dalam<br />
bahasa pergantian naik turun, panjang pendek, keras lembut ucapan bunyi bahasa<br />
dengan teratur. Irama menjadi penting dalam puisi karena bahasa emosi<br />
(emotional language) biasanya ritmis. Ritme dapat diartikan sebagai aksen atau<br />
penekanan yang ada pada baris atau bait seperti dikatakan Cole (931: 28) “We<br />
may define rhythm as the more or less regular recurrence of accent of stress<br />
within the line or within a group of line.”<br />
Menurut Pradopo (1987: 40), irama dapat dibagi menjadi dua, yaitu:<br />
1. Metrum<br />
Metrum atau meter adalah irama yang tetap artinya pergantiannya sudah<br />
tetap menurut pola tertentu. Hal ini disebabkan oleh jumlah suku kata yang<br />
sudah tetap dan tekanannya tetap hingga alun suara yang naik dan turun juga<br />
tetap. Sedangkan dalam a Handbook to literature disebutkan bahwa metre<br />
adalah “the systemic examination of the patterns of rhythm in<br />
poetry”(Holman, 1981: 269).<br />
Meter adalah bagian dari ritme yang didalamnya dapat diaplikasikan<br />
bagaimana pembaca melakukan penghitungan foot.<br />
”meter is the kind of rhythm we can tap our foot to. In language that I<br />
metrical the accent are so arranged and to occur at apparently equal intervals<br />
of time and it is this interval mark off with the tap of our foot. Metrical<br />
language is called verse. The word meter comes from a word meaning<br />
”measure”. To measuresomething we must have a unit of measurement. For<br />
measuring verse we use the foot, the line, and sometimes the stanza (perrine,<br />
1969: 196)
2. Ritme<br />
Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian<br />
bunyi, tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan jumlah suku kata<br />
yang tetap, melainkan hanya menjadi gema dendang penyairnya. “the<br />
passsage of regular or approximately equivalent time intervals between<br />
definite events or the recurrence of specific sounds or kinds of sounds or the<br />
recurrence of stressed (accented) and unstressed (unaccented) syllable<br />
(Holman, 1981: 384)<br />
Perrine (1969: 195) mengatakan bahwa terminologi ritme berkaitan<br />
dengan naik turunnya bunyi atau motion yang diibaratkan seperti ombak. ” the<br />
term rhythm refers to any wavelike recurrence of motion or sound. In speech it<br />
is natural rise and fall of language. All language is to some degree rhytmical,<br />
for all language involves some kind of alternation between accented and<br />
unaccented syllables”<br />
Dalam puisi, Unaccented syllable atau suku kata yang tidak distress<br />
disimbolkan dengan ∪, dan untuk accented syllable atau yang di stress maka<br />
simbol yang digunakan adalah -.<br />
Beberapa jenis meter antara lain (Cole, 1931: 34):<br />
- Iamb iambic ∪ -<br />
- Trochee trochaic - ∪<br />
- Dactyl dactylic - ∪ ∪<br />
- Anapest anapestic ∪ ∪ -<br />
- Sponde spondaic - -
Selain pola-pola tersebut diatas masih ada beberapa pola yang dapat<br />
ditemui pada puisi yaitu:<br />
pyrrhic (∪ ∪), amphibrach (∪ - ∪),<br />
amphimacer (- ∪ -), choriamb ( - ∪ ∪ -),<br />
tribrach (∪ ∪ ∪).<br />
Untuk mengidentifikasi meter pada sebuah puisi, maka hatus<br />
diidentifikasi pula banyaknya feet pada setiap baris. Beberapa jenis foot pada<br />
puisi dapat dikategorikan antara lain (Cole, 1931: 35)<br />
- monometer : satu baris dengan satu foot<br />
- diameter : satu baris dengan dua feet<br />
- trimeter : satu baris dengan tiga feet<br />
- tetrameter : satu baris dengan empat feet<br />
- pentameter : satu baris dengan lima feet<br />
- hexameter : satu baris dengan enam feet<br />
- heptameter : satu baris dengan tujuh feet<br />
- octameter : satu baris dengan delapan feet<br />
- nonameter : satu baris dengan sembilan feet
c. Rima<br />
Bunyi dalam puisi menghasilkan rima dan ritme. Rima merupakan<br />
pengulangan bunyi yang ada dalam puisi untuk menghasilkan efek yang lebih<br />
merdu. Pengulangan bunyi membentuk musikalitas atau orkestra. Rima tidak<br />
khusus berarti persamaan bunyi atau dalam istilah tradisional disebut sajak. Secara<br />
luas rima menyangkut perpaduan bunyi konsonan dan vokal untuk membangun<br />
orkestrasi atau musikalitas (Waluyo, 1987: 90).<br />
Penciptaan rima dalam sebuah puisi bisanya juga memiliki tujuan khusus<br />
yaitu menciptakan makna. Rima ada beberapa macam, antara lain:<br />
1. Onomatopea<br />
Onomatopea adalah tiruan terhadap bunyi-bunyi yang ada. Dalam puisi,<br />
bunyi-bunyi yang digunakan penyair bertujuan untuk memberikan gema atau<br />
warna suasana tertentu seperti yang diharapkan penyair.” onomatopeia, strictly<br />
defined, means the use of words which, at least supposedly, sound like what they<br />
mean, such as hiss, snap, and bang (Perrine, 1969: 217).<br />
2. Bentuk internal pola bunyi<br />
Merupakan pola yang tercipta dari bunyi-bunyi diakhir baris. Menurut<br />
Boulton dalam Waluyo, 1987: 92, yang dimaksud dengan bentuk internal<br />
adalah aliterasi, asonansi, persamaan akhir, persamaan awal, repetisi bunyi,<br />
dsb.
” a way for a poet to fit sound to sense is to control both sound and meter<br />
in such a way to put emphasis on words that are important in meaning. He<br />
can do this by marking out such words by alliteration, assonance,<br />
consonance, rime, by placing them before a pause; or by skillfully placing<br />
or displacing them in metrical pattern(Perrine, 1969: 221)<br />
3. Pengulangan kata-ungkapan<br />
Merupakan pengulangan yang mungkin tercipta pada baris-baris dalam puisi.<br />
Pengulangan tidak hanya terbatas pada bunyi, namun bisa berupa kata-kata<br />
atau ungkapan.<br />
d. Diksi<br />
Diksi merupakan salah satu aspek penting yang dianalisis dalam puisi.<br />
Diksi adalah pilihan kata penyair. Penyair hendak mencurahkan perasaan dan isi<br />
pikirannya seperti apa yang ada di batinnya. Selain itu tentunya penyair juga ingin<br />
mengekspresikan perasaannya dan pengalaman jiwanya sehingga harus dipilih<br />
kata-kata yang tepat.<br />
Barfield (dalam Pradopo, 1987: 54) mengemukakan bahwa bila kata-kata<br />
dipilih dan disusun dengan cara yang sedemikian rupa hingga artinya<br />
menimbulkan atau dimaksudkan menimbulkan imajinasi estetik, maka hasilnya<br />
itu disebut ‘diksi puitis’.<br />
Pada akhirnya penyair harus lebih cermat dalam memilih kata untuk<br />
mengungkapkan atau mengekspresikan pengalaman jiwanya secara padat dengan<br />
mempertimbangkan perbedaan arti yang sekecil-kecilnya dengan cermat.
e. Pencitraan<br />
Dalam puisi, untuk memberikan gambaran yang jelas, menimbulkan<br />
suasana yang khusus, atau membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan<br />
penginderaan maka penyair menggunakan gambaran-gambaran angan-pikiran.<br />
Gambaran-gambaran angan inilah yang kemudian disebut sebagai citraan<br />
(imagery). Setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji.<br />
” Imagery may be defined as the representation through language of<br />
sense experience. Poetry appeals directly to our senses, of course, through<br />
its music and rhythm, which we actually hear when it is read aloud. But<br />
indirectly it appeals to our senses through imagery, the representation to<br />
imagination of sense experience (Perrine, 1969: 54).<br />
Gambaran pikiran adalah sebuah efek dalam pikiran yang sangat<br />
menyerupai gambaran yang dihasilkan oleh penangkapan kita terhadap sebuah<br />
objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf pendengar, atau daerah-daerah otak yang<br />
berhubungan. Ini berarti bahwa orang harus mengingat pengalaman inderaan atas<br />
objek-objek yang disebutkan atau diterangkan (Pradopo, 1987: 80)<br />
Holman mendefinisikan citraan sebagai berikut:<br />
Imagery may center itself on the physical world which is represented<br />
through the language of the work; upon the rhetorical patterns and<br />
devices, upon the psychological state which produced the work and gave it<br />
its special reinforces the ostensible meaning of the statement (Holman,<br />
224).<br />
Menurut Perrine (1969: 54), kata image berasosiasi dengan penggambaran<br />
secara non fisik/mental, sesuatu dalam bayangan matam dan visual imagery<br />
adalah yang paling sering muncul dalam puisi. Namun, image juga<br />
merepresentaikan suara, bau, rasa, pengalaman nyata, seperti keras, basah, dingin,
atau sensasi internal tubuh manusia seperti lapar, haus, mual, gerakan, atau<br />
gemetar dalam otot atau sendi.<br />
” the word image perhaps most often suggests a mental picture,<br />
something seen in the mind’s eye-and visual imagery is the most frequently<br />
occurring kind of imagery in poetry. But an image may also represent a<br />
sound, a smell; a taste; a tactile experience, such as hardness, wetness, or<br />
cold; an internal sensation, such as hunger, thirst, or nausea; or<br />
movement or tension in the muscles or joints.<br />
Pradopo (1987: 86) mengatakan ada beberapa macam citraan, yaitu citraan<br />
penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery), citraan<br />
perabaan (thermal imagery), citraan gerak (kinasthetic imagery).<br />
Citraan penglihatan adalah jenis yang paling banyak digunakan penyair.<br />
Citraan penglihatan memberi rangsangan kepada indera penglihatan, hingga<br />
seringkali hal-hal yang tidak terlihat seolah-olah jadi terlihat. Selain itu citraan<br />
pendengaran juga sering digunakan, dalam citraan ini seringkali dihasilkan<br />
dengan menyebutkan atau menguraikan bunyi suara.<br />
Citraan perabaan jarang digunakan. Sedangkan citraan gerak<br />
menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tapi dilukiskan<br />
sebagai dapat bergerak, ataupun gambaran gerak pada umumnya. Citraan gerak<br />
membuat hidup dan gambaran jadi dinamis (Pradopo, 1987: 86-87).<br />
Diksi yang dipilih dalam puisi harus menghasilkan pengimajian dan<br />
karena itu, kata-kata menjadi lebih konkret seperti jika dihayati melalui<br />
penglihatan, pendengaran, atau cita rasa. Pengimajian adalah kata atau susunan<br />
kata-kata yang dapat mengungkapkan pengalaman sensoris, seperti penglihatan,<br />
pendengaran, dan perasaan (Waluyo, 1987: 78). Dengan demikian, imaji yang<br />
ditimbulkan ada tiga macam, yakni imaji visual, imaji auditif, dan imaji cita rasa.
f. Majas/gaya bahasa<br />
Majas adalah unsur kepuitisan yang ada dalam puisi. Majas atau bahasa<br />
kias membuat puisi lebih indah.Majas merupakan cara mengungkapkan atau<br />
mengatakan sesuatu dengan jalan yang tidak biasa. Majas biasanya tidak dapat<br />
dimaknai secara literal. ” a figure of speech is any way of saying something other<br />
than the ordinary way, meanwhile figurative language defined as language using<br />
figures of speech is language that cannot be taken literally (Perrine, 1969: 65).<br />
Berapa jenis bahasa kias antara lain:<br />
1. Perbandingan-simile<br />
Perbandingan atau simile adalah bahasa kias yang menyamakan satu hal<br />
dengan yang lain. Biasanya majas ini menggunakan kata pembanding, seperti,<br />
ibarat, laksana, bak, bagaikan, dan sebagainya. Holman menyatakan “simile is<br />
a figure of speech in which a similarity between two objects is directly<br />
expressed, usually it uses the word as or like” (Holman, 1981: 418).<br />
Simile adalah perbandingan yang dilanjutkan, atau diperpanjang yaitu<br />
dibentuk dengan cara melanjutkan sifat-sifat pembandingnya lebih lanjut<br />
dalam kalimat-kalimat atau frase –frase yang berturut-turut. Morner<br />
menyatakan bahwa “simile is a figure of speech that use like, as, or as if to<br />
compare esentially different objects, actions, or attributes that share some<br />
aspects of similarity.” (Morner, 1998: 202).
Misalnya pada penggalan puisi dibawah digunakan kata like sebagai pembanding:<br />
2. Metafora<br />
Here and there<br />
His brown skin hung in strips<br />
Like ancient wallpaper…..<br />
-Elizabeth Bishop<br />
Metafora adalah bahasa kias seperti perbandingan, hanya dalam majas<br />
ini tidak menggunakan kata-kata pembanding. Metafora menyatakan sesuatu<br />
sebagai hal yang sama atau hampir sama namun sesungguhnya tidak sama.<br />
Pada majas ini perbandingan yang ada merupakan sesuatu yang tersirat<br />
sehingga secara terminologi majas ini menggantikan (subtituted for) atau<br />
mengidentifikasikan (identified with) literal term. Dalam A Handbook to<br />
Literature hal 264 disebutkan bahwa:<br />
“Metaphor is an implied analogy which imaginatively identifies one<br />
object with another and ascribes to the first object ne or more of the<br />
qualities of the second or invests the first with emotional or imaginative<br />
qualities associated with the second I.A. Richards’s distinction between<br />
the tenor and vehicle of a metaphor has been accepted, the tenor is the<br />
idea being expressed or the subject of the comparison meanwhile vehicle<br />
is the image by which this idea is conveyed or the subject<br />
communicated”<br />
Misalnya dalam Song of My self, grass atau rumput digambarkan sebagai<br />
The beautiful uncut hair of graves<br />
- Walt Whitman
3. Personifikasi<br />
Personifikasi merupakan majas yang memberikan atribut manusia<br />
kepada binatang, objek/benda, atau ide (Perrine, 1969: 67). Personifikasi<br />
adalah jenis gaya bahasa yang mempersamakan benda dengan manusia,<br />
benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir layaknya seperti manusia.<br />
Keadaan atau peristiwa alam sering dikiaskan sebagai keadaan atau peristiwa<br />
yang dialami oleh manusia. Dalam hal ini benda-benda mati dianggap sebagai<br />
manusia atau persona atau dipersonifikaiskan. Hal ini bertujuan untuk<br />
memperjelas gambaran tentang peristiwa atau keadaan tersebut (Waluyo,<br />
1987: 85).<br />
Holman (1981: 328) mendefinisikan personifikasi sebagai berikut:<br />
Personification is a figure of speech which endows animals, ideas,<br />
abstractions, and inanimate objects with human form, character, or<br />
sensibilities; the representing of imaginary creatures or things a having<br />
human personalities, intelligence, and emotions; as impersonation in<br />
drama of one character or person, whether real or fictitious, by another<br />
person.<br />
Misalnya: dalam Sunday Rain, beberapa baitnya memberikan gambaran bahwa<br />
benda dapat bertindak seolah – olah manusia.<br />
The window screen<br />
Is trying to do<br />
Its crossword puzzle<br />
But appears to know<br />
Only vertical words<br />
- John Updike
4. Metonimi<br />
Metonimi biasanya disebut juga kiasan pengganti nama. Perrine(1969:<br />
69) mengatakan bahwa metonimi merupakan penggunaan sesuatu yang<br />
berkaitan erat dengan dengan benda atau objek yang sebenarnya dimaksudkan.<br />
Bahasa ini berupa penggunaan atribut sebuah objek atau penggunaan sesuatu<br />
yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut<br />
(Pradopo, 1987: 77). Holman menjelaskan bahwa ‘metonymy is a figure of<br />
speech which is characterized by the substitution of a term naming an object<br />
closely associated with the word in mind for the word itself’ (Holman, 1981:<br />
268).<br />
Misalnya: Crown seringkali menyimbolkan monarki, atau the White House<br />
untuk menyimbolkan Presiden Amerika Serikat dan staffnya.
5. Sinekdok<br />
Sinekdoki adalah bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang<br />
penting suatu benda (hal) untuk benda atau hal untuk benda atau hal itu sendiri<br />
(Waluyo, 1987: 85) menyebutkan ada dua macam sinekdoki, yaitu:<br />
a. pars pro toto: sebagian untuk keseluruhan<br />
b. totum pro parte: keseluruhan untuk sebagian<br />
Dalam a Handbook to Literature (Holman, 1981: 438) sinekdoki<br />
didefinisikan sebagai berikut:<br />
6. Allegori<br />
Synecdoche is a form of metaphor which in mentioning a part signifies the<br />
whole or the whole signifies the part. In order to be clear, a good<br />
synecdoche must be based on an important part of the whole and not a<br />
minor part and usually, the part selected to stand for the whole must be<br />
the part most directly associated with the subject under discussion.<br />
Puisi seringkali mengungkap cerita yang isinya dimaksudkan untuk<br />
memberikan nasihat. Pengarang menggunakan alegori untuk mengungkapkan<br />
maksudnya. Alegori adalah cerita kiasan ataupun lukisan kiasan. Cerita kiasan<br />
ini akan mengiaskan atau melukiskan kejadian lain (Pradopo, 1987: 71).<br />
Allegori merupakan narasi atau deskripsi yang memiliki makna lain<br />
selain makna yang tampak. Meskipun sepertinya cerita dipermukaan atau<br />
deskripsinya memiliki tujuan tertentu namun tujuan utama pengarang adalah<br />
pada makna yang tersebunyi. ” allegory is a narrative or description that has<br />
a second meaning beneath the surface one. Although the surface story or
description may have its own interest, the author’s major interest is in the<br />
ulterior meaning (Perrine, 1969: 91).<br />
Misalnya pada The Pilgrim’s Progress karya John Bunyan disebutkan alegori<br />
mengenai perjalanan seorang kristiani dari the City of Destruction (his<br />
conversion) to the Celestial City (his death and salvation). He carries a heavy<br />
bundle (his sins) on his back, he struggles with giants (doubts), and he is guided<br />
by a chart (his Bible).<br />
8. Ironi<br />
Ironi merupakan kata-kata sindiran yang dapat memiliki arti berlawanan.<br />
Ironi dapat berubah menjadi sarkasme atau sinisme yaitu penggunaan kata-kata<br />
yang pedas untuk menyindir. Jika ironi harus mengatakan kebalikan dari apa yang<br />
hendak dikatakan, maka sinisme dan sarkasme tidak ( Waluyo, 1987: 86).<br />
” Verbal Irony, saying the opposite of what one means, is often fused with<br />
sarcasm and with satire, and for that reason may be well to look at the<br />
meanings of all the three terms. Sarcasm and satire both imply ridicule, one<br />
on the colloquial level, the other on the literally level. Sarcasm is simply<br />
bitter or cutting speech, intended to wound the feelings. Satire is a more<br />
formal term, usually applied to written literature rather than to speech and<br />
ordinarily implying a higher motive. Irony, on the other hand, is a literary<br />
device or figure that may be used in the service of sarcasm or ridicule or<br />
may not (Perrine, 1969: 113).<br />
Misalnya: dalam Julius Caesar dinyatakan oleh Antony beberapa kali ketika ia<br />
mengatakan” Brutus is an honourable man” karena pada dasarnya ia menyindir.<br />
Ia memang menggunakan kata – kata yang sebenernya memiliki arti yang<br />
berlawanan dengan apa yang dimaksudkannya.
2.3. Semiotik<br />
Untuk mendapatkan pemahaman atau pemaknaan yang komprehensif<br />
tentang sebuah puisi, tidaklah cukup jika analisis berdasarkan lapis-lapis<br />
normanya saja. Lapis norma yang dimaksud adalah analisis struktur intrinsik<br />
puisi. Unsur-unsur tersebut juga dianalisis dengan mengaitkan berdasarkan<br />
konteksnya, tidak sebagai hal yang sama sekali terpisah dan berdiri sendiri.<br />
Dengan dianalisis secara menyeluruh dan dalam kaitannya yang erat, maka makna<br />
sajak dapat ditangkap dan dipahami secara utuh. Sebab unsur tidak mempunyai<br />
makna yang terlepas sama sekali dengan lainnya. Karena itulah untuk<br />
mendapatkan makna sajak sepenuhnya, selain analisis struktural maka perlu<br />
digunakan pula analisis semiotik. Kedua analisis ini dapat pula dikombinasikan<br />
dengan intertekstualitasnya terhadap teks lain. Dan latar belakang sosial budaya<br />
tidak dapat ditinggalkan untuk memberi makna terhadap puisi yang dianalisis<br />
(Pradopo, 1987: 117-118).<br />
Semiotik digunakan untuk menganalisis text meskipun pada dasarnya<br />
analisis ini merupakan analisis tekstual. Yang perlu digaris bawahi dalam hal ini<br />
adalah bahwasanya teks dapat muncul dalam medium yang beraneka ragam<br />
seperti verbal, non-verbal, atau bahkan keduanya. Terminologi text biasanya<br />
mengacu pada pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang, sehingga pada<br />
akhirnya hal ini tergantung pada sender dan receivernya. Text dimaknai sebagai<br />
rangkaian tanda(seperti kata, image, suara/gesture) yang diinterpretasi dengan
konvensi-konvensi tertentu yang berasosiasi dengan genre dan dalam medium<br />
komunikasi tertentu.<br />
Semiotics is often employed in the analysis of texts (although it is far more<br />
than just a mode of textual analysis). Here it should perhaps be noted that a<br />
'text' can exist in any medium and may be verbal, non-verbal, or both,<br />
despite the logocentric bias of this distinction. The term text usually refers to<br />
a message which has been recorded in some way (e.g. writing, audio- and<br />
video-recording) so that it is physically independent of its sender or<br />
receiver. A text is an assemblage of signs (such as words, images, sounds<br />
and/or gestures) constructed (and interpreted) with reference to the<br />
conventions associated with a genre and in a particular medium of<br />
communication.(Chandler, 2007: 3-5)<br />
Karya sastra merupakan struktur yang bermakna, dan karya sastra<br />
merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium<br />
bahasa. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik<br />
atau ketandaan yang mempunyai arti. Bahasa juga mempunyai peranan penting<br />
dalam mengkomunikasikan pengetahuan. Dengan memperhatikan hubungan<br />
antara penanda (signifier) dan tertanda (signifiee), dapat disimpulkan bahwa<br />
penanda (signifier) mewakili simplifikasi skematis atas situasi permasalahan yang<br />
kompleks. Fungsi tanda merupakan hasil interaksi antara berbagai norma: kode<br />
memberikan kondisi untuk hubungan timbal balik fungsi-fungsi secara kompleks<br />
( Fokkema, 1998: 210). Barthes (1968: 48) menjelaskan hubungan tersebut<br />
sebagai berikut:<br />
The nature of the signifier suggests roughly the same remarks as that of<br />
the signified: it is purely a relatum. Whose definition cannot separate from<br />
that of the signified. The only difference is that the signifier I a mediator:<br />
some matter is necessary to it. Meanwhile, the signification can be<br />
conceived as a process; it is the act binds the signifier and signified, an<br />
act whose product is the sign.
Proses pemaknaan antara penanda dan petanda dimulai ketika signifier<br />
atau bentuk fisik dari tanda tersebut dan signified atau konsep dasar tentang suatu<br />
benda masuk kedalam pikiran dan selanjutnya proses signification atau<br />
pemaknaan berlangsung untuk menghasilkan reality atau makna. Hal ini dapat<br />
dilihat pada skema berikut (Wardoyo, 2002):<br />
SIGN<br />
COMPOSED OF<br />
Signification<br />
SIGNIFIER + SIGNIFIED EXTERNAL<br />
REALITY<br />
(Physical reality of the sign) (mental concept) (meaning)<br />
Gambar 1. Hubungan antara penanda dan petanda<br />
Pradopo (2003: 121) menyatakan bahwa pertaa kali yang penting dalam<br />
lapangan sistem tanda adalah pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda<br />
ada dua prinsip, yaitu penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan<br />
bentuk tanda, dan petanda(signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti<br />
tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda<br />
pokok yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda hubungan antara penanda<br />
dan petandanya bersifat persamaan bentuk alamiah. Misalnya potret orang<br />
menandai orang yang dipotret. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya
hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan<br />
sebab akibat. Misalnya asap akan menandai api. Sedangkan simbol adalah tanda<br />
yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.<br />
Hubungan antaranya bersifat arbitrer atau semau-maunya., hubungannya<br />
berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat.<br />
Untuk menganalisis puisi faktor utama semiotik pada dasarnya adalah<br />
menganalisis unsur-unsur komunikasi. Secara khusus hal ini disebut sebagai<br />
dramatic situation yang terdiri dari enam unsur. Menurut Jacobson (dalam<br />
Wardoyo, 2005: 1-3) keenam unsur tersebut adalah:<br />
a. Sender<br />
Sender adalah pengirim pesan. Dalam puisi dapat dirasakan adanya<br />
perbedaan antara penyair dan penutur puisi. Kata-kata dalam puisi dituturkan<br />
oleh sosok ”persona”, yang berarti seperti tersirat dalam kata-kata tersebut<br />
bahwa penyair menyembunyikan diri. Ia memakai topeng untuk<br />
mengekspresikan apa yang ada dalam pemikiran atau perasaannya. Pada<br />
dasarnya ada suatu pola komunikasi yang terjadi ketka pembaca merasakan<br />
perbedaan antara penyair dan penutur.<br />
b. Receiver<br />
Receiver adalah penerima pesan atau penerima puisi. Kata-kata yang<br />
ada dalam puisi sepertinya tidak ditujukan langsung pada kita (sebagai
pembaca), tetapi untuk orang lain. Pembaca sepertinya tidak sengaja<br />
mendengar sang persona bicara pada seseorang dalam puisi tersebut.<br />
c. Contact<br />
Contact biasanya didefinisikan sebagai physical channel komunikasi dan<br />
pshychological connection antara sender dan receiver. Namun dalam puisi hal<br />
ini menjadi konsep yang rumit karena kata-kata lisan puisi tersaji dalam<br />
bentuk tulisan. Sehingga physical channel seperti posisi tubuh, gerak-gerik<br />
dan bahasa tubuh lainnya diterjemahkan dalam komunikasi saluran verba puisi<br />
(Wardoyo, 2002: 2).<br />
d. Message<br />
Message atau pesan adalah apa yang hendak disampaikan penyair dalam<br />
puisi. “message” bisa berupa ironi, ambiguitas, atau paradoks. Message ini<br />
secara halus disampaikan oleh pengarang secara tersirat melalui karyanya.<br />
e. Context<br />
Context mencakup tiga oposisi biner yang berkaitan yaitu absent versus<br />
present, semiotics versus phenomenal, dan abstract versus concrete. Dalam<br />
puisi sangatlah sulit mengidentifikasi context karena makna yang tercipta
erbenturan dengan fakta sehingga untuk memaknainya harus memasuki<br />
ruang fiksionalitas.<br />
f. Code<br />
Code biasanya didefinisikan sebagai a shared meaning system by which<br />
the message is structured. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada<br />
dasarnya code mencakup kelima unsur yang lain.<br />
Keenam unsur di atas akan saling terkait antara satu dengan yang lainnya, seperti<br />
tampak dalam bagan berikut:<br />
Context<br />
Message<br />
Sender receiver<br />
Contact<br />
Code<br />
Gambar 2. Hubungan antara sender, receiver, context, message, contact dan code<br />
Bagan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Ketika sender<br />
mengirimkan message kepada receiver, maka context menjadi faktor penting<br />
dalam pemaknaan untuk memaknai message atau pesan yang akan disampaikan
dalam suatu karya. Dalam puisi dapat dirasakan perbedaan antara penutur dan<br />
penyair. Maka sender belum tentu penyair.<br />
Untuk mengidentifikasi keenam unsur diatas secara jelas, maka hal ini<br />
terangkum dalam dramatic situation sebuah puisi. Dramatic situation merupakan<br />
istilah pengganti communicative process karena puisi jelas melahirkan konteks<br />
fiksional yang bisa diartikan sebagai ungkapan dramatis. Chatman dalam<br />
Wardoyo (2005: 03) membedakan dengan jelas berbagai situasi dramatis yang<br />
mungkin ditimbulkan sebuah puisi. Chatman menyusun daftar berbagai situasi<br />
dramatik berdsarkan seberapa eksplisit karakterisasi penutur dan lawan tuturnya.<br />
Ia membuat pola dramatic situation sebagai berikut:<br />
a. sebuah sequens urutan dimana para tokoh drama melakukan<br />
penampilan<br />
b. sebuah kerangka yang terdiri dari seorang persona dengan<br />
addressee(lawan tutur) khusus. Tetapi persona tidak bisa diidentifikasi<br />
sebagai penyair, dan addressee tidak bisa diidentifikasi sebagai<br />
pembacanya.<br />
c. Sebuah struktur dimana si persona tidak menyapa addressee(lawan<br />
tutur) tertentu secara khusus.<br />
d. Sebuah konstruksi dimana persona bisa diidentifikasi sebagai si<br />
penyair, namun addresseenya(lawan tuturnya) sama sekali bukan<br />
pembaca.
e. Suatu susunan dimana si persona bisa diidentifikasi sebagai si penyair<br />
dan lawan tuturnya adalah pembacanya.<br />
f. Suatu bagan yang berisi persona dan lawan tutur yang non spesifik.<br />
Dalam proses pemaknaan puisi, intertekstualitas merupakan salah satu<br />
faktor penting untuk dianalisis. Karena ketika suatu karya diciptakan, maka dapat<br />
dilihat hubungan antara suatu karya dengan karya sebelumnya. Karya sastra tidak<br />
lahir begitu saja, melainkan sebelumnya sudah ada karya sastra lain yang tercipta,<br />
berdasarkan konvensi dan tradisi sastra masyarakat yang bersangkutan (Pradopo,<br />
1987: 223).<br />
Dalam menganalisis puisi berdasarkan struktralisme-semiotik, Rifaterre<br />
dalam Pradopo (2003: 210) menyebutkan empat langkah pokok untuk memaknai<br />
puisi (semiotics of poetry).<br />
Keempat langkah tersebut adalah:<br />
1. Memaknai ketaklangsungan ekspresi<br />
Puisi merupakan ekspresi tidak langsung. Pradopo (1987: 282-284)<br />
menyebutkan ketaklangsungan ekspresi tersebut disebabkan oleh tiga hal,<br />
yaitu:<br />
(a) Penggantian arti (displacing of meaning)<br />
Penggantian arti disebabkan oleh penggunaan metafora dan<br />
metonimi. Metafora secara umum adalah bahasa kiasan atau lebih dikenal
dengan majas, termasuk didalamnya juga majas-majas yang lain seperti<br />
simile, personifikasi, sinekdoki, metafora, dan metonimi.<br />
Secara khusus metafora adalah kiasan yang menyatakan sesuatu<br />
sebagai hal yang sama meskipun sesungguhnya berbeda. Metafora<br />
mempunyai dua bagian, bagian pertama disebut term pokok (principle<br />
term) atau tenor, sedangkan bagian kedua disebut secondary term atau<br />
vehicle. Tenor digunakan untuk merepresentasikan elemen yang literal,<br />
sedangkan vehicle mengungkapkan sebuah kiasan. Vehicle dan tenor<br />
biasanya tidak terkait, sehingga pembaca harus membuat suatu lompatan<br />
imajinatif untuk memaknainya.(Wardoyo, 2005)<br />
Konotasi dan denotasi seringkali dideskripsikan dalam level<br />
terminologi dan level makna. Roland Barthes mengadopsi istilah order of<br />
signification dalam pemaknaan ini. Pemaknaan ini terbagi menjadi dua<br />
yaitu first order of signification dan second order of signification. Pada<br />
first order of signification pemaknaan yang muncul adalah secara denotatif<br />
yang berarti bahwa pada level ini ada tanda yang terdiri dari penanda dan<br />
petanda(a signifier and a signified). Sedangkan pada second order of<br />
signification terjadi pemaknaan secara konotatif. Pada level ini tanda<br />
denotatif digunakan untuk memaknai petanda yang lain.<br />
Connotation and denotation are often described in terms of levels of<br />
representation or levels of meaning. Roland Barthes adopted from Louis<br />
Hjelmslev the notion that there are different orders of signification<br />
(Barthes 1957; Hjelmslev 1961, 114ff). The first order of signification is<br />
that of denotation: at this level there is a sign consisting of a signifier and<br />
a signified. Connotation is a second-order of signification which uses the
denotative sign (signifier and signified) as its signifier and attaches to it<br />
an additional signified. In this framework connotation is a sign which<br />
derives from the signifier of a denotative sign (so denotation leads to a<br />
chain of connotations). This tends to suggest that denotation is an<br />
underlying and primary meaning - a notion which many other<br />
commentators have challenged. (Chandler, 2007: 139-140)<br />
Fiske (dalam Wardoyo, 2002: 15) mengartikan metafora sebagai<br />
suatu dimensi paradigmatik (vertikal, selektif-asosiatif) dan metonimi<br />
sebagai suatu dimensi sintagmatik (horisontal, kombinasi).<br />
Analisis sintagmatik sebuah teks menyangkut struktur dan hubungan<br />
antara bagian-bagian didalamnya. Hubungan sintagmatik ini melahirkan<br />
aturan baru atau kombinasi baru termasuk produksi dan interpretasi<br />
teks(seperti tata bahasa/grammar). Penggunaan analisis struktur<br />
sintagmatik pada teks tentunya juga akan berpengaruh terhadap makna<br />
The syntagmatic analysis of a text (whether it is verbal or nonverbal)<br />
involves studying its structure and the relationships between its<br />
parts. Structuralist semioticians seek to identify elementary constituent<br />
segments within the text - its syntagms. The study of syntagmatic relations<br />
reveals the conventions or 'rules of combination' underlying the<br />
production and interpretation of texts (such as the grammar of a<br />
language). The use of one syntagmatic structure rather than another<br />
within a text influences meaning. (Chandler, 2007: 111)<br />
.<br />
(b) Penyimpangan arti (distorting of meaning)<br />
Penyimpangan arti terjadi bila dalam sajak ada ambiguitas,<br />
kontradiksi, ataupun nonsense. Ambiguitas adalah makna ganda atau<br />
menimbulkan banyak tafsir atau ambigu(multiple meaning). Kontradiksi<br />
merupakan ironi-ironi pengarang sebagai salah satu cara menyampakan<br />
sesuatu yang berlawanan.
(c) Penciptaan arti (creating of meaning).<br />
Penciptaan arti terjadi bila ruang teks berlaku sebagai prinsip<br />
pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar dari hal-hal<br />
ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada artinya.<br />
Ketiga unsur tersebut merupakan proses yang terjadi dalam pemaknaan<br />
puisi.<br />
2. Pembacaan heuristik dan retroaktif atau hermeneutik<br />
Pembacaan retroaktif adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir dengan<br />
penafsiran atau pembacaan hermeneutik. Pembacaan ini adalah pemberian<br />
makna berdasarkan berdasarkan konvensi puisi (Pradopo, 1987: 297).<br />
3. Matrix atau kata kunci (keyword)<br />
Untuk memaknai puisi supaya lebih mudah dipahami, dalam konkretisasi puisi<br />
haruslah dicari matrix atau kata kuncinya karena kata kunci adalah kunci<br />
penafsiran sajak yang dikonkretisasi.<br />
4. Hypogram<br />
Hipogram berkenaan dengan prinsip intertekstualitasnya. Prinsip<br />
intertekstualitas adalah prinsip hubungan antar teks. Menurut rifaterre dalam<br />
Pradopo (1991: 09) teks yang tercipta adalah response terhadap teks sebelumnya.
Tanpa menempatkan teks pada urutan kesejarahan, maka sifat fundamental teks<br />
tersebut tidak terungkap.<br />
Intertekstualitas secara luas diartikan sebagai jaringan hubungan antara<br />
satu teks dengan teks yang lain. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu<br />
melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan<br />
cara menemukan hubungan-hubungan bermakna diantara dua teks atau lebih.<br />
Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan<br />
genre, interteks memberikan kemungkinan seluas-luasnya bagi peneliti unutk<br />
menemukan hipogram. Dengan kata lain interteks dapat dilakukan antara novel<br />
dengan novel, puisi dengan novel, puisi dengan mitos, puisi dengan puisi atau<br />
puisi dengan drama. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai<br />
persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi<br />
maupun negasi ( Ratna, 2006: 172-173).<br />
The attempt to uncover the structure is vain, because each text possess<br />
a’difference’. This difference is not a sort of uniqueness, but the result of<br />
textuality itself. Each text refers back differently to infinite sea of the<br />
‘already written’. Some writing tries to discourage the reader from freely<br />
reconnecting text and this ‘already written’ by insisting on specific<br />
meaning and reference (Selden, 1985: 76).<br />
Pluralisme makna dalam interteks bukan merupakan akibat ambiguitas,<br />
melainkan sebagai hakikat yang terbentuk. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak<br />
ada teks tanpa interteks. Interteks memungkinkan terciptanya teks plural, sehingga<br />
hal ini bisa jadi merupakan indikator adanya pluralisme budaya ( Ratna, 2006:<br />
173).<br />
Menurut Kristeva dalam Junus (1985: 87) intertekstualitas adalah hakikat<br />
suatu teks yang ada dalam teks lain. Dengan kata lain, intertekstualitas adalah
kehadiran suatu teks pada suatu teks lain. Intertekstualitas ini berkaitan erat<br />
dengan teori-teori poststrukturalis. Kristeva menyatakan bahwa text terbagi dalam<br />
dua axis yaitu horisontal axis(kaitan antara pengarang dengan pembaca) dan<br />
vertical axis(kaitan antara teks dengan teks lain). Muara dari dua axis ini adalah<br />
kode: setiap teks dan setiap pembacaan tergantung pada kode sebelumnya.<br />
The semiotic notion of intertextuality introduced by Julia Kristeva is<br />
associated primarily with poststructuralist theorists. Kristeva referred to<br />
texts in terms of two axes: a horizontal axis connecting the author and<br />
reader of a text, and a vertical axis, which connects the text to other texts<br />
(Kristeva 1980, 69). Uniting these two axes are shared codes: every text<br />
and every reading depends on prior codes. Kristeva declared that 'every<br />
text is from the outset under the jurisdiction of other discourses which<br />
impose a universe on it' . (Chandler, 2007: 197)<br />
Prinsip-prinsip intertekstualitas ini dapat dijabarkan sebagai berikut (1985: 87-<br />
88), :<br />
a. Kehadiran secara fisikal suatu teks dalam suatu teks lainnya.<br />
b. Pengertian teks bukan hanya terbatas kepada cerita, tapi juga mungkin berupa<br />
teks bahasa. Tapi kehadiran teks lain dalam suatu teks itu mungkin saja tidak<br />
bersifat fisikal belaka, dengan menampilkan ( secara eksplisit ) ( judul ) cerita<br />
itu sendiri. Namun mungkin dapat dikesan adanya hal – hal sebagai berikut :<br />
c. Adanya petunjuk yang menunjukan hubungan – persambungan dan pemisahan<br />
– antara suatu teks dengan teks yang telah terbit lebih dulu. Dengan begitu,<br />
bukan tidak mungkin penulisnya ( telah ) membaca suatu teks yang terbit lebih<br />
dulu dan kemudian “ memasukkan”nya ke dalam teks yang ditulisnya.
d. Dalam membaca suatu teks, kita tidak hanya membaca teks itu saja tapi kita<br />
membacanya “berdampingan” dengan teks (-teks) lainnya, sehingga<br />
interpretasi kita terhadapnya tak dapat dilepaskan dari teks – teks lain itu.<br />
Dalam kesemua hubungan itu, kehadiran suatu teks lain bukanlah suatu<br />
yang polos (= innocent), yang tidak melibatkan uatu proses pemahaman dan<br />
pemaknaan, suatu signifying process seperti yang juga dikatakan Kristeva dalam<br />
Worton(1990: 46)<br />
The identification of an intertext is an act of interpretation. The intertext is<br />
not a real and causative but a theoretical construct formed by and serving<br />
purposes of reading. What is relevant to textual interpretation is not, in<br />
itself, the identification of a particular intertextual source but more<br />
general discursive structure(genre, discursive formation, ideology )to<br />
which it belongs.<br />
Karena itu, di sini selalu ikut unsur pemaknaan dan bagaimana seseorang<br />
menerima teks itu. Proses intertekstualitas akan lebih kentara berfungsi dalam kita<br />
membaca suatu teks. Kita tak pernah membaca suatu teks sebagia suatu yang<br />
bebas. Kita membacanya berdampingan dengan teks-teks lain, intertextuell<br />
menurut Pavis , sehingga teks-teks itu, bersama-sama dengan idiotext, akan<br />
menentukan penerimaan kita terhadap suatu teks (Junus, 1985:89).<br />
Jika intertekstualitas biasanya digunakan untuk menunjukkan hubungan<br />
teks dengan teks lain, maka jika hubungan ini mengarah pada hubungan internal<br />
dalam teks disebut dalam terminologi intratekstualitas. Roland Barthes<br />
memperkenalkan konsep Anchorage dan Relay dalam kaitannya dengan hal ini.<br />
Elemen linguistik dapat menggiring untuk ”anchor” atau membatasi pembacaan
pada image. Konsep anchorage ini berkaitan erat dengan iklan, namun hal ini juga<br />
diaplikaiskan terhadap genre tertentu seperti fotografi, peta, berita televisi, kartun<br />
dan komik. Barthes menyatakan bahwa fungsi utama dari anchorage ini<br />
cenderung pada tataran ideologis.<br />
Roland Barthes introduced the concept of anchorage (Barthes 1977, 38ff).<br />
Linguistic elements can serve to 'anchor' (or constrain) the preferred<br />
readings of an image: 'to fix the floating chain of signifieds' (ibid., 39).<br />
Barthes introduced this concept of textual anchorage primarily in relation<br />
to advertisements, but it applies of course to other genres such as<br />
captioned photographs, maps, narrated television and film documentaries,<br />
and cartoons and comics ('comic books' to North Americans) with their<br />
speech and thought 'balloons'. Barthes argued that the principal function<br />
of anchorage was ideological (ibid., 40). (Chandler, 2007: 204)<br />
Sedangkan terminologi relay mendeskripsikan hubungan teks/image yang<br />
saling melengkapi, seperti ilustrasi kartun, gambaran pada komik, dan narasi pada<br />
film. Ia tidak mengkhususkan terminologi ini untuk kasus-paradoksikal dimana<br />
image terbentuk berdasarkan text. Pada tahun 1950-1960 an, teks verbal lebih<br />
penting dari pada image. Sedangkan pada masyarakat kontemporer image visual<br />
dalam konteks mempunyai peran lebih penting seperti dalam iklan. Jadi<br />
terminologi relay lebih cocok digunakan dalam ranah yang lebih luas.<br />
Barthes used the term relay to describe text/image relationships which<br />
were 'complementary', instancing cartoons, comic strips and narrative<br />
film (ibid., 41). He did not coin a term for 'the paradoxical case where the<br />
image is constructed according to the text' (ibid., 40). Even if it were true<br />
in the 1950s and early 1960s that the verbal text was primary in the<br />
relation between texts and images, in contemporary society visual images<br />
have acquired far more importance in contexts such as advertising, so that<br />
what he called 'relay' is far more common. (Chandler, 2007: 204)
Dua kaitan antara anchorage dan relay ini dapat dimaknai dengan<br />
mengidentifikasi bahwa teks yang terdahulu berfungsi sebagai anchorage dan teks<br />
yang lebih muda tahun penciptaannya adalah relaynya. Setelah itu dapat<br />
digunakan identifikasi sintagmatik paradigmatiknya untuk menganalisis empat<br />
aspek transformasi yang ada yaitu subtitution,transpotition, addition, dan deletion.<br />
Empat komponen transformasi ini dapat dikelompokkan pada dua aksis yang<br />
berbeda yaitu paradigmatic dan sintagmatik.<br />
The commutation test may involve any of four basic transformations,<br />
some of which involve the modification of the syntagm. However, the<br />
consideration of an alternative syntagm can itself be seen as a<br />
paradigmatic substitution.<br />
• Paradigmatic transformations<br />
o substitution;<br />
o transposition;<br />
• Syntagmatic transformations<br />
o addition;<br />
o deletion. (Chandler, 2005: 90)<br />
Empat aspek yang merupakan aspek transformasi dari sisi paradigmatik<br />
dan sintagmatik dapat dipilah lagi dalam empat aspek yaitu subtitusi,<br />
transposisi(sumbu paradigmatik) dan addition atau penambahan dan deletion atau<br />
penghilangan(sumbu sintagmatik). Subtitusi paradigmatik akan digunakan dalam<br />
identifikasi lebih lanjut untuk melihat kaitan antara relay dan anchorage sehingga<br />
benang merah diantara dua karya dapat didentifikasi secara mendalam.<br />
Dengan melihat hal-hal diatas maka Wardoyo(2005) menyederhanakan<br />
lanngkah-langkah dalam telaah semiotik puisi yaitu:
puisi<br />
1. Telaah dramatic situation yang tersirat dalam puisi karena sifat eliptikal<br />
2. Telaah intertekstualitas puisi<br />
3. Telaah denotatif dan konotatif puisi<br />
Penggabungan antara langkah kerja model Riffaterre dan Subur akan<br />
digunakan supaya pemaknaan lebih komprehensif meskipun pada dasarnya<br />
beberapa langkah Riffaterre telah dianalisis di bab 3. Dengan demikian pada bab 4<br />
akan ditambahkan kekurangan dari langkah-langkah tersebut.<br />
2.4. Budaya Patriarkal<br />
Perbedaan gender seringkali menjadi dua kubu bertentangan yang mampu<br />
menjadi perdebatan. Terminologi feminity and masculinity diciptakan sebagai dua<br />
buah kubu yang saling berhadapan. Satu menunjukkan kepasifan, sedangkan yang<br />
lain menunjukkan ketiadaan aktifitas yang merupakan sebuah adat. Keduanya<br />
memang tidak mungkin dimaknai seimbang. Salah satu pasti memiliki kedudukan<br />
atau peran lebih tinggi dari pada yang lain. Misalnya ayah pasti digambarkan lebih<br />
baik dari pada ibu, karena ayah akan lebih bijaksana sedangkan ibu digambarkan<br />
lebih sensitif. Kesimpulannya adalah lelaki selalu lebih superior, lebih manusiawi<br />
atau bahkan lebih sempurna (layaknya Tuhan) jika dibandingkan dengan wanitia<br />
(Buchbinder, 1991: 127)
Wanita akan selalu menjadi yang kedua. Dalam bukunya The second sex,<br />
Simon de Beuvoi mengunakan terminologi eksistensialis untuk definisi kultural<br />
dari adat hierarki dan non resiprokal dalam hubungan antara maskulinitas dan<br />
femininitas. Lelaki adalah subjek atas dirinya sendiri sedangkan wanita dianggap<br />
sebagai objek yang tidak punya otoritas, karena wanita adalah sang liyan. ”as<br />
cultural for hierarchical nature of the relationship between masculinity and<br />
femininity. ”He is the subject or self. She is object or non-self: that is she is<br />
otherness.<br />
Pada dasarnya otherness atau sosok yang lain ini merupakan efek dari<br />
penyetaraan antara maskulinitas dengan humanitas –kemanusiaan. Lelaki adalah<br />
sentral, sedangkan wanita adalah peripheral, lelaki adalah penting sedangkan<br />
wanita adalah pelengkap, lelaki adalah yang utama sedangkan wanita adalah yang<br />
kedua.<br />
De Beauvoir (2003: 108) menyatakan bahwa sejak jaman primitif hingga<br />
sekarang, kecenderungan untuk memberikan hak untuk perempuan mempunyai<br />
makna yang sama: yang dikehendaki laki-laki untuk dimiliki adalah yang tidak<br />
dimilikinya, ia mencari kesatuan dengan apa yang tampak sebagai Sosok yang<br />
Lain dari dirinya.<br />
Wanita tidak akan pernah dihargai ketika ia muncul sebagai dirinya<br />
seutuhnya. Ia akan dihargai oleh lelaki ketika ia mampu menampilkan Sosok yang<br />
Lain. Dalam diri perempuan, Laki-laki mencari Sosok yang Lain sebagai Alam<br />
dan sebagai teman hidup. Pada setiap mitos yang berkembang, pencitraan akan<br />
kebaikan akan selalu ditujukan untuk lelaki. Dan sosok yang lain atau perempuan
adalah representasi yang jahat. Ketidakseimbangan ini diciptakan dalam<br />
terminologi dan benak pemikiran laki-laki.<br />
Mitos yang diciptakan tentang wanita selalu didukung oleh masyarakat.<br />
Mitos adalah satu perangkap objektivitas palsu terhadap laki-laki yang bergantung<br />
pada penilaian siap pakai yang tergesa-gesa. Di mata laki-laki-dan bagi banyak<br />
perempuan yang melihat melalui kacamata laki-laki-tidaklah cukup memiliki<br />
tubuh perempuan atau menganggap fungsi perempuan sebagai nyonya rumah atau<br />
ibu untuk menjadi seorang ”perempuan sejati”. Sebagai perempuan sejati ia harus<br />
dapat menerima dirinya sebagai Sosok yang lain (De Beauvoir, 2003: 376-379).<br />
Saat laki-laki memperlakukan perempuan sebagai Sosok yang Lain, lelaki<br />
seolah mendapat pengukuhan akan eksistensinya. Dalam hal ini maka lelaki akan<br />
berharap perempuan memanifestasikan lebih jauh kecenderungan keterlibatannya.<br />
Dengan demikian, perempuan mungkin akan gagal menegaskan status sebagai<br />
subjek karena ia tidak pula memiliki eksistensi sejati. Perempuan seringkali<br />
menyadari bahwa ia tidak memiliki sumber-sumber daya tertentu seringkali ia<br />
merasa ikatan kebutuhanlah yang mempersatukannya dengan laki-laki. Hal ini<br />
tidak berdasarkan atas hubungan timbal balik, ia sering kali sudah puas dengan<br />
perannya sebagai Sosok yang Lain.<br />
Seringkali kata seks digunakan untuk mendefinisikan perempuan,<br />
kenikmatan, tubuh, dan bahayanya. Benar bahwa bagi perempuan laki-laki adalah<br />
seks, dan nafsu berahi tidak pernah dinyatakan karena memang tidak satu pun<br />
yang pernah menyatakannya. Representasi dunia, seperti dunia itu sendiri,<br />
merupakan hasil karya laki-laki; mereka menggambarkannya dari pandangan
mereka sendiri dan mengacaukannya dengan kebenaran sejati (De Beauvoir,<br />
2003: 213). Kenyataan inilah yang kemudian diamini oleh masyarakat dan budaya<br />
dukungan ini semakin mengukuhkan dominasi patriarkal pada masyarakat<br />
dibelahan dunia manapun.<br />
Saat laki – laki memperlakukan perempuan sebagai sosok yang lain, ia<br />
akan berharap perempuan memanifikasikan lebih jauh kecenderungan<br />
keterlibatannya. Dengan demikian, perempuan mungkin gagal menegaskan status<br />
sebagi subjekkarena ia tidak memilki satu -satunya sumber –sumber daya tertentu,<br />
aerna ia merasa ikatan kebutuhan yang mempersatukannya dengan laki – laki<br />
tidak berdasarkan atas asas timbal balik, dan karena ia sering kali sudah puas<br />
dengan perannya sebagai sosok yang lain (De beauvoir, 2003:xviii). Kehadiranya<br />
sebagai sang Liyan atau sosok yang ain menjadikan esensi wanita kosong.<br />
Agaknya adat tentang peran wanita sebagai yang kedua ini memang telah<br />
mengakar. Pandangan ini telah ada sejak dulu dan bahkan diakui atau tidak hal ini<br />
tidak pernah hilang sampai jaman modern pun. Wanita tidak akan pernah mampu<br />
sejajar dengan pria. Karena dalam tataran ide pun kesejajaran ini tidak akan<br />
pernah diakui. Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa laki-laki selalu<br />
mempertahankan kekuasaannya; sejak awal zaman masyarakat patrilineal, mereka<br />
udah berpikir untuk mempertahankan agar perempuan selalu dalam keadaan<br />
tergantung; hukum dan peraturan diciptakan sedemikian rupa sehingga perempuan<br />
benar-benar dibedakan sebagai Sosok yang lain. Begitu laki-laki berusaha<br />
menonjolkan diri, kelompok Sosok yang Lain ini bukan merupakan perwujudan<br />
dirinya dan merupakan sesuatu yang lain dari dirinya. (De Beauvoir, 2003: 207).
Di belahan dunia manapun budaya patriarkal ini telah ada secara turun<br />
temurun dan terus dilestarikan. Meskipun telah lahir gerakan feminisme yang<br />
menginginkan kesetaraan antara kaum wanita dan pria namun pada praktiknya hal<br />
ini tidak dapat berlangsung secara hakikat. Bahkan seringkali adat menjadi faktor<br />
langgengnya sistem budaya patriarkal ini. Adat ini secara turun temurun dipegang<br />
teguh oleh keturunannya dan menjadi mitos yang sangat sulit untuk diubah. Mitos<br />
selalu dipegang teguh dan dipercaya dari generasi ke generasi.<br />
Setiap mitos selalu mencerminkan subjek yang menggambarkan harapan<br />
dan ketakutannya melampaui langit-langit transendensi. Perempuan tidak<br />
menempatkan dirinya sebagai Subjek sehingga sampai saat ini mereka belum<br />
menegakkan satu mitos kebesaran atau kekuatan, di mana rencana dan aturan<br />
mereka direfleksikan, mereka tidak memiliki kepercayaan atau agamanya sendiri,<br />
mereka masih bermimpi atas dasar impian laki-laki.Dewa-dewa yang mereka<br />
sembah adalah dewa-dewa ciptaan laki-laki. Laki-laki telah membentuk figur-<br />
figur kebesararan dan kekuatan mereka sendiri seperi Hercules, Promotheus, dan<br />
Parsifal. Dan perempuan hanya memainkan peran-peran sekunder dalam cerita<br />
kepahlawanan. Tidak disangsikan lagi figur-figur laki-laki konvensional dalam<br />
hubungannya dengan perempuan seperti figur ayah, penggoda, suami, kekasih<br />
yang pencemburu, anak laki-laki yang baik, tapi semua figur ini diciptakan oleh<br />
laki-laki dan semua figur ini bersifat stereotipe. (De Beauvoir, 2003: 212-213).<br />
Inferioritas wanita dan keberadaanya sebagai sosok yang lain menjadikan<br />
wanita tidak akan dapat berkembang. Perempuan menyerahkan dirinya secara<br />
pasif kepada kemauan laki-laki dan membiarkan terjadinya asimilasi, sehingga
dengan demikian laki-laki menjadi pemilik perempuan dengan cara<br />
memanfaatkannya, yaitu merusaknya. De Beauvoir (2003:113) menyatakan<br />
bahwa mitos mengatakan bahwa laki-laki punya hubungan dengan alam, ia adalah<br />
penyebab diturunkannya hewan dan tumbuhan; ia sadar bahwa ia ada hanya<br />
selama ia hidup. Namun seiring datangnya zaman patrilineal, di mata laki-laki<br />
kehidupan menjadi aspek ganda; ia adalah kesadaran, kehendak, transendensi, ia<br />
adalah roh, dan ia adalah pasivitas, materi, imanensi, ia adalah dagingnya. Karena<br />
itulah laki-laki akan selalu menjadi yang superior.<br />
2.5. Penulis dan masa penciptaan puisi<br />
Puisi yang berjudul portrait d’une femme ini diciptakan pada tahun 1912<br />
oleh Ezra Weston Loomis Pound atau lebih terkenal dengan Ezra Pound. Ezra<br />
Pound adalah seorang penyair imigran Amerika. Ia juga seorang kritikus dan<br />
intelektual yang menggawangi pergerakan pada pertengahan awal abad 20. Ia<br />
bahkan dipandang sebagai promotor estetika modern pada puisi. Karya-karyanya<br />
banyak sekali menghiasai ensiklopedia. Karya-karyanya yang sangat terkenal<br />
adalah The Cantos, Portrait d’une femme, dan Personae (The Norton Anthology<br />
of American Literature Vol 2: 1202). Ezra juga terkenal dengan aliran barunya<br />
yaitu imagism, sebuah aliran baru dalam puisi yang cenderung mendeskripsikan<br />
obyek atau situasi kemudian menjeneralisirnya. Dengan kata lain aliran ini<br />
mencoba menghadirkan objek secara langsung.<br />
Pound first campaigned for” imagism”, a name he coined for a new kind of<br />
poetry. Rather than describing something-an object or situation- and then<br />
generalizing about it, the imagist poet attempted to present the object
directly. In doing so, he had to avoid the ornate diction and complex but<br />
predictable verse forms of traditional poetry, elements that distracted the<br />
reader from the impact of the pure image.<br />
Portrait d’une femme adalah salah satu karya Ezra Pound yang sangat<br />
menarik. Ketika puisi ini diciptakan, di Amerika sedang terjadi perubahan besar.<br />
Sebelum perang saudara, Amerika adalah negara agraris, masih berbentuk<br />
pedesaan dan negara republik yang masih sangat terisolasi namun warga Amerika<br />
sangatlah idealis, percaya diri, dan mandiri dan beragama. Namun begitu<br />
memasuki perang dunia I, Amerika berubah menjadi negara Industrialis, negara<br />
kontinen yang penduduknya terpaksa berubah mengikuti teori evolusi Darwin<br />
termasuk dalam perubahan institusi sosial dan nilai-nilai budaya.<br />
The result was that, between the end of the Civil War and the beginning of<br />
the First World War, the country was wholly transformed. Before the civil<br />
war, America had been essentially a rural, agrarian, isolated republic<br />
whose idealistic, confident, and self-reliant inhabitants for the most<br />
believed in God; by the time the United States entered World War I as a<br />
world power, it was an industrialized, urbanized, continental nation,<br />
whose people had been forced to come to terms with the implications of<br />
Darwin’s theory of evolution as well as with profound changes in its own<br />
social institutions and cultural values.(Norton Anthology; 01)<br />
Perang telah membuat perubahan besar pada berbagai aspek di Amerika.<br />
Perubahan-perubahan ini tentunya membawa dampak yang signifikan dalam<br />
susunan dan tatanan masyarakat. Perubahan ini juga menjadikan sebagian<br />
masyarakat hidup dibawah garis kemiskinan. Perubahan sosial yang ada<br />
menjadikan masyarakat mengalami perubahan paradigma. Paradigma yang<br />
berkembang kemudian adalah perubahan budaya yang menjadikan nilai-nilai<br />
budaya yang lama tergantikan dengan yang baru. Jika sebelumnya masyarakat
agraris cenderung lebih strict dalam memegang aturan yang ada, masyarakat<br />
industrialis menjadi semakin liberal atau lebih bebas.<br />
Perubahan ekonomi menjadikan masyarakat semakin menderita. Sebagai<br />
dampaknya, masyarakat menghalalkan segala cara untuk mendapat penghasilan.<br />
Karena efek ini maka muncullah golongan-golongan masyarakat yang baru. Ada<br />
yang masih bertahan dengan cara konvensional untuk mempertahankan hidup,<br />
namun ada pula yang merubah diri agar mendapat porsi penghidupan yang lebih<br />
layak. Perubahan paradigma pemikiran juga mendasari adanya perubahan pola<br />
hidup warga Amerika. Namun perubahan ini tidak membawa dampak yang<br />
signifikan terhadap perubahan pandangan tentang wanita.<br />
Wanita tetap berada pada posisi yang selalu harus tunduk aturan lelaki.<br />
Wanita belum dapat memasuki ranah politik sebagai partisan. Wanita masih harus<br />
berada pada wilayah domestik. Karenanya ketika wanita memberontak dengan<br />
mencoba melakukan apa yang mereka inginkan, wanita mendapat stigma negatif<br />
dari masyarakat. Mereka dianggap melanggar norma dan adat-istiadat.<br />
Meskipun terjadi perubahan paradigma terhadap sistem budaya, namun<br />
penempatan wanita sebagai sosok yang kedua tidak juga mengalami perubahan.<br />
Wanita harus mampu menjadi sosok yang lain jika ia ingin diakui eksistensinya<br />
oleh lelaki. Di Amerika gelombang gerakan feminis pertama dimulai pada tahun<br />
1900 an. Ketidak seimbangan antara perempuan dan laki-laki menjadi penyebab<br />
utamanya. Bahkan ketika perempuan-perempuan ini mengadakan protes, mereka<br />
kemudian menjadi tahanan politik yang hidup dalam penderitaan.
These years of the early 1900s also saw the strengthening of the Women's<br />
Suffrage Movement. The movement had begun with the 1848 Seneca Falls<br />
Convention, organized by Elizabeth Cady Stanton and Lucretia Mott, and<br />
the Declaration of Sentiments demanding equal rights for women. The<br />
women's rights campaign during "first-wave feminism" was led by Mott,<br />
Stanton, Susan B. Anthony, and Sojourner Truth, Lucy Stone, and Julia<br />
Ward Howe, among others. By the end of the 19th century only several<br />
states had granted women full voting rights. In the early 1900s, protests<br />
became increasingly common as suffragette Alice Paul led parades<br />
through major cities and picketing of the White House. Paul split from the<br />
large National American Woman Suffrage Association (NAWSA), led by<br />
Carrie Chapman Catt, and formed the more militant National Woman's<br />
Party. Suffragists were arrested during protests and taken as political<br />
prisoners. In prison they were tortured and force-fed on hunger strikes led<br />
by Alice Paul. (www.wikipedia.com)
BAB 3<br />
ANALISIS <strong>PUISI</strong><br />
Analisis pada puisi Portrait d’une Femmen akan dilakukan melalui<br />
gabungan pendekatan, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan semiotik. Pada<br />
bab ini puisi akan dianalisis melalui pendekatan struktural. Analisis struktural<br />
digunakan untuk mendapatkan hasil yang komprehensif tentang pemahaman<br />
terhadap unsur-unsur puisi. Unsur-unsur tersebut diantaranya adalah tipografi,<br />
tema, parafrase, rima, meter, diksi, pencitraan, dan majas. Untuk lebih jelasnya<br />
maka hal ini akan dianalisis dalam sub bab yang berbeda.<br />
3.1. Tipografi<br />
Puisi Portrait d’une Femme ini memiliki bentuk tipografi yang bisa<br />
dibilang tidak unik karena bentuk penulisannya biasa saja baik dari segi baris<br />
maupun bait. Puisi ini hanya terdiri dari satu bait yang dalam bait ini terdiri dari<br />
30 baris saja. Pada bentuk penulisan atau paragraf dibuat datar, rata kiri.<br />
Pemakaian huruf juga dapat dikatakan standar dan tidak istimewa. Jika dimaknai<br />
hal ini bisa saja berkaitan dengan makna yang tersimpan didalamnya yaitu bahwa<br />
sosok wanita yang dideskripsikan dalam puisi ini bukanlah makhluk yang<br />
istimewa karena mereka memiliki sifat-sifat yang tidak istimewa.<br />
Sedangkan kata yang menjorok masuk hanya ada pada baris terakhir yaitu<br />
yet this is you. Pemakaian huruf pada penulisan puisi ini tidak ada yang berbeda
dengan penulisan artikel atau karya sastra lain. Sedangkan pemakaian tanda baca<br />
pada puisi ini ada yang berbeda dari yang lain yaitu pemakaian koma(,) titik<br />
koma(;), titik dua(:), pemakaian tanda seru(!), dan tanda tanya(?). Hal ini<br />
tentunya memiliki maksud dan tujuan tertentu.<br />
Ketika penyair menggunakan tanda baca koma(,) maka hal ini<br />
dimaksudkan untuk menandai bahwa apa yang ditulisnya belum selesai dalam<br />
artian bahwa hal tersebut masih berkelanjutan dengan baris selanjutnya. Untuk<br />
memaknai baris pada puisi ini tidak bisa dilakukan dengan memenggal<br />
sekehendak penafsir. Tanda baca koma pada puisi ini hanya digunakan pada 10<br />
baris saja yaitu baris 1, 4, 9, 17,19, 20, 23, 25, 27, dan 28.<br />
Pemakaian koma(,) pada baris satu adalah untuk menunjukkan adanya<br />
kesatuan makna dengan baris selanjutnya yaitu Your mind and you are our<br />
Sargasso Sea,(1)<br />
London has swept about you this score years(2). Hal ini berarti bahwa karena<br />
pemikirannya yang rumit dan ruwet, maka wanita dinafikkan atau tidak pernah<br />
dianggap keberadaannya oleh lelaki selama beberapa kurun waktu terakhir. Ide-<br />
ide tentang gosip, dan berita-berita murahan seringkali menjadi komoditasnya.<br />
Ideas, old gossip, oddments of all things,(4). Ini menunjukkan bahwa wanita<br />
memang tidak pernah memiliki kemampuan dan kebiasaan selain membicarakan<br />
gosip.<br />
Pada baris kesembilan, tanda koma yang mengakhiri baris ini<br />
menunjukkan kaitan dengan baris selanjutnya bahwasanya keberadaan lelaki-
lelaki bodoh yang mendatangi mereka ini menggambarkan kondisi penurunan<br />
pemikiran setiap tahunnya.<br />
One dull man, dulling and uxorious,<br />
One average mind -- with one thought less, each year.<br />
Baris ketujuh belas bersambung dengan akhiran tanda koma sampai<br />
dengan baris keduapuluh sembilan menunjukkan korelasi yang erat atau narasi<br />
yang saling berkaitan. Fakta yang ada dari setiap mitos atau cerita yang<br />
berkembang adalah wanita mudah sekali termakan bujuk rayu sehingga seringkali<br />
mereka memilih jalan pintas untuk mendapatkan keinginannya, meskipun jalan<br />
pintas ini seringkali tidak pernah terbukti keberhasilannya dan memakan waktu<br />
yang cukup lama. Kesia-siaan ini ternyata tidak pernah menyadarkan wanita<br />
bahwa apa yang mereka lakukan tidak berguna. Seringkali mereka terlena oleh<br />
pujian dan dianggap sebagai idola, yang selalu disanjung sanjung. Namun wanita<br />
tidak pernah sadar bahwa mereka tidak memiliki kekayaan apapun pada<br />
hakikatnya. Kekayaan mereka hanyalah diri mereka sendiri, karena kekayaan<br />
yang mereka dapatkan itu semu. Hal ini dapat dilihat dalam baris –baris berikut:<br />
Fact that leads nowhere; and a tale for two,(17)<br />
Pregnant with mandrakes, or with something else(18)<br />
That might prove useful and yet never proves,(19)<br />
That never fits a corner or shows use,(20)<br />
Or finds its hour upon the loom of days: (21)<br />
Idols and ambergris and rare inlays,(23)<br />
These are your riches, your great store; and yet(24)<br />
For all this sea-hoard of deciduous things,(25)<br />
Strange woods half sodden, and new brighter stuff(26)<br />
In the slow float of differing light and deep,(27)
No! there is nothing! In the whole and all,(28)<br />
Nothing that's quite your own.(29)<br />
Pada pemakaian tanda baca titik dua (:), pengarang ingin menunjukkan<br />
satu hubungan antara baris tersebut dengan baris selanjutnya yang berarti bahwa<br />
baris selanjutnya merupakan informasi tambahan bagi baris sebelumnya. Pada<br />
puisi ini hanya terdapat 4 baris saja yang menggunakan titik dua yaitu baris<br />
ketiga, kedelapan, kelima belas, dan keduapuluh satu.<br />
Pada baris ketiga ada tanda titik dua diakhir baris, namun pada baris<br />
selanjutnya yang merupakan kelanjutan dari baris ini menunjukkan bahwa ide,<br />
dan gosip murahan yang diciptakan wanita sama tidak berharganya dengna<br />
perabot dapur yang telah rusak.<br />
And bright ships left you this or that in fee:(3)<br />
Ideas, old gossip, oddments of all things,(4)<br />
Strange spars of knowledge and dimmed wares of price.<br />
Pada baris kedelapan juga didapat adanya titik dua diakhir baris,. Tanda<br />
titik dua ini berfungsi sebagai indikasi bahwa pernyataan pada baris ini akan<br />
dijelaskan pada baris berikutnya. Setelah pengarang menunjukkan bahwa wanita<br />
menganggap stigma buruk tentang diri merea merupakan hal yang lumrah, maka<br />
pada baris selanjutnya penyair memberi penjelasan dengan menyebutkan bahwa<br />
orang yang bodoh dan tidak menarik yang datang pada wanita-wanita ini tanpa<br />
cinta. Ironisnya, lelaki-lelaki bodoh tersebut tetap dilayani, meskipun diantara<br />
mereka tidak ada ikatan cinta karena bagi wanita-wanita tersebut harta merupakan<br />
hal yang paling penting.
No. You preferred it to the usual thing:(8)<br />
One dull man, dulling and uxorious,(9)<br />
One average mind -- with one thought less, each year.<br />
Baris kelima belas menunjukkan tidak adanya perubahan pada perilaku<br />
wanita-wanita ini karena meskipun mereka sadar bahwa laki-laki tersebut hanya<br />
akan datang dan pergi sesuka hatinya namun hal ini tidak membuat wanita-wanita<br />
ini jera atau merubah diri. Karena wanita-wanita ini terlena atau terbuai dalam<br />
pujian-pujian laki-laki terhadap mereka.<br />
And takes strange gain away:(15)<br />
Trophies fished up; some curious suggestion; (16)<br />
Baris ke duapuluh satu menekankan kembali bahwasanya wanita-wanita<br />
ini terjebak dalam waktu yang tidak tentu lamanya namun mereka juga tidak<br />
berkutik untuk melawan. Mereka ibarat barang usang yang sudah karatan, sangat<br />
tidak berharga, dan hanya terombang-ambing dalam arus yang pelan namun<br />
menghanyutkan. Mereka bukanlah apa-apa, mereka juga tidak memiliki kekayaan<br />
hakiki. Secara hakikat mereka adalah zero atau kosong.<br />
Or finds its hour upon the loom of days: (21)<br />
The tarnished, gaudy, wonderful old work;<br />
Strange woods half sodden, and new brighter stuff:<br />
In the slow float of differing light and deep,(27)<br />
No! there is nothing! In the whole and all,(28)
Pada pemakaian tanda seru (!) penyair ingin mengingatkan bahwasanya<br />
ketika dengan cara halus atau dengan sindiran-sindiran saja tidak mempan maka<br />
cara selanjutnya adalah dengan cara yang agak keras yaitu dengan menyerukan.<br />
Pada puisi ini hanya ada satu baris yang menggunakan tanda seru yaitu pada baris<br />
28 yang berbunyi: No! there is nothing! In the whole and all,. Pada kalimat<br />
tersebut penyair seolah ingin menyerukan dan mengingatkan wanita-wanita ini<br />
bahwa sebenarnya tidak ada apapun yang dicari oleh-wanita-wanita ini.<br />
Ketika kemudian penyair menggunakan tanda tanya (?) maka penyair<br />
seolah ingin mempertanyakan fakta yang ada dalam pemikirannya. Pada puisi ini<br />
hanya ada satu baris yang memiliki ending tanda tanya yaitu baris ke 7. Pada baris<br />
ini penyair ingin mengingatkan bahwa wanita selama ini selalu dijadikan nomor<br />
dua. Wanita tidak akan pernah mendapat porsi untuk menjadi yang pertama.<br />
Kemudian ia bertanya kepada wanita-wanita ini tragiskah melihat hal ini?.<br />
Pertanyaan ini bisa saja merupakan pertanyaan sesungguhnya yang muncul dalam<br />
benak penyair, namun pertanyaan ini bisa juga berarti sebuah sindiran terhadap<br />
wanita. Hal ini tertuang dalam baris ke tujuh yang berbunyi<br />
You have been second always. Tragical?<br />
Sedangkan titik koma (;) menunjukkan suatu hubungan eliciting atau<br />
menyarikan baris selanjutnya. Pada puisi ini hanya ada 2 baris yang menunjukkan<br />
adanya hubungan yang saling menjelaskan atau mneyarikan dengan baris<br />
selanjtnya yaitu pada baris ke duapuluh dua dan baris keduapuluh empat yang<br />
berbunyi:
The tarnished, gaudy, wonderful old work;<br />
These are your riches, your great store; and yet<br />
Jika kesemua tanda baca dalam puisi ini disatukan maka akan membentuk<br />
suatu pola yang unik dari sebuah puisi karena tipografi yang berbeda pada setiap<br />
puisi bisa jadi merupakan ciri tersendiri yang sengaja diciptakan oleh pengarang<br />
untuk memberi efek keunikan puisi.<br />
3.2. Tema<br />
Suatu karya diciptakan dengan tujuan tertentu. Tujuan dari penciptaan ini<br />
biasanya menjadi tema atau pesan yang hendak disampaikan oleh pengarang<br />
terhadap pembaca. Pesan ini bisa berupa kritik atau ungkapan ekspresi pengarang<br />
atas apa yang diihat atau dirasakannya. Tidak berbeda dengan novel, puisi sebagai<br />
salah satu genre sastra juga memiliki tema. Puisi-puisi yang diciptakan oleh<br />
penyair memilki tema yang beraneka ragam. Tema percintaan adalah tema yang<br />
paling sering diangkat. Namun tema-tema yang lain juga menjadi tema menarik<br />
dalam puisi seperti tema tentang kehidupan, kesedihan, kematian, dan wanita.<br />
Puisi karya Ezra Pound ini merupakan salah satu puisi yang<br />
menggambarkan sosok wanita dalam pemikiran lelaki. Puisi ini berjudul Portrait<br />
d’une Femme, yang jika diartikan dalam bahasa Inggris adalah A Portrait of a<br />
Lady. Judul puisi ini menyiratkan bahwa penyair sepertinya hendak<br />
mengekspresikan pemikirannya atau perasaannya yang terdalam tentang sosok<br />
wanita, namun ketika penyair memilih kata potret seorang wanita dan bukan
wanita saja, tentunya ia memiliki tujuan khusus. Wanita yang hendak dimaknai<br />
bisa saja golongan wanita tertentu yang hidup di jaman ketika puisi ini<br />
diciptakan., namun ketika menampilkan sosok, justru hal ini mewakili wanita<br />
dalam tataran ide.<br />
Puisi ini merupakan kritik pengarang terhadap wanita. Kritik ini tidak<br />
hanya mengenai sifat-sifat buruk wanita yang membelenggu kemajuan mereka<br />
namun penyair juga ingin menyadarkan wanita-wanita ini tentang fakta yang ada.<br />
Fakta bahwa wanita selalu menjadi yang kedua seharusnya mampu menyadarkan<br />
mereka sehingga wanita-wanita ini mau berjuang untuk melakukan perubahan.<br />
3.3. Rima dan meter<br />
Puisi ini termasuk blank verse yaitu puisi yang tidak memiliki rima atau<br />
unrhyme. Berdasarkan susunan meter dan ritmenya maka puisi ini dapat<br />
diidentifikasi sebagai berikut:<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪<br />
Your mind and you are our Sar gasso Sea,<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
Lon don has swept about you this score years<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
And bright ships left you this or that in fee:<br />
∪ - ∪ -∪ - ∪ - ∪ -<br />
Ideas, old gossip, oddments of all things,<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
Strange spars of knowledge and dimmed wares of price.<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
Great minds have sought you -- lacking someone else
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
You have been second always. Tragical?<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
No. You preferred it to the usual thing:<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪<br />
One dull man, dulling and uxorious,<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
One average mind -- with one thought less, each year.<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
Oh, you are patient, I have seen you sit<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
Hours, where something might have floated up.<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
And now you pay one. Yes, you richly pay.<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
You are a person of some interest, one comes to you<br />
∪ - ∪ - ∪ -<br />
And takes strange gain away:<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
Trophies fished up; some curious suggestion;<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
Fact that leads nowhere; and a tale for two,<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
Pregnant with mandrakes, or with something else<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
That might prove useful and yet never proves,<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
That never fits a corner or shows use,<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
Or finds its hour upon the loom of days:<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
The tarnished, gaudy, wonderful old work;
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
Idols and ambergris and rare inlays,<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
These are your riches, your great store; and yet<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
For all this sea-hoard of deciduous things,<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
Strange woods half sodden, and new brighter stuff:<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
In the slow float of differing light and deep,<br />
∪ - ∪ - ∪ - ∪ - ∪ -<br />
No! there is nothing! In the whole and all,<br />
∪ - ∪ - ∪ -<br />
Nothing that's quite your own.<br />
∪ - ∪ -<br />
Yet this is you.<br />
Pada beberapa baris dalam puisi diatas ada pola yang cenderung berbeda.<br />
Misalnya pada baris empat belas yang merupakan baris terpanjang, pola baris ini<br />
adalah iamabic heptameter. Sedangkan dua baris terakhir juga memiliki pola<br />
ritme dan meter yang berbeda, yaitu pada baris dua puluh sembilan polanya<br />
adalah iambic trimeter sedangkan baris terakhir memiliki pola iambic dimeter.<br />
Secara umum, identifikasi metrum atau meter dan ritme pada puisi diatas dapat<br />
disimpulkan bahwa puisi ini memiliki pola yang selalu berulang yaitu iambic<br />
pentameter.<br />
Jika dikaitkan dengan pandangan lelaki terhadap wanita, pengulangan<br />
yang terjadi merupakan satu bentuk justifikasi bahwasnya wanita seperti apa yang<br />
digambarkan penyair. Sifat-sifatnya yang stagnan dan tidak mau berubah
tergambar dari pengulangan-pengulangan ini. Kemandulan pemikiran dan<br />
stagnansi ide tergambar melalui puisi yang tidak berima ini. Seolah tidak ada<br />
keindahan dari rima yang tercipta layaknya wanita yang tercipta tanpa esensi<br />
karena ia adalah suatu kekosongan.<br />
3.4.Diksi<br />
Diksi merupakan pilihan kata penyair yang mewakili tingkat kepuitisan<br />
sebuah puisi. Diksi adalah pilihan kata yang digunakan penyair untuk mewakili<br />
perasaanya, pemikirannya, dan imajinasinya. Penyair akan memilih kata dengan<br />
hati-hati sehingga apa yang diinginkannya dapat tersampaikan kepada pembaca<br />
atau terwakili dalam puisi nya.<br />
Dalam puisi ini penyair menggunakan sargasso sea pada baris pertama<br />
untuk mewakili kemelut pemikiran wanita. Pemikiran wanita adalah pemikiran<br />
yang bermacam-macam namun dibelenggu oleh sifat-sifat jelek wanita. Hal ini<br />
merupakan alasan mengapa wanita tidak pernah berkembang dan selalu terjebak<br />
dalam rivalry atau persaingan dengan sesama wanita.<br />
Sedangkan pada baris kedua digunakan London sebagai perwakilan kota<br />
untuk menggambarkan kemajuan jaman atau kekuatan suatu bangsa. London<br />
dianggap sebagai kemajuan dan swept dapat diartikan bahwa kemajuan yang<br />
menggilas wanita. Hal ini karena wanita memang dinafikkan oleh kemajuan yang<br />
ada.
Pada baris tiga dipilih kata bright ships untuk menggambarkan kemegahan<br />
atau kekayaan. Ships adalah gambaran lelaki-lelaki kaya yang hendak membawa<br />
wanita-wanita ini berlayar. Tentunya wanita-wanita ini adalah wanita dari<br />
golongan tertentu yang bisa dibeli oleh harta.<br />
Strange spars adalah pilihan kata penyair pada baris berikutnya yang<br />
menunjukkan bahwa wanita hanya memiliki pengetahuan yang aneh atau tidak<br />
berharga. Hal ini sama tidak berharganya dengan dimmmed wares atau perabot<br />
dapur. Perabot dapur pada dasarnya dipilih untuk menunjukkan adanya satu ranah<br />
domestikasi wanita.<br />
Pada baris selanjutnya digunakan frase great minds untuk menggambarkan<br />
betapa luasnya pemikiran wanita. Pemikiran wanita pada dasarnya juga hebat,<br />
namun sayang hal ini tidak diimbangi dengan kehebatan perilakunya. Sehingga<br />
pada kenyataannya wanita tidak memiliki keseimbangan antara pemikiran dan<br />
perilaku.<br />
Wanita dimanapun seringkali tidak terima jika yang lain memiliki<br />
kelebihan. hal ini mengakibatkan kecemburuan, dan kecemburuan ini membuat<br />
mereka menutupi kekurangannya dengan menjelek-jelekkan wanita lain. Dengan<br />
menggunakan lacking someonelse semakin menunjukkan kejelekan sifat wanita.<br />
Karena kejelekannya tersebut maka wanita kemudian mendapat stigma<br />
negatif dari masyarakat. Citra negatif ini pada dasarnya dibentuk oleh keburukan<br />
karakter mereka sendiri. Wanita selalu menjadi yang kedua. Pengarang<br />
menggambarkan pencitraan negatif dan posisi wanita makhluk yang inferior ini<br />
dengan menggunakan second always. Baris ini masih dilanjutkan dengan
pertanyaan mengenai pendapat wanita terhadap kenyataan bahwa mereka dinomor<br />
duakan. Tragical?, merupakan pertanyaan atau sindiran pengarang terhadap<br />
wanita akan kenyataan ini. Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa wanita-<br />
wanita ini tidak mau ambil pusing dengan kondisi dan pandangan negatif ini.<br />
Pada baris selanjutnya frase one dull man, dulling, and uxorious<br />
digunakan oleh penyair untuk menggambarkan lelaki yang bodoh dan tidak<br />
menarik yang datang kepada wanita-wanita ini. Meskipun tidak suka namun<br />
wanita-wanita ini tetap melayani demi mendapat imbalan yang<br />
menggiurkan.Tentunya lelaki-lelaki ini adalah lelaki-lelaki kaya yang mampu<br />
membayar seperti disebutkan diatas.<br />
Wanita juga diibaratkan sebagai sosok yang sabar, namun dapat dilihat<br />
bahwa kata sabar disini tidak berkonotasi positif. Sabar disini berarti bahwa<br />
wanita-wanita ini hanya berdiam tanpa melakukan perubahan apapun. Ia bersabar<br />
untuk menunggu kedatangan lelaki-lelaki yang akan memberikan bayaran kepada<br />
mereka. Mereka tidak ingin berusaha keras untuk mendapatkan hasil yang<br />
maksimal. Bahkan mereka juga menafikkan cinta karena jika ada yang datang<br />
kepada mereka pasti akan dilayani.<br />
Namun lelaki juga menyadari bahwa wanita-wanita ini sebenarnya juga<br />
bagian dari tanggung jawab mereka. Bahwa ketika fakta tentang kebejatan wanita<br />
ini muncul maka mereka sebenarnya berperan serta untuk menciptakan kondisi<br />
ini. Kejelekan wanita ini kemudian menjadi aset ynag dapat menghancurkan<br />
mereka sendiri.
Wanita-wanita ini dikatakan tidak memiliki kekayaan apapun, karena<br />
kekayaan mereka pada dasarnya hanyalah diri mereka sendiri. Mereka tidak akan<br />
mampu mendapat tempat yang layak jika mereka masih saja terjebak dalam<br />
kejelekan-kejelekan ini. Tidak akan ada perbaikan jika tidak ada usaha untuk<br />
merubah diri dan menjadi yang terbaik.<br />
3.5. Pencitraan<br />
Pencitraan sebagai salah satu unsur penting dalam puisi juga berperan<br />
untuk menciptakan efek puitis dari puisi. Pencitraan yang ada dalam puisi ini<br />
adalah citraan ada beberapa macam yaitu citraan penglihatan (visual imagery),<br />
citraan pendengaran (auditory imagery), citra perabaan (thermal imagery), citraan<br />
gerak (kinasthetic imagery). Namun dalam sebuah puisi belum tentu bahwa<br />
penyair akan menggunakan semua jenis pencitraan ini.<br />
Pada puisi portrait d’une femme ini dapat ditemukan beberapa citraan<br />
yaitu citraan gerak dan citraan penglihatan.<br />
a. Citraan gerak<br />
Citraan gerak dalam puisi ini tersirat dalam beberapa baris seperti<br />
dalam baris kedua yang berbunyi London has swept about you this score<br />
years. Kata Swept pada pemaknaan harfiah berarti menyapu. Dalam<br />
hubungannya dengan pencitraan maka menyapu berarti melakukan aksi.
Namun yang menarik disini adalah pengibaratan bahwa London sebagai<br />
sebuah kota melakukan gerakan yaitu menyapu.<br />
Kemudian pada baris ke 11 terdapat citraan gerak yang lain yaitu sit.<br />
Kata sit menunjukkan suatu aktifitas gerak yaitu duduk, hal ini dapat dilihat<br />
pada baris yang berbunyi Oh, you are patient, I have seen you sit. Secara<br />
harfiah hal ini menunjukkan adanya gerakan duduk yang dilakukan oleh<br />
wanita-wanita ini.<br />
Citraan gerak yang lain terdapat pada baris ke- 12 yang berbunyi<br />
Hours, where something might have floated up. Kata floated merupakan suatu<br />
aktifitas gerak yang menunjukkan adanya perpindahan dari bawah keatas.<br />
Floated secara harfiah berarti mengambang. Maka dalam kalimat ini dimaknai<br />
bahwa pengarang mencoba menggiring pembaca pada imaji tentang sesuatu<br />
mengambang, yang dalam hal ini berkaitan dengan masalah-masalah wanita<br />
yang mulai terekspos. Bisa juga hal ini dikaitkan dengan stigma buruk atau<br />
image buruk tentang wanita.<br />
Pada baris ke- 14 yang berbunyi You are a person of some interest, one<br />
comes to you, pengarang menggunakan citraan gerak yang hampir sama<br />
dengan baris ke dua belas.. Baris ini secara harfiah berarti bahwa seseorang<br />
datang kepada wanita-wanita ini, namun wanita-wanita ini hanyalah orang-<br />
orang yang bermain kepentingan. Mereka akan mampu melakukan apa saja<br />
asalkan mendatangkan keuntungan bagi mereka.<br />
Pencitraan pada baris ke-15 yang berbunyi And take strange gain<br />
away: adalah pencitraan gerak yang dalam hal ini dipilih kata take. Secara
harfiah kata take ini berarti mengambil. Imaji yang terbentuk adalah suatu<br />
tindakan mengambil sesuatu. Maka kata ini tergolong dalam citraan gerak.<br />
Jika pada baris ke-12 digunakan kata float yang berrati mengambang,<br />
pengarang menggunakan kata sodden pada baris 26 yang berarti tenggelam<br />
untuk menunjukkan adanya perbedaaan yang mencolok. Baris ini berbunyi<br />
Strange woods half sodden, and new brighter stuff;. Jika floated berarti ada<br />
gerakan mucul ke permukaan, maka pada kata sodden ada imajinasi suatu<br />
gerakan tenggelam. Kayu yang aneh merupakan replika wanita, sedangkan<br />
half sodden berarti hampir tenggelam. Ini menunjukkan bahwa wanita sudah<br />
diambang kehancuran, bahkan sudah separuhnya terkena musibah.<br />
Pada baris ini, pencitraan yang digunakan juga pencitraan gerak seperti<br />
yang terdapat dalam tindakan atau aksi mengambangnya sesuatu. Hal ini<br />
hampir sama dengan citraan yang ada pada baris ke-12 yaitu pemilihan kata<br />
float yang terdapat dalam baris ke- 27 ini yang berbunyi In the slow float of<br />
differing light and deep,.<br />
Pengarang memilih kata fished up pada baris 16 yang berbunyi<br />
Trophies fished up; some curious suggestion; untuk menunjukkan adanya<br />
gerakan bermunculan yang mirip dilakukan oleh ikan. Secara harfiah hal ini<br />
berarti bermunculan, namun secara literal baris ini dimaknai sebagai<br />
pemberian pujian kepada mereka.<br />
b. Citraan penglihatan<br />
Citraan penglihatan merupakan citraan yang digunakan oleh<br />
pengarang untuk menghasilkan efek yang lebih puitis dengan mengajak<br />
pembaca untuk berimajinasi seolah –olah melihat apa yang digambarkan
3.6. Majas<br />
dalam baris tersebut. Citraan penglihatan dalam puisi ini hanya dapat<br />
dilihat satu saja yaitu pada baris ke- 22 yang berbunyi<br />
The tarnished, gaudy, wonderful old work;.<br />
Secara harfiah baris ini menggiring pikiran pembaca pada imajinasi<br />
penglihatan yaitu seolah-olah melihat adanya hasil kerja yang sudah lusuh<br />
namun mencolok, tapi juga sangat tidak indah karena karatan. Baris ini<br />
ingin menggambarkan wanita yang kelihatannya cantik atau menarik<br />
namun ternyata mereka hanyalah sepadan dengan hasil karya kuno yang<br />
sudah karatan dengan warna yang mencolok dan sangat tidak menarik.<br />
Beberapa majas yang dapat ditemukan pada puisi ini adalah:<br />
a. Metafora<br />
Hampir keseluruhan majas dalam puisi ini adalah metafor, namun metafor<br />
ini akan dianalisis dan dijelaskan secara mendetail pada bab selanjutya karena<br />
pada dasarnya metafor memiliki peran yang sangat penting dalam pengkajian<br />
semiotik.<br />
b. Personifikasi<br />
Personifikasi merupakan majas yang mengorangkan benda dalam artian<br />
menyamakan manusia dengan benda. Pada puisi ini majas personifikasinya dapat<br />
dilihat pada baris kedua yang berbunyi London has swept about you this score
years. Baris ini menggambarkan adanya satu aksi yang biasanya dilakukan oleh<br />
manusia yaitu wept atau menyapu. Meskipun kemudian pada pemaknaannya kata<br />
ini memiliki makna yang berbeda sesuai dengan konteksnya yaitu penafikan<br />
wanita oleh pria.<br />
Pada baris selanjutnya dapat dilihat bagaimana ships atau kapal bisa<br />
meninggalkan wanita-wanita ini seolah kapal-kapal ini adalah makhluk yang<br />
bernyawa layaknya manusia. And bright ships left you this or that in fee:.<br />
Sedangkan baris lain yang menggunakan perumpamaan benda mati yang<br />
mampu melakukan aksi adalah pada baris ke enam yang berbunyi Great minds<br />
have sought you -- lacking someone else. Baris ini menunjukkan bagaimana<br />
pikiran dianggap mampu melakukan tindakan yaitu sought yang berarti mampu<br />
menenggelamkan meskipun dalam baris ini kemudian dilanjutkan pada<br />
menenggelamkan atau menghancurkan yang lain dengan cara yang tidak elit<br />
misalnya dengan menjelek-jelekkan rival mereka.<br />
c. Metonimi<br />
Metonimi tidak menyulitkan pembaca dengan pemaknaan yang sulit<br />
karena metonimi memberi ruang yang cukup adil untuk memaknai teks secara<br />
harfiah. Pada puisi portrait d’une femme ini metonimi yang dapat diurai<br />
diantaranya adalah pada baris 8 yang berbunyi No. You preferred it to the usual<br />
thing. You ditujukan pada wanita-wanita ini dan usual thing memang bermakna<br />
sebagai sesuatu yang biasa.
Gambaran tentang lelaki bodoh yang tidak menarik ada pada baris 9 yang<br />
berbunyi One dull man, dulling and uxorious,. Lelaki-lelaki inilah yang akan<br />
mendatangi wanita-wanita ini dan mereka digambarkan sebagai sosok berharta<br />
yang mampu membayar wanita-wanita tersebut.<br />
Sedangkan setiap tahunnya akan selalu ada yang memiliki pikiran rata-rata<br />
atau bahkan bisa ikatakan bodoh. Mereka inilah yang kemudian digambarkan<br />
sebagai orang-orang yang hanya memikirkan penampilan dan bukan pemikiran.<br />
One average mind -- with one thought less, each year<br />
Wanita –wanita adalah gambaran orang-orang yang penuh kepentingan.<br />
Mereka akan mampu melakukan apa saja demi mendapatkan harta. Hal ini tersirat<br />
dalam baris 14 yang berbunyi You are a person of some interest, one comes to<br />
you… . Sedangkan metonimi yang lain ada pada 2 baris terakhir yang berbunyi<br />
No! there is nothing! In the whole and all,<br />
Nothing that's quite your own.<br />
Yet this is you<br />
Kedua baris tersebut menyatakan bahwa tidak ada yang tersisa dari<br />
kebaikan tentang wanita. Semuanya hanyalah stigma negatif yang sudah terlanjur<br />
melekat erat pada mereka. Dilihat dari segi apapun atau manapun, maka tidak<br />
dapat dipungkiri bahwasanya wanita-wanita ini tidak memiliki kekayaan apapun.<br />
Pada akhirnya hal ini disimpulkan oleh penyair bahwa kekayaan mereka hanyalah<br />
dirin mereka saja.
d. Sinekdok<br />
Majas sinekdok digunakan oleh pengarang untuk menunjukkan<br />
bagaiamana satu bagian mewakili keseluruhan atau keseluruhan mewakili yang<br />
kecil. Pada baris 12 yang berbunyi Hours, where something might have floated up<br />
pengarang menggunakan analogi jam sebagai perlambang jam. Namun ketika kata<br />
hour ditambahkan akhiran s dan menjadi hours, maka pengarang ingin<br />
menekankan bahwasanya kata ini tidak lagi bermakna berjam-jam namun justru<br />
mengacu pada waktu yang tidak jelas untuk berapa lamanya-indefinite time. Bias<br />
waktu yang dimaksudkan mewakili hari, bulan, tahun, atau abad. Yang jelas ini<br />
merupakan perlambang waktu yang sangat lama namun tidak dapat diidentifikasi<br />
secara pasti.<br />
e. Allegori<br />
Allegori merupakan majas yang mengkiaskan atau menceritakan. Pada<br />
puisi ini dapat dijumpai alegori pada baris ke-17 yang berbunyi Fact that leads<br />
nowhere; and a tale for two,. Baris ini menunjukkan bahwa fakta yang selama ini<br />
ada, menunjukkan hubungan antara cerita dengan mitos-mitos yang ada<br />
dimasyarakat. Mitos-mitos ini adalah hal yang krusial bagi mereka sehingga<br />
dilestarikan dan tidak menjanjikan adanya perubahan.
e. Ironi<br />
Ironi merupakan majas sindiran. Sindiran pengarang terhadap wanita dapat<br />
dilihat pada baris 11 yang berbunyi Oh, you are patient . I have seen you sit. Baris<br />
ini merupakan sindiran terhadap wanita yang seolah-olah bahwa wanita adalah<br />
orang yang sabar. Mereka hanya duduk dengan sabar. Namun sebenarnya<br />
pengarang ingin mengungangkapkan bahwa kesabaran wanita untuk duduk atau<br />
menunggu ini adalah sebuah analogi terhadap kepasifan mereka untuk tidak<br />
melakukan perubahan.<br />
3.7. Parafrase Teks<br />
Portrait d'une Femme by Ezra Pound menggambarkan tentang sosok<br />
wanita. Wanita dalam puisi ini digambarkan sebagai sosok yang memiliki sifat-<br />
sifat yang tidak elegan dalam kapasitas atau pandangan lelaki. Baris pertama<br />
diimulai dari pemikiran. Dalam hal pemikiran, pemikiran wanita diibaratkan<br />
sebagai laut sargasso, sebuah laut statis di Atlantik utara yang dipenuhi oleh<br />
ganggang. Ini merupakan sebuah gambaran kemiripan pemikiran wanita yang<br />
diibaratkan statis dan tidak bisa objektif. Pemikiran wanita terlalu dipenuhi oleh<br />
ganggang, yaitu keruwetan pemikiran. Sosok wanita yang digambarkan dalam<br />
puisi ini adalah wanita berkelas dan dikelilingi dengan keindahan namun ia masih<br />
saja terlihat kesepian dalam kebodohannya. Wanita- wanita ini tentunya adalah<br />
wanita yang hidup dijaman ketika puisi ini dibuat. Pemikiran wanita pada<br />
dasarnya dianggap hebat yaitu seluas lautan namun laut yang dipilih untuk
memaknai pemikiran ini adalah laut sargasso. Laut di samudera atlantik utara<br />
yang memang statis dan dipenuhi ganggang dn menjadikan kapal-kapal yang<br />
berlayar macet.<br />
Baris kedua adalah London has swept about you this score years, yang<br />
berarti bahwa London telah menafikkan wanita selama beberapa kurun waktu<br />
terakhir ini. Wanita tidak pernah diperhitungkan keberadaanya. London<br />
merupakan gambaran kekuatan suatu bangsa yang menghegemoni bangsa lain.<br />
London juga merepresentasikan sebuah kemajuan. Namun sungguh disayangkan<br />
bahwa kemajuan ini tidak menjadikan wanita semakin maju dalam pemikiran, tapi<br />
wanita justru tenggelam dalam gegap gempita kemajuan jaman. Dengan kata lain<br />
wanita tidak menjadi subyek yang menentukan arah kemajuan, namun hanya<br />
sekedar sebagai objek-korban dari kemajuan yang terjadi. Eksistensi dan derajat<br />
wanita belum ditempatkan sebagaimana mestinya, sebagai konsekuensi dari<br />
sistem budaya yang ada saat itu. Wanita tenggelam dalam keterpurukan, dan<br />
keterpurukan akan posisi wanita ini semakin diperjelas pada baris ketiga.<br />
Baris ketiga dari puisi ini adalah And bright ships left you this or that in<br />
fee. Pengarang menggunakan metafora bright ships sebagai lambang kekuatan,<br />
kemaskulinan atau kemewahan yang glamor. Sebagai laut sargaso, para wanita<br />
tentu saja akan membiarkan kapal yang berkemilau berlayar di atasnya. Mereka<br />
justru bangga dan senang, bahkan mempersilahkan kapal tersebut melakukan apa<br />
saja di atas laut Sargaso, sepanjang ada kompensasi berupa fee. Dengan demikian<br />
wanita digambarkan sebagai sosok yang materialis karena ia akan membiarkan
lelaki melakukan apa saja demi harga yang akan mereka bayar. Wanita<br />
diibaratkan mampu “menjual diri” demi keuntungan yang akan mereka dapatkan.<br />
Jika pada baris ketiga penggambaran sosok wanita lebih cenderung secara<br />
material, pada baris empat pengarang menggambarkan wantita secara imaterial,<br />
yaitu dengan penekanan pada pemikirannya. Ideas, old gossip, oddments of all<br />
things, menggambarkan segala pemikiran wanita yang dipenuhi dengan hal-hal<br />
yang aneh atau janggal. Bahkan tidak jarang ide-ide wanita hanya berupa old<br />
gossip yaitu gosip murahan yang tidak mempunyai kontribusi apapun dalam<br />
pesatnya perubahan jaman. Pada baris ini, sekali lagi pengarang ingin<br />
menunjukkan bahwa wanita berada dalam posisi yang inferior atau lebih rendah<br />
dari laki-laki karena wanita dianggap tidak memiliki kapabilitas atau pemikiran<br />
yang mencerahkan. Gosip memang menjadi komoditi utama wanita, baik sebagai<br />
pembuat, penyebar atau pun penikmat. Segala sesuatu yang sepele bahkan bisa<br />
menjadi gosip yang bombastis. Hal inilah pada dasarnya yang tidak dapat<br />
dipahami oleh kaum lelaki.<br />
Karena pemikirannya yang seperti itulah, maka pada baris kelima<br />
dinyatakan pengetahuan yang dimilik wanita juga tidak berbeda jauh dengan cara<br />
pemikirannya. Pengarang ingin menggarisbawahi bahwa pola pikir akan<br />
mempunyai implikasi logis terhadap pengetahuan dan cara bertindak. Jika pola<br />
pikirnya dangkal dan terkungkung dan terbelakang, maka pengalaman yang<br />
dimiliki juga aneh dan tidak berkualitas. Hal inilah yang ditekankan oleh<br />
pengarang dengan kalimat Strange spars of knowledge and dimmed wares of<br />
price. Strange spars of knowledge sebagai gambaran pengetahuan yang tidak jelas
asal-usulnya. Strange spars juga bisa berarti pengetahuan yang tidak lazim dalam<br />
arti negatif. Karena keanehan dan ketidaklaziman itulah, bahkan dinilai sangat<br />
tidak bernilai, yang hanya seharga perabotan dapur yang telah rusak. Pandangan<br />
negatif ini terkesan sangat vulgar karena dikiaskan dengan menggunakan<br />
‘perabotan dapur’. Dalam masyarakat patriarkal, dapur dimaknai sebagai domain<br />
wanita. Jika dirunut maka dapat digarisbawahi bahwa perabot dapur dianggap<br />
mempunyai nilai yang lebih rendah dari perabotan lain. Dengan kata lain ketika<br />
penggambaran akan perabotan dapur yang rusak maka hal ini merupakan titik<br />
nisbi yang berarti bernilai terendah dari yang rendah. Begitulah wanita<br />
digambarkan, sangat tidak berarti dan tidak bernilai.<br />
Pada baris selanjutnya pengarang secara eksplisit mulai sedikit<br />
menyinggung tentang pemikiran wanita yang sebenarnya mungkin hebat karena<br />
wanita pada dasarnya juga mempunyai pemikiran besar, namun pemikiran<br />
tersebut belum bisa mengangkat wanita dari keterpurukan. Pemikiran tersebut<br />
justru tetap menjadikan wanita kembali pada kodratnya sebagai makhluk yang<br />
selalu cemburu atau iri pada orang lain. Kecemburuan ini dianggap sebagai suatu<br />
sifat yang melekat pada sosok wanita. Kecemburuan ini pula yang dianggap<br />
sebagai faktor penghambat kemajuan wanita karena syarat utama untuk<br />
mempunyai pikiran-pikaran dan ide-ide besar adalah jiwa besar. Bagaimana<br />
mungkin wanita akan mempunyai jiwa besar jika belum bisa membebaskan diri<br />
dari sifat-sifat jelek yang akan menodai keluhuran pribadinya. Karena sifat<br />
cemburunya itulah maka seringkali wanita merasa iri dan merasa tidak senang jika<br />
ada wanita lain yang memiliki segala sesuatu yang melebihi dirinya. Sehingga
pada baris selanjutnya yang berbunyi Great minds have sought you memberikan<br />
gambaran bahwasanya pemikiran wanita telah menenggelamkan dirinya dalam<br />
pusaran masalah pribadi yang tiada akhir. Pemikiran wanita yang seperti itu justru<br />
menjadi pemicu yang membuatnya menjelek-jelekkan orang lain. Hal ini<br />
berlangsung terus-menerus dan menjadi lingkaran setan yang tiada akhir.<br />
Penggunaan frasa lacking someone else dalam baris ini dapat dimaknai<br />
sebagai kebiasaan wanita yang selalu berusaha mencari kejelekan orang lain untuk<br />
diumbar atau diekspos. Hal ini digunakan pengarang untuk lebih menegaskan sifat<br />
jelek wanita. Karakter wanita yang suka menjelek-jelekkan orang lain pada<br />
dasarnya dilatarbelakangi oleh kecemburuan wanita terhadap orang lain, sehingga<br />
ia akan berusaha melakukan ‘black campaign’ dengan menceritakan aib<br />
sesamanya. Di sisi lain, hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menutupi kejelekan<br />
atau kekurangan dirinya. Dalam pepatah kita sering mendengar istilah ‘barang<br />
siapa suka menjelekkan orang, itu pertanda dirinya kurang’. Pepatah ini sejalan<br />
dengan karakter wanita sebagaimana digambarkan di atas.<br />
Karakter wanita yang kurang baik dalam urusan pribadi seolah telah<br />
menjadi justifikasi khalayak umum. Stigma negatif ini jika dibiarkan akan<br />
menyebabkan wanita terus terpuruk dalam citra negatif yang menghambat<br />
kemajuan dirinya. Oleh karena itu, penyair pada baris berikutnya mencoba untuk<br />
menyadarkan wanita dari sifat-sifat buruk dan konsekuensi yang akan<br />
menimpanya jika tidak melakukan perubahan secepatnya. Sebagai upaya untuk<br />
menyadarkan wanita, dalam baris selanjutnya penyair mengungkapkan ‘You have<br />
been second always’. Melalui kalimat ini penyair ingin menegaskan bahwa opini
publik sudah terlanjur membentuk stigma negatif tentang wanita dan segala<br />
sesuatu yang dilakukannya. Melalui baris ini penyair berusaha untuk<br />
menunjukkan bahwa dalam kenyataannya wanita selalu menjadi yang kedua.<br />
Wanita tidak pernah menjadi yang pertama. Wanita tidak akan pernah sejajar<br />
dengan pria. Karena Sebagai puncknya, pada baris ini penyair mengajukan<br />
pertanyaan kontemplatif ‘tragical?’ yang berarti tragiskah atau menyedihkankah.<br />
Pertanyaan ini bersifat retoris dan interpretatif. Bersifat retoris karena sebenarnya<br />
pertanyaan ini tidak membutuhkan jawaban, sebab semua orang pada dasarnya<br />
bisa mempunyai jawabannya sendiri-sendiri. Pertanyaan ini juga bersifat<br />
interpretatif karena bisa dijawab dengan ‘ya’ atau ‘tidak’ tergantung dari sudut<br />
pandang si penjawab.<br />
Namun demikian, ironisnya harapan penyair yang begitu besar akan<br />
adanya perubahan pada diri wanita ternyata sia-sia. Meskipun wanita mempunyai<br />
potensi untuk berubah dan berbenah sebagaimana pria, akan tetapi potensi<br />
tersebut masih sebatas harapan. Pada kenyataannya wanita justru ‘menikmati’<br />
kondisinya sekarang, tanpa ada usaha untuk keluar dari kungkungan tersebut.<br />
Pada baris berikutnya, ungkapan ‘No. you preferred it to the usual thing<br />
menegaskan kenyataan tersebut. Meski mendapat kritik baik secara halus maupun<br />
secara terang-terangan mengenai eksistensi dan peluang untuk mengikis stigma<br />
negatif pada dirinya, ternyata wanita bisa pernah sadar atau justru tidak mau<br />
sadar tentang segala keburukannya. Wanita justru menganggap berbagai hal<br />
negatif yang ada pada dirinya adalah sesuatu yang wajar dan bukan sesuatu yang<br />
luar biasa atau patut dipersalahkan.
Dengan kata lain, akar masalah yang menyebabkan wanita dalam posisi<br />
yang stagnan, tidak mau berubah, bukan karena wanita memang tidak mempunyai<br />
kemampuan atau peluang untuk berubah, akan tetapi justru karena wanita<br />
memandang eksistensinya yang demikian sebagai suatu kodrat ‘kultural’.<br />
Tentu saja pemahaman yang demikian akan semakin mempersulit wanita<br />
untuk keluar dari imej negatif yang melingkarinya. Berbagai sisi negatif wanita,<br />
seperti rasa cemburu serta suka mengumbar kejelekan orang lain, yang dianggap<br />
oleh kaum lelaki sebagai permasalahan serius yang membuatnya terpuruk, justru<br />
oleh kaum wanita sendiri dianggap sebagai permasalahan sepele yang memang<br />
sudah menjadi kodrat wanita. Sehingga adalah suatu kewajaran jika wanita tidak<br />
bisa melepaskan diri dari sifat-sifat buruk tersebut dan selalu melakukannya<br />
secara berulang-ulang.<br />
Pemakluman akan keburukan sifat wanita inilah akar permasalahan yang<br />
akhirnya justru menghancurkan diri wanita sendiri. Ketidakmampuan wanita<br />
untuk menyadari eksistensinya membuatnya semakin dalam terpuruk dalam<br />
ketidakberdayaan. Bahkan, wanita tidak hanya dianggap tidak mampu, akan tetapi<br />
juga tidak mau peduli dengan dirinya sendiri. Keacuhan wanita akan<br />
permasalahan mereka terebut pada akhirnya terefleksi pada cara pandang dan cara<br />
bersikap. Dalam skala yang lebih besar, bahkan wanita dipandang lebih tidak<br />
rasional dibanding pria. Dengan kata lain hal ini mendukung image bahwa wanita<br />
selalu menjadi yang kedua karena wanita tidak akan pernah menjadi yang pertama<br />
dikarenakan sifat-sifatnya.
Sifat-sifat yang justru diam dalam keterpurukan, suka cemburu serta<br />
senang menjelekkan orang lain, diyakini sebagai faktor pemicu dan pemacu pola<br />
pikir dan pola hidup yang serba instan dan pragmatis. Cara pikir demikian pada<br />
akhirnya mendorong terbentuknya gaya hidup materialistis.<br />
Sifat materialistis tersebut akhirnya menjauhkan wanita dari rasa cinta.<br />
Sehingga pada baris selanjutnya, penyair menulis ‘One dull man, dulling and<br />
uxorious. Kalimat ini menggambarkan betapa sifat materialistis wanita telah<br />
membutakannya dari pertimbangan-pertimbangan rasional. Bahkan, ketika datang<br />
seorang lelaki yang sangat menjemukan dan tidak menarik namun jika lelaki<br />
tersebut mampu memberikan apa yang wanita inginkan, maka wanita-wanita ini<br />
akan melayani lelaki tersebut dengan senang hati.<br />
Kalimat ini sekaligus menggarisbawahi bahwa cinta tidak lagi menjadi<br />
yang utama bagi wanita. Bagi mereka, cinta hanyalah angin sorga yang tidak bisa<br />
memenuhi kebutuhan duniawi. Melalui kalimat ini penyair juga ingin<br />
menunjukkan bahwa wanita sudah tidak mementingkan cinta lagi. Wanita mau<br />
melayani pria meskipun ia tidak mencintainya, asalkan pria tersebut mampu<br />
memberinya harta yang berlimpah. Inilah titik nadir, yang menggambarkan wanita<br />
berada pada posisi yang terendah karena akumulasi karakteristik negatif yang<br />
dimilikinya, dan bahkan dipertahankannya.<br />
Tidak hanya sampai di sini penyair menggambarkan kejelekan wanita,<br />
bahkan pada baris selanjutnya penyair menulis ‘One average mind-with one<br />
thought less, each year’ untuk menggambarkan kemampuan wanita dalam<br />
berfikir. Kemampuan berfikir, merupakan indikator utama yang menentukan
derajat seseorang. Jika kemampuan berfikir seseorang rendah, maka kualitas<br />
personal yang bersangkutan juga rendah. Sebaliknya, kemampuan berfikir yang<br />
bagus akan meningatkan kualitas dan derajat seseorang.<br />
Penggunaan kata ‘average’ dan ‘less’ pada kalimat di atas dimaksudkan<br />
sebagai garis demarkasi. ‘average’ merupakan titik maksimal sehingga titik<br />
lainnya tentu berada di bawahnya. Inilah gambaran nyata tentang pemikiran<br />
wanita. Sebagus-bagusnya pemikiran mereka, hanyalah menyentuh wilayah rata-<br />
rata, sedangkan yang lainnya tentu berada di bawahnya. Dengan penggambaran<br />
ini bisa dibayangkan seperti apa kualitas wanita, yang diperparah bahwa kondisi<br />
tersebut tidak juga kunjung membaik, selalu berulang dari masa ke masa.<br />
Tidak adanya kemauan wanita untuk berubah bahkan membuat pengarang<br />
geram dengan menyindir wanita sebagai orang yang sabar. Tentu saja sabar<br />
dalam hal ini bukanlah sabar yang mempunyai konotasi positif. Sabar dalam<br />
kalimat ini lebih berarti pasif yang sudah keterlaluan. ‘Oh, you are patient, I have<br />
seen you sit’. Jika dipahami melalui perasaan terdalam wanita, kalimat dalam<br />
baris ini merupakan sindiran yang sangat tajam terhadap wanita. Dengan kondisi<br />
yang sudah terpuruk, ternyata wanita masih ‘bersabar’ dan hanya duduk, tanpa<br />
melakukan apapun untuk mengubah keadaan.<br />
Di sisi lain, kesabaran yang dilakukan dengan hanya duduk santai<br />
merupakan kebiasaan wanita yang hanya menunggu kehadiran pria yang akan<br />
memberinya kepuasan materi. Hanya dengan duduk santai maka wanita sudah<br />
dapat memenuhi segala keinginannya. Akibatnya wanita-wanita ini merasa
nyaman dan menikmati posisi tersebut karena tidak perlu lagi bersusah-susah dan<br />
melakukan hal-hal penting untuk menghidupi diri.<br />
Setelah mendeskripsikan karakteristik wanita sampai titik nadir yang<br />
terendah, pada baris selanjutnya penyair mulai berbicara tentang keterlibatan laki-<br />
laki dalam permasalahan yang dihadapi wanita. Penyair percaya bahwa<br />
permasalahan wanita juga tidak terlepas begitu saja dari kontribusi laki-laki.<br />
Pada baris selanjutnya, penyair menulis ‘Hours, where something might<br />
have floated up’. Kalimat ini menegaskan bahwa kondisi kebobrokan sifat wanita<br />
ini telah berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Bahkan sampai akhirnya<br />
floated up atau ketika permasalahan yang lain muncul.<br />
Kaum lelaki seharusnya sadar bahwa keberadaan wanita yang dianggap<br />
sebagai ‘limbah peradaban’ ini seharusnya bisa diminimalisasi jika lelaki<br />
memberikan bimbingan sebagaimana mestinya.<br />
Jika lelaki sadar bahwa wanita adalah bagian dari kehidupan mereka, maka<br />
tidak akan terjadi lagi marjinalisasi wanita. Wanita seharusnya tidak hanya<br />
menjadi pihak yang dipersalahkan atas semua permasalahan yang timbul di<br />
masyarakat. Sudah seharusnya ada keseimbangan peran antara kaum lelaki dan<br />
wanita dalam memainkan peran sosial kemasyarakatan.<br />
Akan tetapi apa hendak dikata, meski pada kenyataannya keterpurukan<br />
wanita tidak semata-mata disebabkan karena faktor wanita semata-mata namun<br />
pada kenyataannya hanya kaum wanitalah yang harus menanggung<br />
konsekuensinya.
‘And now you pay one. Yes, you richly pay menunjukkan bahwa pada<br />
akhirnya wanita harus membayar atau menanggung konsekuensi atas apa yang<br />
telah dilakukannya. Pepatah ‘siapa menanam maka dia yang menuai’ merupakan<br />
ungkapan yang tepat untuk mengartikan pernyataan pada baris ini.<br />
Derita wanita seolah tiada akhir. Secara internal wanita digambarkan<br />
mempunyai begitu banyak karakter negatif, sedangkan secara eksternal dalam<br />
kaitannya dengan lawan jenis maka wanita seringkali hanya dijadikan sebagai<br />
objek yang dieksploitasi oleh kaum laki-laki. Wanita tidak ubahnya seperti sapi<br />
perahan, yang selalu diperas oleh laki-laki.<br />
Kondisi wanita sebagai objek eksploitasi digambarkan penyair pada baris<br />
berikutnya, yaitu ‘You are a person of some interest, one comes to you And take<br />
strange gain away’. Lebih tragis lagi, digambarkan oleh penyarir bahwa banyak<br />
pihak yang memanfaatkan wanita demi tercapainya kepentingan mereka. Secara<br />
leksikal kalimat ini mendeskripsikan bahwa setelah berhasil memenuhi<br />
kepentingan mereka, maka pihak-pihak yang mengeksploitasi wanita dengan<br />
begitu saja meninggalkan mereka tanpa suatu kepedulian.<br />
Baris ini menggambarkan bagaimana lelaki datang dan mengambil<br />
keuntungan atas wanita namun setelah itu ia ditinggalkan begitu saja. Wanita-<br />
wanita ini sangat sulit mendapat cinta sejati, karena dalam stigma lelaki mereka<br />
tidak berhak mendapatkan itu. Ketika lelaki mendekati-wanita-wanita ini dan<br />
telah mendapatkan apa yang mereka mau, maka lelaki-lelaki ini bisa pergi begitu<br />
saja meninggalkan mereka tanpa memperdulikan perasaan mereka. Begitulah<br />
fakta yang ada, meski selalu diperas dan disakiti namun wanita tetap saja
menikmati kondisi ini sepanjang mereka mendapatkan kompensasi material sesuai<br />
yang diinginkannya.<br />
Pada baris selanjutnya ada pernyataan mengenai wanita yang menarik<br />
yaitu Trophies fished up; some curious suggestion; . Hal ini menunjukkan bahwa<br />
wanita terlena dalam ide-ide lelaki seperti dalam frase some curious suggestion.<br />
Ide-ide inilah yang menina-bobokkan wanita karena pada akhirnya wanita seperti<br />
dibandingkan dengan piala yang selalu dijadikan rebutan dengan disanjung-<br />
sanjung dan dipuja-puja.<br />
Agaknya hal ini merupakan fakta yang ada dibelahan dunia manapun<br />
seperti yang terdapat dalam baris Fact that leads nowhere. Dan fakta ini telah ada<br />
sejak dulu kala sehingga telah menjadi cerita turun temurun atau mitos yang<br />
dipercaya dari generasi ke generasi. Hal ini dapat dilihat pada frase dalam baris ini<br />
yaitu a tale or two. Bahwasanya wanita selalu dipuja dengan pujian-pujian yang<br />
membuatnya menjadi besar kepala adalah satu hal yang wajar. Jika wanita mau<br />
menyadari pada dasarnya pujian-pujian ini justru menjatuhkannya kejurang<br />
kehancuran karena pujian-pujian ini hanya membuatnya terlena.<br />
Kejelekan wanita yang digambarkan ternyata tidak sebatas materalistis<br />
saja. Pregnant with mandrakes, or with something else. Sosok wanita yang<br />
digambarkan dalam puisi ini bahkan mampu menggunakan ramuan tertentu untuk<br />
mendapatkan keturunan atau hamil. Mandrakes adalah ramuan khusus yang<br />
digunakan untuk kehamilan, meskipun terkadang ketika ramuan itu tidak terbukti<br />
khasiatnya tetap saja wanita menggunakannya sebagai jalan pintas atau pelarian.<br />
Hal ini juga masih berkaitan dengan sifat wanita yang mudah sekali termakan isu
atau iming-iming yang menggiurkan. Seperti tergambar pada baris selanjutnya<br />
yaitu That might prove useful and yet never proves,. Wanita tetap saja memilih<br />
jalan pintas sebagai penyelesaian masalah atau untuk mendapatkan apa yang ia<br />
mau meskipun jalan pintas ini tidak pernah terbukti keampuhannya atau<br />
khasiatnya.<br />
Keberadaan dari mandarakes ini sebenarnya tidak tentu rimbanya atau<br />
tempatnya seperti tergambar dalam baris That never fits a corner or shows use.<br />
Dan bahkan hal ini tidak pernah terbukti. Maka seharusnya hal ini menjadi<br />
pertimbangan wanita untuk melangkah lebih lanjut. Wanita tidak berpanjang pikir<br />
untuk meneruskan niatnya menggunakan jalan pintas tersebut meskipun pada<br />
kenyataannya akan sangat sulit bagi mereka untuk menemukan mandrakes atau<br />
ramuan ini.<br />
Dan bahkan ketika dalam menemukan ramuan ini wanita-wanita tersebut<br />
harus menghabiskan waktu berjam-jam atau mungkin berhari- hari tanpa<br />
keceriaan agaknya hal ini tetap akan dijalani oleh wanita-wanita tersebut asalkan<br />
mereka mendapat apa yang mereka mau. Hal ini tergambar jelas dalam line yang<br />
berbunyi Or find its hour upon the loom days:. Loom days adalah gambaran hari –<br />
hari panjang yang dilalui wanita-wanita ini untuk mencari dan mendapat ramuan<br />
tersebut.<br />
Hari hari panjang tersebut bukan halangan bagi mereka untuk mencari apa<br />
yang mereka mau. Maka tidaklah mengherankan jika kmeudian wanita dianggap<br />
sebagai barang yang tidak berharga. The tarnished, gaudy, wonderful old work;<br />
adalah baris yang menunjukkan bahwa wanita merupakan replika barang yang
karatan, tidak indah, meskipun mungkin menarik tapi merupakan hasil karya lama<br />
yang sudah kuno. Lalu dimanakah akhirnya letak keindahan wanita jika semua<br />
tampak sangat jelek.<br />
Menjadi idola dan kembang pembicaraan dimana-mana merupakan satu-<br />
satunya kekayaan wanita yang tidak dapat dinafikkan keberadaanya. Wanita tidak<br />
memiliki kekayaan intelektual, karena wanita hanya memiliki pemikiran yang<br />
biasa-biasa saja. Pemikiran murahan yang dipenuhi oleh gosip, keinginan<br />
mendapatkan kekayaan dengan menjual diri, dan kesabaran untuk mendapat lelaki<br />
yang diinginkannya. Hal – hal buruk itulah yang dianggap sebagai kekayaan<br />
wanita. Seperti dalam baris yang berbunyi Idols and ambergris and rare inlays,<br />
These are your riches, your great store; and yet.<br />
For all this sea-hoard of deciduous things merupakan gambaran tentang<br />
kekayaan wanita tersebut yang diibaratkan sebagai harta dilaut yang bisa diapa-<br />
apakan. Karena begitu luasnya laut maka laut mampu menyimpan bayak sekali<br />
barang-barang. Namun sungguh disayangkan barang-barang ini adalah gambaran<br />
sesuatu yang tidak bernilai. Sosol wanita ini kemudian digambarkan layaknya<br />
Strange woods half sodden atau kayu yang hampir tenggelam. Ini adalah<br />
gambaran bahwasanya semua kejelekan wanita membawanya menuju<br />
keruntuhannya. Frase selanjutnya yang berbunyi and new brighter stuff memberi<br />
gambaran pencerahan tentang keberadaan wanita yang bisa juga diibaratkan<br />
sebagai barang-barang yang bersinar atau mewah namun kosong maknanya atau<br />
tidak bernilai.
Keindahan ini pada dasarnya semu karena kesemuanya itu akhirnya<br />
terbengkelai dalam cahaya dan mengambang tanpa tahu arah pasti. In the slow<br />
float of differing light and deep, menunjukkan bahwa secara perlahan barang-<br />
barang tersebut akan mengambang dalam cahaya dan kedalaman. Wanita akan<br />
terombang-ambing dalam ketidakpastian akan keburukan sifatnya.<br />
Pada akhirnya pengarang menekankan pada wanita bahwa pada dasarnya<br />
wanita itu bukan apa-apa. Ia tidak bermakna, dalam satu dan bahkan semua hal<br />
yang ada pada dirinya. Wanita adalah zero, ia adalah makhluk yang tidak<br />
bermakna esensinya. Wanita tidak bermakna dalam keberadaannya di semesta ini.<br />
Hal ini dipertegas dalam baris yang berbunyi No!there is nothing! In the whole<br />
and all,.<br />
Pada baris terakhir pengarang masih saja ingin mengkritik wanita atas<br />
segala keburukannya tersebut seperti dalam baris Nothing that’s quite your own.<br />
Pengarang juga ingin mengingatkan kembali bahwa jika wanita tetap saja<br />
berperilaku seperti ini maka pada dasarnya ia benar-benar nisbi. Wanita tidak<br />
memiliki apapun jika ia tetap saja bertahan dengan ego dan kejelekan-kejelekan<br />
sifatnya tersebut. Wanita tidak akan pernah mampu bersaing dan berkembang.<br />
Maka sungguh ironis ketika dikatakan bahwa smeua kekayaan wanita itu adalah<br />
nonsense atu tidak berarti sama sekali karena pada dasarnya ia tidak memiliki apa-<br />
apa. Ia hanya memiliki tubuhnya saja atau hanya dirinya saja seperti dapat dikutip<br />
pada kalimat di baris terakhir yaitu:Yet this is you.
BAB 4<br />
<strong>SOSOK</strong> <strong>WANITA</strong> <strong>DALAM</strong> <strong>PUISI</strong> PORTRAIT D’UNE FEMME<br />
Semiotik memberi ruang yang lebar untuk menganalisis berbagai tanda<br />
yang ada didunia ini. Semiotik menjadi sangat menarik untuk digunakan<br />
menganalisis puisi karena pemaknaan puisi akan semakin komprehensif. Salah<br />
satu puisi yang menarik adalah karya Ezra Pound yang berjudul Portrait d’une<br />
Femme atau dalam bahasa Inggris diartikan ‘A Portrait of a Lady’. Puisi ini<br />
menggambarkan bagaimana pandangan pengarang atau lelaki terhadap sosok<br />
wanita. Wanita digambarkan sebagai sosok yang penuh dengan atribut<br />
memuakkan. Wanita digambarkan sebagai sosok yang selalu menjadi yang kedua.<br />
Wanita tidak pernah mendapat porsi untuk menjadi yang pertama dan semua ini<br />
dianggap mutlak kesalahan wanita.<br />
Pada bab ini puisi akan dibahas melalui pendekatan semiotika. Bab ini<br />
akan terbagi menjadi beberapa sub bab yaitu:<br />
4.1. Identifikasi Dramatic Situation<br />
Setelah mendapatkan penanda utama (prime signifier) dalam teks,<br />
selanjutnya penulis akan mengidentifikasi situasi dramatik puisi.<br />
Identifikasi situasi dramatis dilakukan untuk mencari korelasi antara sender,<br />
receiver, message, context, content, dan codenya.
4.2. Identifikasi Denotatif dan Konotatif (Metafor dan Metonimi)<br />
Pada sub bab ini penulis mengidentifikasi denotatif dan konotatif puisi ini<br />
dengan menganalisis metafor dan metonimi yang ada dalam puisi. Pada<br />
bagian ini akan diidentifikasi pula tenor dan vehicle pada metafor yang ada<br />
dalam puisi sehingga akan menghasilkan alternatif pemaknaan dalam dua<br />
tingkatan yaitu first order of signification dan second order of signification.<br />
4.3. Intertekstualitas teks<br />
Intertekstualitas teks dilakukan untuk mencari kaitan teks dengan teks-teks<br />
lain. Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi kemunculan teks lain dalam<br />
puisi ini (intratekstualitas) atau mengaitkan dengan teks lain diluar teks.<br />
4.4. Stereotipe perempuan dan dominasi budaya patriarkal dalam puisi Portrait<br />
d’une Femme<br />
Pada bab ini penulis akan mengidentifikasi sterotipe perempuan dan budaya<br />
patriarkal yang tercermin dalam puisi ini. Tentunya hal ini akan dikaitkan<br />
dengan kajian feminisme terutama yang berkaitan dengan mitos.<br />
4.1. Dramatic Situation atau Persona (Sender, Receiver, Context, Message,<br />
Content, Code)<br />
Penanda utama (prime signifier) dalam puisi ini adalah wanita. Penyair<br />
mencoba memotret wanita dari kaca matanya sebagai pria. Dengan melihat fakta<br />
bahwa wanita tidak juga melakukan perubahan, maka penyair berusaha<br />
mengkritik wanita lewat puisi ini.
Mengidentifikasi dramatic situation dalam sebuah puisi merupakan<br />
langkah awal yang harus dilakukan dalam pendekatan semiotik. Dramatic<br />
situation ini pada dasarnya merupakan aplikasi dari teori dasar komunikasi. Jika<br />
dikaitkan dengan ranah sastra, ada satu hal yang harus digaris bawahi bahwa<br />
sastra juga diciptakan dengan tujuan tertentu. Tujuan inilah yang kemudian dapat<br />
dijabarkan bagaimana pengarang sebagai sender mengirimkan pesan melalui<br />
karyanya kepada receiver atau yang dalam hal ini berarti pembaca.<br />
Pengarang akan menggunakan persona untuk menyampaikan pesan dalam<br />
karyanya. Melalui persona, penyair menyembunyikan diri dan menggantikan<br />
kehadiranya dalam karya. Situasi dramatik atau Dramatic situation dalam puisi ini<br />
adalah penyair sebagai persona. Puisi ini diciptakan dan ditujukan pada specific<br />
reader yaitu wanita. Karakter wanita digambarkan dalam baris-baris yang ada<br />
dalam puisi ini.<br />
Dengan mengaplikasikan teori dasar komunikasi terhadap puisi portrait<br />
d’une femme ini, maka yang berperan sebagai sender adalah penyair/pengarang,<br />
sedangkan receiver adalah pembaca/reader. Hal ini dapat dilihat pada baris-baris<br />
yang ditulis oleh pengarang. Pada baris pertama pengarang mengatakan Your<br />
mind and you are Sargasso Sea. Lebih jelas lagi dalam baris sebelas pengarang<br />
menyebutkan:<br />
Oh, You are patient, I have seen you sit.<br />
Kata ganti orang pertama I yang dimaksud adalah pengarang maka ia<br />
adalah sendernya, dan you adalah wanita atau pembaca sehingga wanita tersebut<br />
berperan sebagai receiver.
Dalam puisi ini, contextnya adalah gambaran tentang sosok wanita dari<br />
kalangan tertentu yang ada pada saat diciptakannya puisi tersebut. Sedangkan<br />
message yang hendak disampaikan adalah hendaknya wanita menyadari bahwa<br />
mereka selama ini selalu dinomor duakan. Wanita harusnya mampu menjadi lebih<br />
baik dari pada hanya memikirkan gosip, membicarakan orang, atau menghadapi<br />
hidup dengan jalan yang picik. Hal ini dituliskan oleh pengarang dalam baris yang<br />
berbunyi:<br />
You have been second always. Tragical?<br />
Wanita-wanita dalam puisi ini seolah terlena dengan cara hidup mereka<br />
yang mengorbankan cinta demi mendapatkan harta. Bahkan samapai baris terakhir<br />
dalam puisi ini wanita wanita ini digambarkan sebagai sosok wanita ini tidak<br />
mampu mau merubah diri. Segala hal yang dilakukan mereka pada dasarnya<br />
menjadikan blunder bagi dirinya sendiri. Wanita-wanita ini seharusnya menyadari<br />
bahwa ketika mereka dihargai berdasarkan materi itu bukan berarti mereka hebat<br />
karena telah mampu membodohi pria. Namun justru sebenarnya wanita-wanita ini<br />
telah kehilangan esensi diri sebagai seorang “wanita” sejati. Kecantikan atau<br />
semua milik mereka pada dasarnya adalah semu, karena kalau mereka sadari<br />
sebenarnya mereka tidak memiliki apapun kecuali diri mereka saja.<br />
4.2. Metafor dan Metonimi<br />
Manusia tidak pernah menyadari bahwa dalam setiap sisi kehidupan telah<br />
menggunakan metafor. Metafor telah masuk ke tataran ketaksadaran dalam<br />
komunikasi. Setiap kata yang terucap pada dasarnya adalah metafor, namun dalam
perkembanganya metafor ini menjadi kata-kata yang seolah wajar atau bermakna<br />
leksikal.<br />
Puisi portrait d’une femme merupakan puisi yang kaya akan metafor.<br />
Hampir keseluruhan metafor yang ada pada puisi ini mendukung ide tentang<br />
bagaimana lelaki memandang wanita sebagai sosok yang kedua. Sosok yang<br />
dinafikkan kehadirannya, dan bahkan terkadang dianggap tidak penting<br />
eksistensinya. Dalam pandangan pengarang yang mewakili pemikiran lelaki,<br />
bahwasanya wanita akhirnya dipandang bukan sebagai yang pertama adalah<br />
sebuah kesalahan yang bersumber dari wanita itu sendiri. Wanita membiarkan<br />
dirinya berkembang dengan sifat-sifat buruknya. Wanita dianggap tidak pernah<br />
mau merubah diri untuk menjadi lebih baik karena wanita terlena dalam<br />
keindahan semu yang ditawarkan kepadanya.<br />
Pada baris pertama puisi portrait d’une femme karya Ezra Pound, ‘Your<br />
mind and you are Sargasso Sea’ yang berarti bahwa pikiran wanita ibarat laut<br />
Sargasso, yaitu laut di Atlantik Utara yang mempunyai karakter bahwa laut ini<br />
mampu memacetkan perahu karena begitu banyaknya rumput laut yang<br />
bertebaran. Tentunya bukan makna Sargasso sea sebenarnya yang diambil karena<br />
kata ini diambil untuk menunjukkan betapa pikiran wanita memang penuh dengan<br />
pemikiran yang beraneka ragam.<br />
Pada first level siginification, Sargasso Sea merupakan penggambaran laut<br />
yang penuh ganggang sehingga mampu memacetkan perahu-perahu yang lewat di<br />
atasnya. Pada second level signification, Sargasso Sea merupakan sebuah analogi<br />
yang dipilih pengarang untuk menyamakan antara pemikiran wanita yang ruwet
dan seringkali menghambat kemajuan dirinya. Mind atau pemikiran wanita<br />
disamakan dengan Sea. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya pemikiran wanita<br />
itu luas, tak berujung, bahkan tidak dapat ditebak. Jika laut yang dipilih adalah<br />
Sargasso maka pengarang ingin menunjukkan satu keunikan dari karakter laut ini<br />
yang sama dengan pemikiran wanita yaitu ruwet dan stagnan. Stagnan berarti<br />
statis dan tidak mau mengadakan perubahan meskipun perubahan ini adalah<br />
perubahan menuju kebaikan. Wanita adalah sosok yang misterius dan sangat<br />
susah untuk diselami pemikirannya. Jika laut Sargasso mampu menjebak kapal<br />
dengan ganggangnya, maka wanita juga mampu menjebak dan menganyutkan pria<br />
dengan kemisteriusannya. Lelakilah yang menciptakan mitos bahwa wanita adalah<br />
kemisteriusan yang harus ditaklukkan.<br />
Baris ke-1:<br />
Vehicle: Your mind and you are our Sargasso Sea<br />
Tenor: Your mind and you are submissive<br />
Sumbu paradigmatik yang dapat diurai dari baris diatas adalah<br />
Literal : Your mind and you are submissive<br />
Metaforik : Sargasso Sea<br />
Red Sea<br />
Passive<br />
paradigmatik
Ketika pengarang memilih menggunakan analogi mind dengan laut hal ini<br />
dikarenakan kesamaan paradigma bahwasanya pikiran wanita sedalam laut. Ini<br />
berarti bahwa pikiran wanita tidak dapat ditebak namun demikian dapat dilihat<br />
dari surfacenya, yang secara fisik Sargasso Sea adalah laut di samudera atlantik<br />
utara dengan karakter yang unik dan mampu memacetkan perahu. Sargasso Sea<br />
dipilih dan bukan red sea atau Pacific ocean dengan tujuan untuk memadukan<br />
paradigma yang sama antara pemikiran wanita dengan Sargasso Sea. Kesamaan<br />
Ini memang lebih disebabkan pada kesamaan dan keunikan karakter keduanya.<br />
Baris kedua adalah London has swept about you this score years, yang<br />
berarti bahwa London telah menafikkan wanita selama beberapa kurun waktu ini.<br />
Wanita tidak pernah diperhitungkan keberadaanya. London merupakan metafor<br />
yang dapat berarti sebagai sebuah kemajuan atau sebuah kekuatan yang<br />
mendominasi kekuatan yang lain.<br />
Dalam baris ini, tenor dan vehiclenya dapat diidentifikasi sebagai berikut:<br />
Baris ke-2:<br />
Vehicle : London has swept about you this score<br />
years<br />
Tenor : Man neglect
Paradigmatik<br />
Literal : Man has neglect about you this score<br />
years<br />
Metaforik Ordinate eliminate<br />
Power ignore<br />
London swept<br />
paradigmatik paradigmatik<br />
Pada first level of signification, London dimaknai sebagai sebuah kekuatan<br />
atau kemajuan yang mendominasi kekuatan lain. Jika dikaitkan antara Amerika<br />
dan Inggris, maka dapat ditarik benang merah bahwasanya Amerika pernah<br />
dijajah Inggris. Jadi inggris yang diwakili oleh London adalah gambaran sebuah<br />
kekuatan besar. Karena itulah tidak dipilih New York atau kota-kota yang besar<br />
yang lain sebagai pembanding. Hal ini lebih ditujukan untuk mencari pembanding<br />
yang lebih cocok.<br />
Pada second level of significaton, London dapat dimaknai sebagai pria<br />
atau lelaki. Secara umum, pria adalah simbol kekuatan yang mendominasi<br />
kekuatan lain, yang dalam hal ini berarti pria menguasai wanita. Pria selalu<br />
menjadi yang pertama dan memandang dirinya lebih hebat dari pada wanita.<br />
Karena itulah dalam stigma di masyarakat pria lebih hebat dibanding wanita. Pria<br />
mempunyai hak untuk berada dalam area publik sedangkan wanita hanyalah<br />
berkutat dengan urusan domestik.
Dalam baris berkutnya, ‘And bright ships let you this or that in fee, bright<br />
ships’ bukan berarti kapal yang berwujud cerah. Bright ships merupakan<br />
gambaran orang kaya yang mampu membayar wanita-wanita itu sehingga boleh<br />
melakukan apa saja terhadapnya. Ia bisa datang dan pergi sesuka hatinya tanpa<br />
memperdulikan wanita-wanita ini karena lelaki kaya ini telah membayar. Ships<br />
dipilih karena memiliki kesamaan paradigma dengan laut. Tidak mungkin dipilih<br />
car atau kendaraan darat lainnya karena pada baris pertama pembanding yang<br />
dipilih adalah laut. Ships atau kapal akan berlayar di atas laut, yang dalam hal ini<br />
adalah laut Sargasso. Ships yang berlayar pun tidak sembarang kapal, namun<br />
penggambaran kapal disini adalah kapal yang cerah atau bright ships.<br />
Kesamaan paradigma yang dipilih oleh pengarang untuk menghasilkan<br />
sebuah puisi membutuhkan satu lompatan imajinatif yang akan mampu memberi<br />
efek yang lebih indah. Keberadaan bright ships di laut merupakan sebuah<br />
lompatan imajinatif yang dipilih oleh Ezra Pound untuk menggambarkannya<br />
sebagai sebuah kesatuan. Hubungan antara laut dan kapal memang sangat dekat,<br />
karena dalam benak masyarakat ketika berpikir tentang laut maka akan terpikirkan<br />
pula kapal.<br />
Pada baris ini pengarang memilih kata you untuk merujuk tentang wanita.<br />
Dalam hal ini pengarang seolah ingin mendudukkan wanita dan mengajak bicara<br />
wanita tentang fakta yang ada. Fakta ini seolah merupakan sebuah kenyataan yang<br />
dinafikkan wanita, karena sifat materialistis wanita dianggap sebagai sebuah<br />
kewajaran dan mendapat pemakluman dalam porsi yang berlebih. Kata Fee<br />
merupakan satu implikasi adanya kaitan antara wanita dan harta karena kata ini
erarti sebuah bayaran atau uang. Secara lebih jelas tenor dan vehiclenya dapat<br />
dilihat pada bagan dibawah:<br />
Baris ke-3<br />
Vehicle : And bright ships left you this or that in fee:<br />
Tenor : Rich man set down money<br />
Paradigmatik:<br />
Literal : And Rich man set down you this or that in money<br />
Metaforik: money/wealth went away bill<br />
payment<br />
Dominate power move out<br />
Bright ships left fee<br />
Paradigmatik Paradigmatik<br />
Titik dua pada akhir baris dari baris ini merupakan eliciting baris<br />
berikutnya. Bahwa lelaki meninggalkan mereka karena beberapa hal berikutnya<br />
yang merupakan sumber masalah. Hal-hal yang membuat msalah tersebut adalah<br />
ideas, old gossip, oddments of all things. Gosip dan ide-ide wanita merupakan
sumber masalah yang muncul dan membuat stigma buruk tentang wanita di<br />
masyarakat.<br />
Pada first level of signification, bright ships merupakan sebuah analogi<br />
atau metafor untuk membandingkan dan mengaitkan dengan laut Sargasso.<br />
Pengarang tidak memilih jenis kendaraan lain misalnya car atau plane karena ship<br />
mempunyai hubungan dengan sea. Bright ships merupakan gambaran kapal<br />
mewah. Pada second level of signifaction, bright ships dapat dimaknai dalam<br />
kesamaan paradigma yaitu kemewahan. Sehingga benang merah antara keduanya<br />
merupakan gambaran suatu kemewahan atau kekayaan. Jadi bright ships<br />
merupakan metafor bagi lelaki –lelaki kaya yang mampu membayar wanita-<br />
wanita ini.<br />
Pada baris ketiga strange spars of knowledge merupakan analogi<br />
pemikiran wanita yang dianggap aneh atau tidak lazim. Spars merupakan muara<br />
akhir dari pemikiran wanita.Ketika suatu pemikiran dikatakan tidak lazim berarti<br />
ada pembanding.<br />
Untuk melihat first level of signification pada baris ini ada satu lompatan<br />
imajinatif yang harus berkreasi. Strange spars of knowledge and dimmed wares of<br />
price mengarah pada pemikiran wanita yang cenderung aneh dan tidak berharga.<br />
Ini berarti bahwa pemikiran wanita dianggap tidak brillian. Sayangnya wanita<br />
tidak pernah dan tidak mau menyadari akan hal ini. Spars memiliki kesamaan<br />
paradigma dengan ending atau muara akhir, sedangkan dimmed berarti rusak.<br />
Dimmed adalah kata yang dipilih oleh pengarang dan bukan kata ruin karena<br />
memiliki efek yang lebih puitis.
Pada second level of signification, baris tersebut dapat dikorelasikan<br />
dengan menilik aspek lain yang lebih dekat. Pemikiran wanita yang aneh dan<br />
statis ini ibarat sama rendahnya dengan perabot yang telah rusak. Ketika perabot<br />
dikaitkan dengan wanita, maka yang terbersit kemudian adalah perabot dapur.<br />
Karena seperti yang diakui secara umum bahwasanya dapur merupakan ranah<br />
domestik wanita. Kedekatan paradigma antara keduanya seolah menunjukkan<br />
betapa rendah nilai dari sebuah perabot dapur yang telah rusak.<br />
Dengan membandingkan karakteristik perabot dapur dengan pemikiran<br />
wanita, maka kejelekan sifat wanita seolah hendak ditunjukkan. Pemikiran-<br />
pemikiran wanita ini telah membawa mereka pada stagnansi. Namun cara yang<br />
ditempuh sangat tidak elegan karena dengan cara menjelek-jelekkan orang lain<br />
maka ia berusah menutupi kekurangannya.<br />
Baris ke-6<br />
Vehicle : Great minds have sought you-lacking someone else.<br />
Tenor : lead<br />
Pada tingkatan pemaknaan pertama, pemikiran wanita dianggap telah<br />
menenggelamkan mereka. Menenggelamkan berarti memiliki kesamaan makna<br />
dengan menjadikannya sebagai blunder. Sehingga pada pemaknaan di level kedua,<br />
blunder ini dianggap sebagai lingkaran setan yang menjebak mereka. Blunder
inilah yang menjadi penyebab tidak berkembangnya wanita karena dalam<br />
kenyataannya wanita-wanita ini pun semakin larut dan terjebak dalam blunder<br />
tersebut.<br />
Paradigmatik :<br />
Literal : Great minds have Lead you-lacking someone else<br />
Metaforik: Drive<br />
Baris ke-7<br />
Sought<br />
paradigmatik<br />
Sosok wanita dalam puisi ini meskipun digambarkan memiliki kekurangan<br />
dan kejelekan sifat seperti pada baris-baris sebelumnya, namun ia juga<br />
digambarkan sebagai sosok yang sabar. Pada first level of signification sit dapat<br />
dimaknai sebagai kesabaran yaitu kesabaran untuk menunggu kapal-kapal untuk<br />
berlabuh. Sedangkan kapal atau bright ship telah dimaknai sebagai gambaran<br />
lelaki kaya atau berharta.<br />
Pada second level of signification dapat dilihat adanya perubahan<br />
paradigma. Kata sit tidak berarti sikap duduk seorang wanita karena ia menunggu<br />
sesuatu, namun kata sit digunakan untuk menunjukkan suatu gerakan statis yang<br />
berarti sangat susah untuk melakukan perubahan. Jika pengarang memilih kata<br />
stand atau sleep, tentunya hal ini akan bermakna berbeda. Dengan mengaitkan<br />
antara baris ini dengan baris-baris sebelumnya atau selanjutnya, sit berarti bahwa
wanita cenderung pasif. Kepasifan ini dikarenakan ia tidak mau melakukan<br />
perubahan untuk menjadikan hidupnya lebih baik.<br />
Hal ini dapat dijabarkan seperti dalam analisis sebagai berikut:<br />
Vehicle : Oh, you are patient, I have seen you sit<br />
Tenor : be passive<br />
Paradigmatik:<br />
Literal : Oh, you are patient, I have seen you are Passive<br />
Metaforik: Wait<br />
Take a seat<br />
Sit<br />
paradigmatik<br />
Dalam baris ketujuh ini jelas sekali tergambar dalam benak lelaki<br />
bahwasanya wanita selalu menjadi yang kedua. Wanita tidak pernah menjadi yang<br />
pertama, ia selalu di nomor duakan. Pada pemaknaan tingkat awal ada suatu<br />
kecenderungan untuk mengatakan bahwa wanita selalu menjadi yang kedua.<br />
Namun pada pemaknaan tingkat selanjutnya terdapat suatu perubahan paradigma<br />
yang menunjukkan adanya kesamaan antara ’menjadi yang kedua’ dan ’menjadi<br />
pihak yang inferior’. Wanita merupakan subordinate dan lelaki merupakan<br />
ordinatenya.
Pada kenyataannya, dibelahan dunia manapun kedudukan wanita memang<br />
tidak pernah berkembang. Wanita akan selalu didominasi oleh lelaki. Sistem<br />
budaya dimanapun dan kapanpun ternyata juga melanggengkan stigma ini.<br />
Dengan kata lain, meskipun wanita berusaha namun wanita-wanita ini tidak akan<br />
pernah mampu menjadi sejajar dengan laki-laki. Keberadaan atau ketiadaan<br />
mereka pada dasarnya tidak memiliki urgensi dimasyarakat. Wanita adalah<br />
makhluk nomor dua, dan tidak akan pernah mampu untuk menjadi yang pertama.<br />
Mereka harus menjelma menjadi Sosok yang Lain seperti yang dikehendaki lelaki<br />
jika mereka ingin diakui eksistensinya.<br />
Baris ke-7<br />
Vehicle : You have been second always. Tragical?<br />
Tenor : underestimated<br />
Paradigmatik :<br />
Literal :You have been underestimated always. Tragical?<br />
Metaforik : Next<br />
Inferior<br />
Second<br />
Paradigmatik
Pada baris 8, ketika wanita-wanita ini telah menjalani kehidupannya<br />
yang seperti itu dari hari ke hari dan segalanya menjadi buruk, justru hal ini tidak<br />
menjadikan mereka berubah. Pada first level of signification, wanita-wanita ini<br />
digambarkan telah terjebak dalam rutinitas yang seperti itu dalam waktu yang<br />
lama. Kata hours tidak dimaknai sebagai berjam-jam, namun hours merupakan<br />
gambaran yang ditekankan pada waktu yang terus bergulir. Floated up merupakan<br />
gambaran ketika sesuatu mulai muncul dipermukaan atau mengambang. Dalam<br />
hal ini konteks paradigma bisa dikaitkan dengan laut yang telah digunakan<br />
sebagai analogi pada baris pertama.<br />
Perubahan yang signifikan pada second level of signification, hours yang<br />
tadinya dimaknai sebagai berjam-jam bisa memiliki makna berbeda yaitu kurun<br />
waktu atau periode yang cukup lama. Pengarang tidak memilih second atau day<br />
pada dasarnya untuk menekankan efek yang ditimbulkan dari pemaknaan hours.<br />
Periode ini merupakan gambaran waktu yang telah berjalan ketika dalam<br />
kehidupan tersebut wanita-wanita ini tidak melakukan perubahan.<br />
Frasa floated up dipilih dan bukan appear untuk memberi efek puitis pada<br />
baris ini. Secara harfiah floated berarti mengambang atau muncul dipermukaan<br />
namun frase Floated up ini tidak berarti mengambang atau muncul. Jika dikaitkan<br />
dengan permasalahn sosial yang ada dan stigma masyarakat tentang wanita-wanita<br />
yang tergambar dalam puisi ini maka Floated up bisa berarti memburuknya<br />
kondisi wanita-wanita ini yaitu kondisi mereka dimata masyarakat.
Baris ke-8<br />
Vehicle : Hours, where something might have floated up.<br />
Tenor : indefinite time deteriorated<br />
Paradigmatik:<br />
Literal : Long time, where something might have worsen<br />
Metaforik: years, deteriorated<br />
Baris ke-8 :<br />
Indefinite time soar<br />
Hours floated<br />
Paradigmatik paradigmatik<br />
Kenyataan yang ada menjadikan wanita-wanita ini pada akhirnya harus<br />
membayar apa yang telah mereka pilih. Hal ini pada dasarnya adalah konsekuensi<br />
yang ada atas pilihan kita. Pada pemaknaan di level pertama, pay berarti harus<br />
membayar. Wanita-wanita ini harusnya menyadari bahwa stigma negatif yang<br />
muncul merupakan dampak atau efek atas apa yang telah mereka perbuat.<br />
Sehingga dalam pemaknaan dilevel selanjutnya hal ini dapat dikorelasikan sebagai<br />
sebuah kompensasi atau harga yang harus mereka bayar atas apa yang telah
terjadi. Stigma yang buruk ini tidak mungkin ada jika mereka tidak melakukan<br />
perbuatan atau memiliki sifat buruk seperti ini.<br />
Baris ke-13<br />
Vehicle : And now you pay one. Yes, you richly pay.<br />
Tenor : compensate<br />
Paradigmatik<br />
Literal : And now you compensate one. Yes, you richly<br />
pay<br />
Metaforik: Forfeit<br />
Baris ke-13:<br />
Pay<br />
paradigmatik<br />
Ketika wanita-wanita ini sadar bahwa mereka telah dibodohi namun tetap<br />
saja mereka tidak merubah diri. Lelaki dapat berperilaku sekehendak hati mereka<br />
dan pergi meninggalkan mereka tanpa memperdulikan mereka. Pada pemaknaan<br />
di level pertama, lelaki mengambil milik wanita dan meninggalkan mereka.<br />
Namun mengambil bukan berarti secara harfiah mengambil suatu barang. Pada<br />
pemaknaan dilevel kedua, mengambil berarti bahwa lelaki-lelaki ini bisa berbuat
apa saja terhadap wanita. Lelaki-lelaki ini hanya mengambil keuntungan saja dari<br />
wanita setelah mereka bebas begitu saja untuk pergi meninggalkan mereka.<br />
Vehicle : And takes strange gain away:<br />
Tenor : peculiar<br />
Paradigmatik :<br />
Literal : And takes peculiar away:<br />
Metaforik: odd<br />
paradigmatik<br />
Strange gain<br />
Pada baris ini disebutkan trophies fished up, trophies merupakan pilihan<br />
kata penyair yang selain memiliki efek puitis juga memiliki tujuan lain. Trophies<br />
dipilih dan bukan prize berarti bahwa sebagai sebuah lambang akan<br />
kemenangan. Pada level pemaknaan tingkat pertama, kemenangan akan selalu<br />
mendapatan hadiah. Kemenangan inilah yang kemudian muncul sebagai sebuah<br />
kompensasi yang diinginkan. Pada pemaknaan di level kedua, trophies tidak lagi<br />
memiliki makna literal yaitu sebagai sebuah penghargaan akan sebuah<br />
kemenangan. Penghargaan ini akhirnya bisa saja tidak berwujud barang tapi bisa
jadi hanya pujian-pujian akan kehebatan sseorang. Pada wanita, ukuran kehebatan<br />
ini biasanya dimulai dari fisik yang cantik, seksi dan menggoda. Pujian-pujian<br />
yang ditujukan pada wanita-wanita inilah yang akhirnya mewakili makna pada<br />
baris ini.<br />
Sedangkan fished up berarti muncul kepermukaaan layaknya fish atau ikan<br />
yang kadang timbul kadang tenggelam. Pada pemaknaan selanjutnya, muncul dan<br />
tenggelamnya pujian ini merupakan satu rangkaian yang bisa didefinisi sebagai<br />
pujian yang mungkin didapatkan atau tidak lagi diucapkan. Bahkan kemudian<br />
suggestion yang pada level awal dimaknai sebagai saran atau nasihat, maka pada<br />
pemaknaan di level selanjutnya merupakan kritik akan kebiasaan wanita.<br />
Kebiasaan ini merupakan kebiasaan buruk yang membelenggu kemajuan mereka.<br />
Baris ke-16:<br />
Vehicle : Trophies fished up; some curious suggestion;<br />
Tenor : adoration sparkled idea<br />
Paradigmatik:<br />
Literal : Adoration sparkled; some curious idea;<br />
Metaforik: Prize given advice<br />
Compliment emerged critics<br />
Trophies fished up suggestion<br />
Paradigmatik paradigmatic paradigmatik
Pada baris ini disebutkan fact that leads nowhere, pada first level of<br />
signification ada nowhere yang secara harfiah berarti tidak dimanapun. Dalam hal<br />
ini berarti fakta yang tak pernah ada. Namun ada satu lompatan imajinatif yag<br />
harus dilakukan untuk memaknai hal ini. Ketika nowhere dipilih dan melihat<br />
konteksnya maka nowhere akhirnya bisa dimaknai sebagai sebuah teka-teki yang<br />
membingungkan. Dengan kata lain maka fakta yang muncul ini merupakan fakta<br />
yang membingungkan.<br />
Baris ke-17:<br />
Vehicle : Fact that leads nowhere; and a tale for two,<br />
Tenor : puzzled<br />
Paradigmatik:<br />
Literal: Fact that leads puzzled ; and a tale for two,<br />
Metaforik: Not everywhere<br />
paradigmatik<br />
Stuck<br />
nowhere
Sebagai seorang wanita maka sudah kodratnyalah untuk hamil. Pada baris<br />
ini disebutkan pregnant with mandrakes, ketika dipilih kata pregnant maka ini<br />
lebih cenderung dikarenakan kedekatan kata ini dengan wanita. Hamil akan selalu<br />
berasosiasi dengan wanita. Pada pemaknaan level pertama, hamil berarti<br />
mengandung. Namun pada pemaknaan dilevel kedua maka mengandung bisa<br />
dikaitkan dengan mendapatkan sesuatu.<br />
Kata mandrakes dipilih sebagai satu perumpaan yang mengaitkan<br />
bahwasanya wanita suka minum ramu-ramuan. Mandrakes sebenarnya merupakan<br />
ramuan yang dipercaya dapat menyuburkan kandungan, dan hal ini merupakan<br />
makna dari tingkat pertama. Ramuan ini biasanya dikonsumsi oleh wanita untuk<br />
mendapatkan hasil secepatnya. Mandrakes merupakan kata yang diadopsi dari<br />
Bible genesis 30 yang menunjukkan kegunaannya bagi fertilitas. Kata ini<br />
digunakan oleh penyair untuk menggambarkan ramuan karena ada efek lain yang<br />
muncul dari pemilihan kata ini. Pada pemaknaan dilevel kedua, kata mandrakes<br />
akan membawa pembaca pada asosiasi terhadap sesuatu yang instan. Jadi<br />
kesamaan paradigma yang ada pada baris ini antara pregnant dengan mandrakes<br />
adalah ketika wanita –wanita yang tergambar dalam puisi ini menginginkan<br />
mendapat sesuatu melalui jalan yag instan. Gain without pain adalah ungkapan<br />
yang cocok untuk memaknai baris ini.
Baris 18:<br />
Vehicle : Pregnant with mandrakes, or with something else<br />
Tenor : get money instant way (gain without pain)
Paradigmatik:<br />
Literal : get money with instant way, or with something else<br />
Metaforik: Have a baby tonic<br />
Baris ke-20:<br />
Get something potion<br />
Pregnant mandrakes<br />
Vehicle : That never fits a corner or shows use,<br />
Tenor : proves<br />
Paradigmatik:<br />
Literal : That never proves a corner or shows use<br />
Metaforik: Deviate<br />
Derailed<br />
fit<br />
Paradigmatik<br />
Pada baris ini pengarang memperjelas bahwasanya wanita-wanita tersebut<br />
melakukan sesuatu yang tidak berguna. Mandrakes atau ramuan yang mereka
minum tersebut pada dasarnya tidak berkhasiat sama sekali. Pada baris yang<br />
berbunyi that never fits a corner or shows use, menunjukkan adanya suatu<br />
perubahan paradigma yang dapat dimaknai bahwasanya ramuan ini merupakan<br />
sesuatu yang tidak berkhasiat sama sekali. Kemanjuran dari ramuan ini memang<br />
tidak pernah terbukti sama sekali, namun dengan sifat wanita yang tidak pernah<br />
mau mendengarkan dan keras kepala mereka tetap saja mencoba. Corner<br />
menunjukkan tempat yang seharusnya menjadi bagian dari keberadaan potion ini.<br />
Pada baris ke-21, pengarang menjelaskan kembali bahwa keberadaaan<br />
mandrakes atau potion yang dicari wanita-wanita ini masih saja dicari dalam<br />
kurun waktu yang lama. Pada first level of signification, dapat dilihat adanya<br />
pemaknaan pada kata loom yaitu hari-hari panjang atau menyedihkan. Pada<br />
second level of signification maka hal ini berarti sebuah kesia-siaan. Melakukan<br />
sesuatu yang sia-sia namun tetap saja menjadi sebuah preference bagi wanita.<br />
Baris ke-21:<br />
Vehicle : Or finds its hour upon the loom of days<br />
Tenor : fruitless<br />
Paradigmatik<br />
Literal : Or finds its hour upon the Fruitless of days:<br />
Metaforik: Boring<br />
Loom<br />
Paradigmatik
Pada baris ke-22, wanita-wanita ini dipandang memiliki kesamaan dengan<br />
barang-barang yang tidak berharga. Pada pemaknaan dilevel pertama, tarnished<br />
dipilih dan bukan stained karena pengarang ingin menghaluskan makna yang ada<br />
dari kata ini. Gaudy juga memberi efek yang lebih indah dari pada good. Pada<br />
pemaknaan di level pertama pengarang mencoba mendeskripsikan adanya sebuah<br />
gambaran tentang wanita sebagai sosok yang menjemukan. Layaknya barang<br />
kuno yang mencolok namun sudah karatan. Pada pemaknaan dilevel kedua baris<br />
ini bisa dimaknai bahwa wanita digambarkan sebagi sosok yang menjemukan,<br />
pada dasarnya mereka selevel dengan barang-barang yang sudah berkarat<br />
meskipun indah warnanya atau cantik penampilannya. Pada dasarnya hal ini<br />
dikaitkan dengan keberadaan mereka dengan sifat-sifat buruknya.<br />
Baris ke-22:<br />
Vehicle : The tarnished, gaudy, wonderful old work;<br />
Tenor : distinct showy<br />
Paradigmatik:<br />
Literal: The Distinct, showy, wonderful old work<br />
Metaforik: Stained good<br />
tarnished gaudy<br />
Paradigmatik paradigmatik
Pada baris ke-23 pengarang mengurai mengenai kebiasaan wanita, yang<br />
suka sekali menjadi idola. Pada pemaknaan di level satu, wanita suka sekali<br />
menjadi idola dimanapun dan seolah mereka adalh bunga yang dipuja-puja,<br />
namun sungguh disayangkan mereka jarang sekali berdiam disatu tempat. Pada<br />
pemaknaan di level kedua, wanita yang digambarkan sebagai sosok yang sangat<br />
suka menjadi idola atau pahlawan, yang disukai banyak orang, namun sangat<br />
disayangkan mereka tidak pernah menghias diri dengan hal-hal yang positif.<br />
Baris ke-23<br />
Vehicle : Idols and ambergris and rare inlays,<br />
Tenor : stars decorate<br />
Paradigmatik:<br />
Literal : Stars and ambergris and rare decorate<br />
Metaforik: Heroes insert<br />
idols inlays<br />
Paradigmatik paradigmatik
Baris ke-24 :<br />
Vehicle : These are your riches, your great store; and yet<br />
Tenor : assets wealth<br />
Paradigmatik :<br />
Literal: These are your assets, your great wealth; and yet<br />
Metaforik: Possession hoard<br />
Riches store<br />
Paradigmatik pradigmatik<br />
Pada baris ke-24 ini pengarang ingin menunjukkan bahwasanya wanita-<br />
wanita ini meskipun kaya namun tidak memiki kekayaan yang hakiki. Pada first<br />
level of signification, kata riches dimaknai sebagai kekayaan dan kata store<br />
dimaknai sebagai stock. Namun pada second level of signification, pernyataan<br />
pada baris ini dapat dimaknai bahwa wanita-wanita ini tidak memiliki kekayaan<br />
yang sejati karena kekayaan atau harta mereka pada dasarnya hanyalah sifat-sifat<br />
buruknya. Kata store dapat dimaknai bukan sebagai stock namun sebagai sebuah<br />
kekayaan yang dimiliki oleh wanita.
Baris ke-25<br />
Vehicle : For all this sea-hoard of deciduous things,<br />
Tenor : mass determine<br />
Paradigmatik<br />
Literal : For all this mass of determine things,<br />
Metaforik: pile resolve<br />
Sea-hoard deciduous<br />
Paradigmatik paradigmatik<br />
Baris ini masih merupakan kelanjutan dari permasalahan awal bahwa laut<br />
yang digambarkan masih dikaitkan dengan apa yang ada didalamnya atau<br />
mengapung diatasnya. Pada pemaknaan dilevel awal sea-hoard merupakan<br />
gambaran adanya tumpukan barang –barang dilaut yang kemudian diperjelas<br />
dengan deciduous things. Pada pemaknaan dilevel dua maka keberadaan benda-<br />
benda ini atau wanita-wanita ini tidak dapat dimaknai. Mereka hanya ibarat<br />
tumpukan sampah dilaut yang hanya berfungsi untuk mengotori laut. Dalam hal<br />
ini wanita-wanita ini dianggap tidak berguna atau dianggap sebagai sampah<br />
masyarakat.
Baris ke-26<br />
Vehicle : Strange woods half sodden, and new brighter stuff:<br />
Tenor : soak creature<br />
Paradigmatik<br />
Literal : Strange woods soak , and new brighter creature<br />
Metaforik: Soak thing<br />
Sodden stuff<br />
Paradigmatik paradigmatik<br />
Pada first level of signification pada baris ke 26 ini, digambaran bahwa<br />
wanita-wanita ini selain seperti tumpukan sampah yang tidak berguna mereka<br />
juga digambarkan hampir tenggelam. Pada second level of signification, kata<br />
hampir tenggelam atau half sodden memberikan makna bahwa wanita-wanita ini<br />
adalah makhluk yang tidak berguna. Mereka telah tenggelam dalam blunder yang<br />
mereka ciptakan.<br />
Sedangkan baris ke-27 memberi pemaknaan dilevel satu bahwa dalam<br />
lajunya benda yang hampir tenggelam dilaut tersebut masih terhanyut dalam<br />
aliran yang tidak terlalu deras. Jadi pada pemaknaan dilevel kedua wanita-wanita<br />
ini harusnya masih mampu berbenah atau menyelamatkan diri dari blunder yang
mereka ciptakan. Karena pada dasarnya mereka masih berada pada arus yang<br />
ringan yang berrati tidak begitu menghanyutkan. Meskipun semua ini masih<br />
misteri namun masih ada jalan untuk menyelamatkan diri atau berbenah diri<br />
menuju kebaikan.<br />
Baris ke-27<br />
Vehicle : In the slow float of differing light and deep,<br />
Tenor : flow slow mysterious<br />
Paradigmatik:<br />
Literal : In the slow flow of differing measured and<br />
mysterious<br />
Metaforik: Stream fluffy secret<br />
b. Metonimi<br />
float light deep<br />
paradigmatik paradigmatik paradigmatik<br />
Pembahasan di atas menunjukkan adanya berbagai metafor yang ada pada<br />
puisi ini. Sedangkan, metonimi dalam puisi ini hanya terdapat pada baris 8, 9, 10,<br />
19, 28, 29, 30.
Pada baris yang berbunyi No. You preferred it to the usual thing,<br />
preferred dapat dimaknai secara harfiah yaitu bahwa wanita-wanita ini<br />
menganggap stigma buruk yang melekat terhadap mereka merupakan sebuah<br />
kewajaran. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan atau sangat spesial mengenai<br />
stigma buruk ini. That might prove useful and yet never proves memberikan<br />
gambaran bahwa sifatsifat buruk wanita yang mudah termakan isu membuat<br />
mereka gampang sekali termakan bujuk rayu. Meskipun tahu bahwa ramuan yang<br />
mereka cari tidak pernah terbukti keampuhannya namun mereka sama sekali tidak<br />
mau meninggalkan hal ini.<br />
Sedangkan baris selanjutnya yang berbunyi One dull man, dulling and<br />
uxorious, merupakan gambaran lelaki-lelaki bodoh yang datang kepada wanita-<br />
wanita ini hanya untuk berlaku sesukanya. Keberadaan lelaki-lelaki ini<br />
digambarkan lebih lanjut dalam baris selanjutnya yang One average mind -- with<br />
one thought less, each year. Pada setiap tahunnya lelaki-lelaki yang datang ini<br />
memiliki kemampuan pemikiran yang semakin menurun atau berarti semakin<br />
bodoh.<br />
Baris ke-28 memberikan gambaran bahwa wanita-wanita ini tidak<br />
memiliki apapun. No! there is nothing! In the whole and all,<br />
terlebih ketika hal ini digambarkan dalam dua baris selanjutnya seperti Nothing<br />
that's quite your own. Yet this is you. Maka sudah sangat jelas dikatakan oleh<br />
pegarang bahwa wanita-wanita ini pada dasarnya tidak memiliki kekayaan apapun<br />
selain diri mereka sendiri.
4.3. Intertekstualitas<br />
Penafsiran intertekstualitas tidak hanya terkotak pada genre yang sama.<br />
Teks-teks lain juga bisa menuntun pembaca untuk sampai pada penafsiran<br />
tertentu. Hal ini bisa saja merujuk tidak secara judul atau pengarang tapi pada<br />
subject matter yang sama. Teks dengan tema tentang wanita tentunya sudah<br />
banyak muncul sebelumnya. Hal inilah yang kemudian memunculkan gerakan-<br />
gerakan feminisme karena budaya patriarkal yang mengakar di masyarakat<br />
hendak dikritisi oleh kaum wanita. Namun jika dirunut maka kesalahan mutlak<br />
tidak berada pada wanita atau pria saja, karena masing-masing memiliki peran<br />
yang sangat penting dalam membangun atau menciptakan stigma tersebut.<br />
Yang sangat menarik dari intertekstualitas dalam puisi ini adalah<br />
kemunculan teks lain yang dapat ditelusuri dari cerita-cerita sebelumnya. Jika<br />
dikaitkan dengan puisi lain, maka puisi ini sepertinya akan berkorelasi dengan<br />
puisi A Portrait of a Lady. Judul ini pertama kali muncul dalam novel karya<br />
Henry James pada tahun 1881. Setelah itu tahun 1917. Setelah kemunculan dua<br />
karya yang berjudul sama ini kemudian muncul pula puisi karya William Carlos<br />
William pada tahun 1920.<br />
Jika ditarik benang merah diantara karya-karya tersebut di atas, maka puisi<br />
ini memiliki kedekatan korelasi dengan puisi karya William Carlos William.<br />
William Carlos William (1920-1934) telah menciptakan sebuah puisi yang<br />
berjudul A Portrait of a lady yang juga menggambarkan tentang sosok wanita<br />
dalam pandangan lelaki. Berbeda dari karya Ezra Pound, dalam puisi ini analogi
yang digunakan dalam menggambarkan sosok wanita ini adalah seorang pelukis<br />
rococo Perancis yang bernama Jean Antoine Watteau. Dia adalah pelukis dari<br />
Perancis yang terkenal dengan gambar-gambar sensualitas. Dalam puisi ini<br />
disebutkan pula nama artis Perancis yang lain yaitu Jean Hanore Fragonard yang<br />
merupakan seorang pelukis yang lebih terbuka dan lebih erotis daripada Watteu.<br />
(Norton Anthology, 1167). Puisi ini diciptakan dalam dua puluh dua baris saja<br />
(lampiran 2).<br />
William Carlos William adalah pengarang Amerika yang merupakan<br />
teman sekolah bahkan sahabat karib dari Ezra Pound. Mereka berdua sama-sama<br />
sastrawan Amerika yang telah menghasilkan banyak sekali karya yaitu prosa,<br />
puisi dan kritik sastra. Puisi Portrait d’une Femme diciptakan oleh Ezra Pound<br />
pada tahun 1912, sedangkan puisi karya William Carlos William yang berjudul A<br />
portrait of A Lady ini diciptakan pada tahun 1920. Dengan melihat korelasi<br />
keduanya dapat dimaknai bahwa dalam hal ini yang berfungsi sebagai anchorage<br />
adalah Portrait d’une Femme karena puisi ini diciptakan lebih dahulu. Sedangkan<br />
Portrait of a Lady berfungsi sebagai relaynya karena puisi ini diciptakan pada<br />
tahun yang lebih muda dari pada puisi sebelumnya.<br />
Persamaan pada kedua puisi ini adalah sama-sama berusaha menangkap<br />
sosok wanita dan mencitrakannya dalam pandangan pria. Perbedaan yang<br />
mencolok pada kedua puisi ini adalah bagaimana pencitraan terhadap wanita ini<br />
dituangkan melalui sudut pandang yang berbeda. Pada Portrait d’une Femme<br />
wanita dicitrakan sebagai sosok yang secara ide tidak memiliki kualitas sehingga<br />
wanita selalu menjadi yang kedua dan dinafikkan eksistensinya. Pada Portrait of a
Lady, meskipun wanita digambarkan secara fisik melalui keindahan-keindahan<br />
seperti analogi dengan shore, appletree, blossom, atau breeze namun wanita<br />
dicitrakan sebagai objek yang mau dieksploitasi sebagai simbol sensualitas.<br />
Jadi dapat disimpulkan bahwa meskipun kedua pengarang lelaki ini<br />
mencoba menggambarkan sosok wanita melalui dua pandangan yang berbeda<br />
namun ada benang merah diantara kedua karya ini yaitu bahwasanya wanita selalu<br />
dicitrakan negatif. Citra ini dipercaya sebagai wujud penafikan eksistensi wanita<br />
karena wanita hanya dapat dipandang sebagai sosok yang misterius. Ia selalu<br />
disimbolkan dengan kedekatan paradigma sebuah laut. Laut merupakan simbol<br />
kefemininan, sedangkan samudera adalah simbol kemaskulinan.<br />
Jika dikaitkan dengan pandangan feminisme Simon de Beauvoir, maka<br />
adalah benar mitos bahwa wanita selalu berkaitan dengan seks. Seks selalu identik<br />
untuk menggambarkan sosok perempuan, tubuh, dan kenikmatan. Mitos-mitos<br />
seksual diciptakan dalam pemikiran laki-laki dan diamini oleh perempuan. Dua<br />
puisi ini diciptakan untuk mengkritik wanita dengan cara dan manifestasi yang<br />
berbeda.<br />
Dengan melihat intertekstualitas pada kedua puisi ini, maka dapat<br />
dianalisis secara sintagmatik dan paradigmatik melalui empat proses transformasi.<br />
Proses tersebut antara lain:<br />
a. Transformasi paradigmatik(Paradigmatic transformations)<br />
Aspek pertama pada transformasi ini adalah substitution. Jika ditarik<br />
benang merah antara dua puisi ini maka dapat dilihat bahwa Ezra Pound
mencoba mengkritik wanita secara umum dengan memberikan fakta-fakta<br />
terkait dengan kejelekan sifat-sifat wanita. Sedangkan dalam Portrait of a<br />
Lady sosok wanita secara umum ini digantikan oleh keberadaaan artis yang<br />
dalam hal ini William mengambil artis Perancis yaitu Watteu dan Fragonard<br />
untuk memberikan analogi tentang sensualitas. Mereka berdua adalah pelukis<br />
perancis yang seringkali menonjolkan sensualitas dalam lukisannya. Karena<br />
sering menonjolkan sensualitas, mereka berdua dijadikan sebagai simbol laki-<br />
laki yang mengeksploitasi tubuh wanita melalui lukisannya. Dalam<br />
pengimajian yang digunakan pengarang, Sea sebagai cermin keindahan yang<br />
ada pada Portrait d’une Femme digantikan dengan Appletree pada puisi<br />
Portrait of a Lady. Appletree dapat pula bersubtitusi dengan a person of some<br />
interest, keduanya sama-sam merujuk pada sosok wanita.<br />
Aspek kedua pada transformasi ini adalah transposition. Pada aspek ini<br />
dapat dilihat adanya transposisi pada aspek ide tentang pencitraan terhadap<br />
wanita. Jika yang pertama wanita dipandang negatif berdasarkan ide dan<br />
kebiasaanya, pada puisi yang kedua karya william ini wanita dipandang<br />
negatif karena membiarkan diri dieksploitasi melalui sensualitasnya.<br />
b. Transformasi Sintagmatik(Syntagmatic transformations)<br />
Untuk membandingkan dua puisi yang memiliki kesamaan judul namun<br />
berbeda pengarang ini, maka dapat dilihat pada detail transformasi<br />
sintagmatiknya. Aspek yang pertama kali dianalisis adalah addition yaitu<br />
penambahan. Pada puisi A Portrait of A Lady karya William Carlos William
dapat dilihat adanya penambahan tokoh. Penyebutan nama tokoh merupakan<br />
aspek utama yang menunjukkan perbedaan dengan puisi karya Ezra Pound,<br />
Portrait d’une Femme.<br />
Proses transformasi selanjutnya disebut dengan deletion atau<br />
penghilangan. Penghilangan citraan terhadap ide seperti yang dicitrakan pada<br />
puisi Portrat dune Femme maka kemudian memunculkan model pencitraan<br />
baru melalui sensualitas wanita atau wanita sebagai symbol seks yaitu pada<br />
puisi Portrait of a Lady. Pemberian judul pada puisi yang pertama<br />
menggunakan bahasa Inggris namun di dalamnya yang digambarkan adalah<br />
sosok wanita Perancis. Puisi ini tidak murni mengkritik satu golongan wanita<br />
saja, namun kedua puisi ini tidak lepas dari bagaimana pengarang sebagai<br />
seorang pria memandang wanita. Wanita dipandang sebagai sosok dengan<br />
penampilan yang menyenangkan namun sayang dianggap murahan.<br />
Jika ditarik benang merah diantara keduanya, ternyata penempatan<br />
wanita diposisi yang kedua tidak akan pernah luntur. Sistem budaya yang<br />
membenarkan budaya patriarkal ini tidak dapat terlepas dari peran serta<br />
masyarakat untuk melanggengkannya. Untuk itulah gerakan feminise lahir<br />
sebagai wacana tandingan untuk mendekonstruksi pemikiran yang kolot ini.<br />
Sangat disayangkan bahwasanya secara hakikat wanita tidak akan pernah<br />
mencapai kesetaraan dengan pria. Jika dikaitkan dengan puisi ini, maka<br />
kekalahan wanita ini pada dasarnya disebabkan oleh sifat-sifat wanita yang<br />
tidak mau merubah diri. Pembenaran akan stigma negatif sebenarnya
erakibat fatal bagi kehidupan mereka. Kenyataan tidak akan pernah mampu<br />
menyadarkan mereka bahwa hidup tidak semata-mata mengejar materi.<br />
4.4. Stereotipe perempuan dan dominasi budaya patriarkal dalam puisi<br />
Portrait d’une Femme<br />
Puisi portrait d’une Femme ini diciptakan pada tahun 1912. Pada saat<br />
puisi ini diciptakan, kondisi Amerika sedang dalam keadaan kacau karena<br />
mengalami masa perang. Kekacauan ini tentunya memiliki dampak dalam<br />
berbagai bidang baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun sosial.<br />
Kerusakan yang ada sesudah perang tentunya memporakporandakan<br />
sistem ekonomi yang ada. Meskipun di Amerika terjadi perubahan politik yang<br />
cukup signifikan pada tahun itu, namun permasalahan ekonomi cukup parah<br />
melanda negeri ini. Permasalahan ekonomi inilah yang kemudian menjadi pemicu<br />
pemasalahan sosial. Permasalahan sosial yang muncul karena permasalahan<br />
ekonomi adalah perubahan pola pikir wanita dan menjadikan mereka menjadi<br />
materialistis. Degradasi budaya merupakan permasalahan krusial dalam<br />
perubahan jaman di Amerika. Permasalahan sosial yang muncul inilah yang<br />
kemudian dikritisi oleh Ezra Pound. Keberadaan wanita yang mencoba<br />
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan penghidupan menjadikan mereka<br />
mendapat citra negatif dimasyarakat. Dengan menciptakan puisi ini pengarang<br />
hendak mengusung isu degradasi budaya dan orientasi ini sebagai sebuah kritik<br />
dan saran khususnya bagi kaum wanita.
Stereotipe wanita yang dicitrakan melalui puisi Portrait d’une Femme ini<br />
adalah wanita selayaknya dalam mitos. Seperti dalam De Beauvoir (Bab III),<br />
mitos yang diciptakan tentang wanita adalah bahwa ia adalah ’sosok yang lain’.<br />
Wanita tidak akan pernah mampu menjadi dirinya sendiri. Jika ingin dihargai<br />
esensinya, ia harus memakai persona/topeng untuk bisa menunjukkan diri. Disisi<br />
lain wanita hanya akan menjadi komoditas laki-laki yang dalam satu hubungan ia<br />
merasa berasimilasi namun pada dasarnya ia dikuasai. Penguasaan terhadap<br />
wanita ini pada dasarnya adalah sebuah cara bagi kaum lelaki untuk mengukuhkan<br />
eksistensi mereka. Mereka merengkuhnya untuk kemudian merusaknya. Tapi<br />
sungguh disayangkan bahwa wanita tidak pernah menyadari akan hal ini. Hal<br />
tersebut dapat dikutip dari puisi ini pada baris 3, 14 dan 15::<br />
And Bright Ships left you this or that in fee:<br />
You are a person of some interest, one comes to you<br />
And takes strange gain away<br />
Perempuan menjadi idola, pelayan, sumber kehidupan, misterius, penuh<br />
dengan trik, sumber gosip dan mungkin kebohongan. Karena itulah wanita selalu<br />
menjadi yang kedua. Wanita tidak pernah menganggap atau menjadikan ini<br />
sebagai masalah. Bagi wanita hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa atau tragis.<br />
Stigma ini adalah sesuatu yang wajar bagi mereka. Seperti dapat dikutip pada<br />
baris 1, 4, dan 7:<br />
Your mind and you are our Sargasso Sea,<br />
Ideas, Old Gossip, oddments of all things
You have been second always. Tragical?.<br />
Mitos lain mengatakan bahwa wanita identik dengan seks. Simbolisasi<br />
yang melekat ini mempertegas pernyataan bahwa wanita adalah kenikmatan<br />
meskipun dalam puisi ini wanita juga digambarkan memiliki kedekatan dengan<br />
paradigma sebagai sosok yang jahat atau jin. Kata mandrake adalah gambaran<br />
yang mempertegas pencitraan ini, seperti yang tertulis pada baris ke-17:<br />
Pregnant with mandrakes, or with something else.<br />
Mitos memang sulit untuk digambarkan, karena tidak mudah untuk dapat<br />
dimengerti, diringkas dan disimpulkan; ia menghantui pikiran manusia tanpa<br />
harus berbentuk nyata. Mitos muncul sebagai sesuatu yang rumit (De Beauvoir,<br />
2003: 213). Dalam kenyataannya fakta justru menunjukkan bahwa wanita<br />
menerima mitos-mitos tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Kewajaran ini<br />
semakin membuai wanita dan melenakannya. Wanita tidak akan beranjak<br />
melakukan perubahan karena wanita tidak melihat ada yang salah dengan dirinya.<br />
Wanita-wanita ini seolah menafikkan semua kritik terhadap mereka. Karena telah<br />
merasakan kenyamanan dengan pola kehidupan yang mereka pilih, maka blunder<br />
yang telah mereka ciptakan seolah telah menjadi jalan hidup yang mereka pilih.<br />
Penggambaran sosok wanita oleh Ezra Pound dan William Carlos William<br />
dalam puisi-puisi mereka tentunya berdasarkan pemikiran laki-laki. Seperti telah<br />
dipaparkan sebelumnya bahwa laki-laki menciptakan mitos itu sendiri sehingga
apa yang ada dalam puisi ini merupakan potret nyata pemikiran dari budaya<br />
patriarkal, budaya yang selalu mendukung superioritas laki-laki dan inferioritas<br />
wanita.
BAB 5<br />
SIMPULAN<br />
Puisi karya Ezra Pound yang berjudul Portrait d’une Femme adalah salah<br />
satu karyanya yang mencoba memotret wanita dari perspektif pria. Puisi ini hanya<br />
terdiri dari 30 baris saja, namun padatnya diksi atau pemilihan kata yang menarik<br />
membuat puisi ini menjadi sebuah puisi yang sangat sarat dengan metafora.<br />
Puisi ini dianalisis melalui pendekatan struktural dan semiotik untuk<br />
menghasilkan analisis yang lebih komprehensif. Pendekatan struktural dan<br />
semiotik digunakan untuk menganalisis puisi secara tekstual dan kontekstual<br />
dengan didukung referensi tentang budaya patriarkal. Pemaknaan melalui<br />
pendekatan struktural dilakukan dengan mengidentifikasi tema, rima, parafrase,<br />
pencitraan, dan majas yang ada dalam teks ini. Sedangkan, pendekatan semiotik<br />
menggunakan langkah-langkah pendekatan semiotika pada puisi yaitu<br />
mengidentifikasi dramatik situation pada puisi, mengidentifikasi tenor dan vehicle<br />
atau metafor dan metonimi pada puisi, dan langkah yang terakhir adalah<br />
mengidentifikasi intertekstualitas puisi ini dengan karya lain.<br />
Melalui analisis dengan pendekatan struktural yang dilakukan dengan<br />
melihat aspek-aspek intrinsik puisi dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Tipografi<br />
Tipografi pada puisi ini biasa saja, tidak menunjukkan adanya sesuatu<br />
yang istimewa. Jika dikaitkan dengan tema, hal ini menunjukkan<br />
pandangan lelaki terhadap wanita yang dianggap tidak istimewa atau biasa<br />
saja.<br />
b. Tema<br />
Tema puisi ini adalah subordinasi terhadap wanita. Keberadan wanita yang<br />
selalu menjadi yang kedua ternyata merupakan mitos dan budaya<br />
patriarkal yang dilanggengkan oleh adat-istiadat secara turun temurun.<br />
Laki-laki akan terus menciptakan mitos-mitos baru sebagai upaya<br />
melanggengkan kekuasaan mereka. Tentunya mitos-mitos ini akan<br />
diciptakan dalam mainframe kebenaran laki-laki.<br />
c. Rima<br />
Puisi ini adalah blank verse jadi rimanya tidak tetap atau unrhyme. Jika<br />
dikaitkan dengan tema maka penciptaan rima yang tidak tetap ini juga<br />
menguatkan pandangan patriarkal pria yang menganggap bahwa wanita itu<br />
sama saja sifatnya karena tidak memiliki pola yang variatif. Semua wanita<br />
dipandang memiliki sifat buruk yang sama yaitu suka menjelek-jelekkan<br />
orang lain.<br />
d. Ritme dan Meter<br />
Ritme dan meter puisi ini memiliki pola yang selalu berulang, yaitu iambic<br />
pentameter. Rima dan meter pada puisi ini juga mengarahkan pembaca<br />
pada kesimpulan akhir bahwa meskipun wanita menyadari sifat-sifat
uruknya namun fakta menunjukkan bahwa mereka tidak mau merubah<br />
diri. Hal ini mengakibatkan kaum wanita tidak pernah bisa maju.<br />
e. Diksi<br />
Diksi yang digunakan dalam puisi ini menggunakan pembanding yang<br />
saling berhubungan, misalnya mandrake dan pregnant, kapal (bright ship)<br />
dan laut (Sargasso Sea). Keterkaitan erat antara diksi yang digunakan ini<br />
menunjukkan sebuah manifestasi penggambaran adanya hubungan yang<br />
tidak dapat dipisahkan antara pria dan wanita.<br />
f. Pencitraan<br />
Pencitraan dalam puisi ini terdari pencitraan gerak dan pencitraan<br />
penglihatan. Misalnya pada kalimat ’London has swept about you this<br />
score years’ dan ’The tarnish gaudy wonderful old world’.<br />
g. Majas<br />
Majas dalam puisi ini terdiri dari metafora, personifikasi, metonimi,<br />
sinekdok, alegori, dan ironi.<br />
Melalui analisis dengan pendekatan semiotik dengan mengidentifikasi<br />
dramatik situation, tenor dan vehicle atau metafor dan metonimi pada puisi, serta<br />
melalui identifikasi intertekstualitas dapat disimpulkan sebagai berikut:<br />
a. Dramatic situation pada puisi ini adalah jenis kelima yaitu suatu<br />
susunan dimana si persona bisa diidentifikasi sebagai si penyair dan<br />
lawan tuturnya adalah pembacanya.
. Tenor dan vehicle yang dapat disimpulkan pada puisi ini adalah bahwa<br />
wanita diidentifikasi sebagai makhluk yang subordinat namun<br />
meskipun menyadari sifat-sifat buruknya tetap saja wanita tidak mau<br />
merubah diri untuk menjadi lebih baik.<br />
c. Dari sisi intertekstualitas maka puisis ini dapat dibandingkan dengan<br />
puisi lain yaitu portrait of a lady karya William Carlos William<br />
dengan simpulan akhir bahwa yang berperan sebagai anchorage adalah<br />
Portrait d’une Femme karena puisi ini diciptakan lebih dahulu (1912)<br />
sedangkan Portrait of a Lady berfungsi sebagai relaynya karena puisi<br />
ini diciptakan pada tahun yang lebih muda (1920).<br />
Hasil analisis diatas kemudian dibingkai dengan referensi tentang budaya<br />
patriarkal, sehingga dapat disimpulkan bahwa stereotipe wanita yang dicitrakan<br />
melalui puisi Portrait d’une Femme ini adalah wanita selayaknya dalam mitos<br />
yaitu wanita sebagai makhluk kedua (subordinate) dan wanita sebagai lambang<br />
seks.<br />
Gabungan pendekatan antara pendekatan struktural dan semiotik saling<br />
menguatkan simpulan akhir bahwa pada akhirnya wanita memang akan selalu<br />
menjadi makhluk yang kedua. Meskipun dapat dikatakan bahwa wanita<br />
sebenarnya memiliki potensi besar yang dapat menjadikan dirinya maju namun<br />
sifat-sifat buruk wanita menghalangi kemajuan mereka. Sebagai akibatnya adalah<br />
selalu ada pembenaran untuk menjadian lelaki sebagai makhluk yang selalu<br />
menjadi nomor satu.
DAFTAR PUSTAKA<br />
Aminuddin.1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru<br />
Algesindo.<br />
Barthes, Roland. 1981. Elements of Semiology. New York : Hill and Wang<br />
Barthes, Roland. 1975. The Pleasure of the Text. New York: Hill and Wang<br />
Berger, Arthur Asa. 2005. Tanda-Tanda dalam Kebudayaan Kontemporer,<br />
Sebuah Pengantar Semiotika (Terjemahan dari: Signs in Contemporary<br />
Culture, An Introduction to Semiotics), Jogja: Tiara Wacana.<br />
Blackwell, Basil. 1986. Feminist Literary Theory: A Reader. Oxford: Basil<br />
Blackwell Inc.<br />
Buchbinder, David. 1991. Contemporary Literary Theory and the reading of<br />
Poetry. Australia: The Company of Australia PTY. Ltd.<br />
Chandler, Daniel. 2007. Semiotics: The Basic. New York: Rouledge.<br />
Cole, Camille & Andrew Smithberger. 1931. On Poetry. New York: Doubleday,<br />
Doran & Company, Inc.<br />
Davis, Robert Con. 1986. Contemporary Literary Criticism: Modernism Through<br />
Poststructuralism. London: Longman Inc.<br />
De Beauvoir, Simon. 2003. The Second Sex. Yogyakarta: Pustaka Pelajar<br />
Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University<br />
Press<br />
Fokkema, DW. 1977. Theories of Literature in the Twentieth Century. London: C.<br />
Hurst & Company<br />
Goldmann, Lucien. 1981. Method in the Sociology of Literature. Oxford: Basil<br />
Blackwell Inc<br />
Hawkes, Terence. 1978. New Accents Structuralism and Semiotics. London:<br />
Methuen&Co Ltd.
Holman, Hugh. 1981. A Handbook to Literature. Indianapolis: Bobbs-Merrill<br />
Educational Publishing<br />
Jabrohim(ed). 2001. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha ,<br />
Widia.<br />
Jacobson, Roman. 1960. Lingusitics and Poetics. Cambridge: M.I.T. Press<br />
Jauss, Hans Robert. 1982. Toward an Aesthetic of Reception. Minneapolis:<br />
University of Minnesota Press<br />
Jacobson, Roman. 1960. Linguistics and Poetics. Cambridge: M.I.T. Press<br />
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia<br />
Perrine, Laurence. 1969. Sound and Sense: An Introduction to Poetry. America:<br />
Hartcourt, Brace & World, Inc.<br />
Pradopo, Rachmat Djoko. 1991. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada<br />
University Press<br />
____________________. 1987. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta:<br />
Gadjah Mada University Press<br />
Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 2004. Buku Pedoman Penulisan dan Konsultasi Tesis.<br />
Semarang: Proram Magister Ilmu Susastra <strong>Undip</strong><br />
Ratna, Nyoman Kuta. 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra .<br />
Yogyakarta: Pustaka Pelajar<br />
Scholes, Robert. 1978. Structuralism in Literature. New Heaven and London:<br />
Yale University<br />
Selden, Raman. 1986. A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory.<br />
Sussex: The Harvester Press.<br />
The Norton Anthology of American Literature. Third Edition volume 2. 1989.<br />
New York: W.W. Norton&Company, Inc.<br />
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga
Wardoyo, Subur. 2005. Semiotika dan Struktur Narasi. Kajian Sastra. Vol 29.<br />
Semarang<br />
Worton and Still. 1991. Intertextuality: Theories and practice. Manchester:<br />
Manchester University Press
Lampiran 1<br />
Portrait d’une Femme<br />
Your mind and you are our Sargasso Sea,<br />
London has swept about you this score years<br />
And bright ships left you this or that in fee:<br />
Ideas, old gossip, oddments of all things,<br />
Strange spars of knowledge and dimmed wares of price.<br />
Great minds have sought you -- lacking someone else.<br />
You have been second always. Tragical?<br />
No. You preferred it to the usual thing:<br />
One dull man, dulling and uxorious,<br />
One average mind -- with one thought less, each year.<br />
Oh, you are patient, I have seen you sit<br />
Hours, where something might have floated up.<br />
And now you pay one. Yes, you richly pay.<br />
You are a person of some interest, one comes to you<br />
And takes strange gain away:<br />
Trophies fished up; some curious suggestion;<br />
Fact that leads nowhere; and a tale for two,<br />
Pregnant with mandrakes, or with something else<br />
That might prove useful and yet never proves,<br />
That never fits a corner or shows use,<br />
Or finds its hour upon the loom of days:<br />
The tarnished, gaudy, wonderful old work;<br />
Idols and ambergris and rare inlays,<br />
These are your riches, your great store; and yet<br />
For all this sea-hoard of deciduous things,<br />
Strange woods half sodden, and new brighter stuff:<br />
In the slow float of differing light and deep,<br />
No! there is nothing! In the whole and all,<br />
Nothing that's quite your own.<br />
Yet this is you.<br />
1912
Lampiran 2<br />
Portrait of a Lady<br />
Your thighs are appletrees<br />
Whose blossoms touch the sky.<br />
Which sky?<br />
The sky where Watteu hung a lady’s slipper.<br />
Your knees, are a southern breeze-or<br />
A gust of snow.<br />
Agh! What sort of man was Fragonard?<br />
-as if that answered, anything.<br />
Ah, yes-below<br />
The knees, since the tune, drops that way,<br />
It is<br />
One of those white summer days<br />
The tall grass of your ankles,<br />
Flickers upon the shore-<br />
Which shore?-<br />
The sand clings to my lips<br />
Which shore?<br />
Agh, petals maybe<br />
How should I know?<br />
Which shore?<br />
I said petals from an appletree.
Lampiran 3. Sargasso Sea
Lampiran 4. Peta Segitiga Bermuda